Membangkitkan Literasi Peserta Didik


“Ini pengakuan yang jujur dari sahabat saya yang terkucil di pedalaman Sampit, Kalimantan Tengah, bahwa minat  baca anak-anak bangsa kita tidaklah rendah seperti yang dikatakan orang-orang, tapi ketersediaan buku yang membuat mereka begitu.” Nun Urnoto El-Banbary, penulis novel dan puisi, dalam status di laman Facebook-nya 21 Mei 2016 lalu.


(Sumber foto: http://www.kompasiana.com)

***

Kutipan dari sang sastrawan Madura, dan sekaligus seorang guru di sebuah pondok pesantren, sengaja penulis tulis lengkap agar ide dasarnya dipahami bersama, bahwa minat baca peserta didik kita tidak serendah anggapan yang ada. Hal ini tentu, sejalan juga dengan keinginan kita selaku pendidik, agar budaya baca-tulis dapat terwujud dengan baik di sekolah-sekolah, terutama di tingkat atas (SMA/Aliyah/SMK). Stataus itu tepat sekali memang, bahwa untuk memulai budaya baca-tulis harus membentuk peserta didik berkarakter, dan peserta didik yang berkarakter dimulai oleh para guru yang kreatif. Jadi, hulunya adalah sang guru.


Guru adalah pelita kehidupan, petunjuk jalan terang bagi masa depan peserta didik. Guru merupakan sosok mulia yang ditiru dan digugu. Ibarat pepatah, apabila guru kecing berdiri, maka peserta didiknya, dipastikan akan kecing berlari. Saking sentralnya peran guru, tidak berlebihan apabila peserta didik lebih mempercayai keterangan seorang guru daripada keterangan orang tuanya sendiri. Tapi tunggulah dulu, guru yang bagiamana ini!


Pengaruh besar guru telah kita ketahui dari berbagai sumber sejarah tokoh dunia, misalkan Abdul Malik bin Marwan (w. 705 M). Dalam Thabaqot al-Kubra-nya Ibnu ‘Asir (w. 774 M) atau Thabaqot-nya Ibnu Sa’ad (w. 845 M) dan al-Waqidi (w. 823 M), disebutkan bahwa ia berguru kepada Usman bin ‘Affan (w. 656 M) dalam ilmu Qur’an dan kepada Abu Hurairah (w. 681 M) dalam ilmu Hadis, serta pada Jabir bin Abdullah (w. 697) dalam ilmu bahasa Arab. Dengan peran guru yang demikian itu, tidak heran apabila ia menjadi seorang khalifah bani Umaiyyah yang paling kesohor dalam segala segi. Kita tengok juga generasi setelahnya, yakni Harun al-Rasyid (w. 809 M) yang telah mendirikan berbagai pendukung eksperimen sains, seperti Baitul Hikmah atau Majlis Mudzakarah karena pengaruh dari guru-guru yang mendidiknya, antara lain Yahya bin Khalid al-Barmak (w. 163 H), seorang ilmuwan Muslim dari kalangan tabit tabi’in yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Kemudian di abad yang lebih dekat dengan kita, ada KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947 M), lalu ada KH. Ahmad Dahlan (w. 1923 M),dan HAMKA (w. 1981 M). Di area yang lebih sempit tanah Madura, ada KH. Abdullah Sajjad (w. 1947 M) dan KH. Moh. Khazin Ilyas(w. 1946 M) yang keduanya adalah martil dari bumi Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep. Atau orang-orang yang saat ini masih berkiprah di kancah pengembangan literasi nasional dari pulau Garam ini, semisal Abdul Hadi, Jamal D. Rahman, D. Zawawi Imron, K. M. Faizi, K. M. Mushthafa, Bernando J. Sujibto, Nun Urnoto El-Banbary, Raedu Basha, Nurul Ilmi el-Banna dan lain sebagainya adalah mereka lahir dari didikan para guru yang bersih hati, penuh keteladanan dan penuh dedikasi yang tinggi.Oleh karenanya, guru-guru itu sangat ikhlas dalam mendidik. Esensi ini sepertinya, mulai  hilang dari dunia guru Indonesia. Atau mulai samar bayangan.


Mengingat peran guru sangat luar biasa vital dalam mengubah roda sejarah dunia, maka disini, menurut penulis, yang harus direvitalisasi agar dapat menumbuh-kembangkan generasi unggulun laiknya generasi-generasi di atas, adalah dunia guru itu sendiri. Dalam pandangan penulis, ada alasan objektif terkait lemahnya minat baca-tulis seorang peserta didik jika memang sepakat dengan pernyataan ini. Titik pangkalnya yakni lemahnya guru-guru di negeri ini dalam mengelaborasi sebuah karya untuk dikonsumsi hati dan otak anak didik secara bersama. Jangankan menelorkan sebuah tulisan yang apik, baik dalam bentuk buku babon, atau dalam artikel-artikel terkait aktualitas, untuk menentukan buku yang layak dibaca secara mendalam oleh  peserta didiknya, para guru di negeri ini sangat kesulitan.


Hal itu sebenarnya telah disinggung dengan halus tetapi jelas oleh K. M. Mushthafa Abdul Bashith, dalam salah-satu tulisan di blog pribadinya yang bisa dilayari di http://www.rindupulang.blogspot.com, bahwa penekanan pada upaya penanaman kebiasaan membaca secara mendalam diharapkan dapat menjadi modal yang kuat untuk menyiapkan generasi yang tangguh dan kritis (dalam: Kemampuan Membaca sebagai Ciri Pendidikan Unggul, 11-02-2016). Penekanan ini tentu dimulai dari eksistensi guru itu sendiri dalam hal memberikan contoh membaca dan menulis.Sedangkan kenyataan yang ada, apabila kita kalkulasikan secara sederhana, berapa banyaknya guru yang dapat menulis artikel populer di berbagai media massa, baik cetak ataupun online. Tidak usah terlalu jauh meneliti, taruhlah di Harian Bhirawa ini. Siapa yang lebih dominan mengisi rubrik Opini?. Guru, seniman, sastrawan, ilmuwan, atau malah gabungan di antara keempatnya. Pembaca dapat mencari tahu sendiri.  


Jika iklim seperti itu tetap stagnan, lebih-lebih pembudayaan baca-tulis, maka tentu belum memungkinkan wali murid di rumah untuk dapat diajak berperan besar dalam membangkitkan ilmu pengetahuan sebagai tulang punggung pendidikan bermutu sebuah bangsa. Dalam pengamatan penulis, wali murid sebagian besar masih menganggap bahwa belajar itu adalah membaca buku teks pelajaran. Artinya, pendidikan berkualitas bukan hanya berkutat bagaimana cara mendapatkan buku dan membacanya, sambil lalu menganjurkan orang tua peserta didik dapat memilih buku dengan caranya sendiri. Tapi juga, yang tak kalah penting bagaimana seorang guru kembali meneguhkan pada dirinya sendiri dengan satu frasesaya harus berkarya sesederhana apa pun.


Dengan lahirnya berbagai karya dari orang yang digugu ini, akan dapat merentas akar masalah kemalasan membaca peserta didik yang selama ini memayungi bumi pertiwi tercinta, dan perlahan-lahan tersingkap nanti di suatu masa, indeks kepembacaan insan Indonesia yang menurut UNESCO empat tahun lalu hanya 0,0001, suatu saat berubah menjadi 1,000,00. Bukan hal yang mustahil. Atau jangan-jangan status Nun Urnoto lainnya, ada benarnya:“bukan murid yang tidak punya hobi membaca, tapi gurulah yang tidak pernah update buku terbaru, lalu membacanya; menjadi titik masalah”.@

Wallahu A’lam.


Artikel ini dimuat di koran Kabar Madura, 26 Januari 2017

Tinggalkan komentar