Artikel Tafsir : Membedah Tafsir al-Mishbah


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam menjalani hidup ini, manusia tidak akan bisa lepas dari arah agama, sebagaimana halnya umat Islam yang tidak bisa melepaskan diri dari al-Qur’an, karena al-Qur’an merupakan rujukan pertama bagi umat Islam yang dijadikan pedoman hidup. Hal demikian seiring dengan firman Allah SWT  bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.[1] Islam mengandung ajaran-ajaran yang berkaitan dengan aqidah dan mu’amalah; sedangkan mu’amalah ini dibagi dua, yaitu mu’amalah yang berhubungan dengan Tuhan dan mu’amalah yang berhubungan dengan manusia.[2] Selanjutnya Islam berpendapat bahwa hidup manusia di dunia ini tidak bisa terlepas dari hidup manusia di akhirat, bahkan lebih dari itu corak hidup manusia di dunia ini menentukan corak hidupnya di akhirat kelak.[3]

Al-Qur’an memperkenalkan dirinya sebagai hudan li al-nas (petunjuk untuk seluruh manusia), inilah fungsi kehadirannya.[4] Sebagai pemberi arah, al-Qur’an memberikan petunjuk-petunjuk manusia tidak secara rinci melainkan secara global.

Harun Nasution menyatakan:

Ayat-ayat al-Qur’an tidak banyak membicarakan secara rinci tentang permasalahan hidup kemasyarakatan umat. Tidak terincinya petunjuk tentang hidup kemasyarakatan ini mengandung hikmah yang dalam, karena masyarakat pada umumnya bersifat dinamis dan senantiasa mengalami perubahan. Jika peraturan dan hukum absolut yang mengatur masyarakat berjumlah banyak dan bersifat terinci, maka dinamika masyarakat yang diatur dengan peraturan dan hukum absolut yang demikian akan menjadi terikat dan pada ujungnya, perkembangan masyarakat dapat terhambat.[5]

Berkenaan dengan petunjuk al-Qur’an yang memberikan secara rinci, hanyalah yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang tidak dapat dijangkau oleh nalar manusia, seperti persoalan metafisika, atau petunjuk yang tidak perlu dikembangkan lagi karena naluri manusia dan kecenderungannya – menyangkut hal tersebut – tidak mungkin mengalami perubahan. Sikap anak yang tidak akan memiliki birahi kepada orang tuanya dan saudaranya, atau kecemburuan yang pasti akan terjadi – dan akhirnya menimbulkan permusuhan – bila seseorang memperistri dua orang wanita bersaudara, adalah beberapa contoh mengenai hal tersebut. Semua itu tidak akan mengalami perubahan berkaitan dengan naluri dan sikap manusia normal. Karena al-Qur’an merincinya sebagaimana terlihat dalam ketentuan keharaman menikah orang-orang tertentu.[6]

Mengingat bahwa petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam al-Qur’an bersifat global, maka tidak pantas seseorang menuntut dari al-Qur’an petunjuk-petunjuk praktis dan terinci mengenai segenap aspek kehidupan. Pemenuhan tuntutan seperti itu dapat menimbulkan pemaksaan penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Perlu ditegaskan bahwa tidak semua masalah harus ditemukan argumentasinya secara khusus dalam al-Qur’an. Argumentasi dapat ditemukan melalui pemahaman terhadap jiwa ajaran agama Islam serta tujuan-tujuan pokok syariat (maqasid al-syariah).[7] Soal kehidupan kemasyarakatan diserahkan kepada manusia karena Tuhan telah memberikan akal untuk mengaturnya. Yang diberikan Tuhan dalam al-Qur’an ialah dasar-dasar atau patokan-patokan, dan di atas dasar-dasar dan patokan inilah umat Islam mengatur hidup kemasyarakatan.[8]

Al-Qur’an yang merupakan Kalamullah (perkataan Allah SWT.) harus mampu dipahami oleh manusia guna memperoleh penafsiran baru terhadap persoalan kekinian karena al-Qur’an tidak dapat berjalan tanpa adanya sebuah penafsiran yang dilakukan oleh manusia, dan hasil penafsiran tersebut akan berbeda dari zaman ke zamannya. Sebab seseorang merupakan zeit geist-nya (semangat zamannya) sendiri yang jelas berbeda dengan “roh zaman” yang menghidupi generasi sekarang di awal abad 21 ini.[9] Para mufasir terdahulu akan berbeda penafsirannya dengan para mufasir sekarang karena para mufasir tidak akan bisa lepas penafsirannya dari pengaruh perkembangan zaman. Tafsir yang dijadikan sebagai usaha memahami dan menerangkan maksud dan tujuan al-Qur’an, telah mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Sebagai hasil karya manusia, terjadilah keanekaragaman dalam metoda dan corak penafsiran adalah hal yang tak terelakan.[10]

Sejak diturunkannya al-Qur’an hingga sekarang ini, kajian al-Qur’an dari berbagai segi, terutama dari segi penafsirannya selalu menunjukkan perkembangan yang signifikan. Munculnya berbagai karya tafsir al-Qur’an yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan merupakan bukti bahwa upaya untuk menafsirkan al-Qur’an memang tidak pernah berhenti. Hal ini merupakan keniscayaan sejarah, sebab umat Islam pada umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Qur’an sebagai ‘mitra dialog’ dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tidak terbatas itulah yang sesungguhnya menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan penafsiran al-Qur’an.[11]

Tafsir secara bahasa diartikan dengan al-‘Iddah wa al-Tabyin,[12] atau al-Ibanah wa al-Kasyf wa Izhar al-Ma’na al-Ma’qul,[13] menjelaskan, menyingkap dan menampakkan makna yang abstrak. Sedangkan secara istilah, tafsir bermakna ilmu yang membahas tentang al-Qur’an dari segi petunjuknya terhadap makna yang dikehendaki oleh Allah SWT. sesuai dengan kemampuan manusia,[14] atau ilmu pengetahuan untuk memahami kitab Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan maknanya dan menarik hukum-hukum serta hikmah-hikmah yang terkandung didalamnya.[15]

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa sebuah penafsiran dibuat dengan tujuan sebagai upaya agar al-Qur’an dapat dimengerti, dipahami dan selanjutnya dapat diamalkan oleh umat Islam. Dalam konteks Indonesia, sebuah penafsiran al-Qur’an tentunya dimaksudkan penulisnya untuk memberikan pemahaman yang sesuai dengan konteks masyarakat pemeluknya, yakni Indonesia.[16]

Upaya-upaya memahami dan menafsirkan al-Qur’an di Indonesia, seperti yang dinyatakan Abu Bakar Aceh; sesungguhnya telah dimulai sejak dini sekali, seiring dengan masuknya Islam di Indonesia[17] – meskipun upaya itu masih dalam bentuk yang sederhana dengan bahasa setempat (lokal) dan belum dibukukan secara tersendiri dalam bentuk karya tafsir.

Karya tafsir dalam bentuk buku tersendiri baru dimulai pada abad ke-17 M. oleh Abdur Rauf Ali al-Fansuri dengan menyalin tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil ke dalam bahasa Melayu yang diberi judul Tarjuman al-Mustafid.[18] Setelah itu, di awal abad ke-20 sampai awal tahun 1960-an, telah muncul penerjemahan dan penafsiran yang terpisah-pisah.[19] Dan hingga saat ini karya tafsir yang ada di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan.[20]

Dewasa ini di Indonesia terdapat banyak karya tafsir. Meski demikian, karya tafsir tersebut menurut Hamdani Anwar cenderung berbeda dengan karya tafsir pada masa-masa sebelumnya. Selain itu, metode dan corak penafsiran yang dianut dan dipergunakan dalam penafsiran juga semakin beragam dan tidak bertumpu pada metode tertentu. Hal ini menunjukkan telah semakin berkembangnya pengetahuan dan kecenderungan dalam menafsirkan al-Qur’an.[21]

Dari segi sumber penafsiran, dikenal Tafsir bi al-Ma’sur dan Tafsir bi al-Ra’yi. Tampaknya hasil karya tafsir Indonesia dewasa ini cenderung mempergunakan sumber yang kedua, yaitu Tafsir bi al-Ra’yi. Namun demikian, hampir seluruhnya kerapkali mengkaitkannya dengan keterangan dari al-Qur’an, sunnah, pendapat sahabat atau ijtihad ulama terdahulu, dan tampaknya pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi modern banyak mewarnai penjelasan yang diberikan.[22] Hamdani Anwar menyatakan:

Hal seperti ini merupakan akibat logis dari penguasaan para mufassir terhadap pengetahuan modern. Oleh karena itu, walaupun secara konseptual mereka tetap mengacu pada penafsiran yang telah dilakukan para ulama terdahulu…namun tetap saja kecenderungan pada penggunaan analisis pengetahuan modern tetap tampak pada penafsiran mereka.[23]

Dari sisi metode, sebagaimana yang dikenalkan ‘Abdul Hayyi al-Farmawi, dikenal empat macam metode tafsir, yaitu: tahlili, ijmali, muqaran, dan maudlu’i. Dari segi ini, karya tafsir yang dihasilkan di Indonesia dewasa ini cenderung terbagi dua, yaitu tahlili dan maudlu’i. Di antara yang bermetode tahlili adalah seperti yang dihasilkan oleh M. Quraish Shihab, yaitu Tafsir Al-Mishbah. Sedang yang menganut maudlu’i, antara lain adalah tafsir Dalam Cahaya al-Qur’an: Tafsir Ayat-ayat Sosial-Politik yang ditulis oleh Syu’bah Asa.[24]

Adapun dari segi corak penafsiran, seperti yang dinyatakan Hamdani Anwar, dewasa ini lebih cenderung bercorak adab al-ijtima’i.[25] Demikianlah corak penafsiran yang berkembang di Indonesia ini menurut Hamdani Anwar.

Dalam khasanah keilmuan Islam khususnya dalam bidang tafsir di Indonesia, M. Quraish Shihab (selanjutnya ditulis Quraish) adalah sosok ahli dalam bidang tafsir terkemuka. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karyanya yang sangat kental dengan nuansa al-Qur’an, baik dibidang ilmu tafsir itu sendiri maupun berbagai problematika umat yang ada.

Quraish memang bukan satu-satunya pakar al-Quran di Indonesia, tapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks masa kini dan masa modern, membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar-pakar al-Qur’an lainnya.

Quraish banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku kepada makna tekstualnya agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Menurutnya, penafsiran al-Qur’an tidak pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski demikian, Quraish tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur’an. Bahkan, menurutnya merupakan suatu dosa besar apabila seseorang memaksakan pendapatnya atas nama al-Qur’an.

Berkenaan dengan sosok Quraish ini, peneliti menganggap urgen untuk meneliti penafsirannya, karena sebuah penafsiran tentunya tidak lahir dari “ruang kosong”, namun selalu terkait dengan kepribadian seorang penafsir itu sendiri baik sosio-historis dimana seorang mufassir itu hidup, maupun keahlian dan tujuan yang hendak dicapai,[26] yang tentunya hal tersebut berimplikasi pada bentuk, metode, corak serta karakteristik penafsiran yang dihasilkan.

Sebagai produk wahyu, kisah-kisah dalam al-Qur’an tentu saja berbeda dengan kisah atau dongeng pada umumnya, karena masing-masing kisah yang terdapat didalamnya mempunyai karakteristik tersendiri. Fenomena kisah-kisah dalam al-Qur’an yang diyakini kebenarannya sangat erat kaitannya dengan sejarah. Menurut al-Suyuthi, sebagaimana yang dikutip oleh asy-Syirbashi:

Bahwa kisah dalam al-Qur’an sama sekali tidak di maksudkan untuk mengingkari sejarah lantaran sejarah dianggap salah dan membahayakan al-Qur’an. Kisah-kisah dalam al-Qur’an merupakan petikan-petikan dari sejarah sebagai pelajaran bagi umat manusia dan bagaimana mestinya mereka menarik manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah tersebut.[27]

Hal ini dapat dilihat dalam al-Qur’an yang secara eksplisit berbicara tentang pentingnya sejarah, sebagaimana tertera dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 140, “Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu, Kami pergilirkan diantara manusia”.[28]

Muhammad Iqbal menyatakan: “al-Qur’an dalam memperbincangkan kisah ini jarang bersifat historis; hampir selamanya ia bertujuan hendak memberikan suatu pengertian moral atau filosofis yang sifatnya universal”.[29]

Secara etimologi, kisah berasal dari kata bahasa Arab al-Qassu atau al-Qisshatu yang berarti cerita.[30] Ia se-arti dengan tatabbu’u al-Atsar yaitu pengulangan kembali hal masa lalu.[31] Sedangkan secara terminologi menurut Manna Khalil al-Qaththan: Qashash  al-Qur’an adalah pemberitaan al-Qur’an tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kenabian) yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Al-Qur’an banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu, sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dan peninggalan atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka dengan cara yang menarik dan mempesona.[32]

Adapun yang berkaitan dengan tema Kisah Maryam yang menjadi pilihan peneliti, hal ini didasarkan beberapa pertimbangan tersendiri; Pertama, Sebuah hadits yang sampai kepada kita dengan lebih dari satu jalur periwayatan yang menunjukkan bahwa ada empat orang ‘Wanita Sempurna’ dalam sejarah,[33] yang salah satunya adalah Maryam, sedangkan yang lainnya adalah ‘Asiyah (istri Fir’aun), Khadijah (istri Rasulullah SAW.) dan Fatimah az-Zahra (putri Nabi Muhammad SAW.).

Kedua, Setidaknya dalam kisah Maryam terkandung beberapa keajaiban yang secara rasio tidak mungkin bisa terjadi. Hal ini dapat dilihat dari kehamilannya yang tanpa disentuh seorang-pun atau kelahiran Nabi ‘Isa as. yang tanpa seorang ayah, bagaimana proses persalinan Maryam yang tidak ditemani dan ditolong oleh seorang pun, disatu sisi. Di sisi lain, Maryam bukanlah istri seorang raja – seperti halnya ‘Asiyah (istri Fir’aun) –, Maryam bukan pula istri ataupun putri seorang Nabi – seperti halnya Khadijah dan Fatimah –, atas kehendak Allah SWT mengalami kejadian ajaib atau pengalaman hidup yang tidak bisa diterima akal, ia mempunyai inspirasi spiritual sekaligus memberikan model peran (lebih) bagi para wanita muslim dalam mencari kesempurnaan ibadah.

Ketiga, Maryam merupakan salah satu nama – sebagaimana Allah SWT mengabadikan nama-nama lain dalam al-Qur’an sebagai pelajaran bagi mereka yang berakal[34] bahkan di antara nama-nama tersebut menjadi nama sebuah surat, seperti Ibrahim, Yusuf, Yunus, Muhammad, Nuh, dan lain-lain – dari sekian banyak nama, sehingga bagi peneliti, Maryam mempunyai daya tarik tersendiri untuk diteliti, dalam arti Allah SWT tidak akan mungkin mengabadikan seorang hambanya dalam al-Qur’an kalau tidak ada suatu maksud (makna universal).

Keempat, Di Indonesia, peneliti menganggap Quraish mempunyai kredibilitas yang cukup mewakili dan mampu menyesuaikan dengan konteks kultur-budaya Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam buku-buku yang ia tulis. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil obyek penelitian pada buku Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan beberapa pokok pikiran pada latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun rumusannya adalah sebagai berikut:

  1. Apa keajaiban-keajaiban yang terdapat dalam kisah Maryam menurut  Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah?
  2. Apa implikasi bagi khalayak umum dari keajaiban-keajaiban dalam kisah Maryam tersebut menurut Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah?

C. Tujuan Penelitian

Dengan merujuk pada beberapa rumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan :

  1. Mengetahui keajaiban-keajaiban yang terdapat dalam kisah Maryam, menurut Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah.
  2. Mengetahui implikasi bagi khalayak umum dari keajaiban-keajaiban dalam kisah Maryam tersebut menurut Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah :

1.  Memberikan pengayaan penafsiran dalam khasanah tafsir khususnya di Indonesia.

  1. Diharapkan dapat memberikan informasi baru tentang nuansa kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an.
  2. Secara pragmatis akademis penelitian ini disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana S-1 pada jurusan Tafsir Hadits Sekolah Tinggi Ilmu Keislaman Annuqayah (STIKA)

E. Alasan Memilih Judul

Ada dua alasan yang mendorong penulis dalam memilih judul sebagaimana tertera di depan, Alasan tersebut antara lain :

  1. Alasan obyektif
    1. Selama ini, sejauh penulis ketahui belum ada mahasiswa STIKA yang membahas tentang kisah Maryam dalam al-Qur’an.
    2. Ada hadits yang menunjukkan bahwa ada empat orang ‘Wanita Sempurna’ dalam sejarah, yaitu Maryam,‘Asiyah (istri Fir’aun), Khadijah (istri Rasulullah SAW.) dan Fatimah az-Zahra (putri Nabi Muhammad SAW.). Dalam kisah Maryam terkandung beberapa keajaiban yang secara rasio tidak mungkin bisa terjadi. Hal ini dapat dilihat dari kehamilannya yang tanpa disentuh seorang-pun atau disaat melahirkan yang tidak ditemani dan ditolong oleh seorang pun, disatu sisi. Di sisi lain, Maryam bukanlah istri seorang raja,bukan pula istri ataupun putri seorang Nabi, namun atas kehendak Allah SWT mengalami kejadian ajaib atau pengalaman hidup yang tidak bisa diterima akal, ia mempunyai inspirasi spiritual sekaligus memberikan model peran (lebih) bagi para wanita muslim dalam mencari kesempurnaan ibadah.
    3. Di Indonesia, peneliti menganggap Quraish mempunyai kredibilitas yang cukup mewakili dan mampu menyesuaikan dengan konteks kultur-budaya Indonesia, sebagaimana yang terdapat dalam buku-buku yang ia tulis.
  2. Alasan subyektif
    1. Penelitian ini sangat relevan dengan jurusan penulis.
      1. Penelitian mudah dijangkau, baik dari segi waktu, materi, tenaga, pemikiran, buku refrensi dan lain sebagainya.

F. Tinjauan Pustaka

Berkaitan dengan tema penelitian ini, peneliti telah melakukan pra-penelitian terhadap beberapa literatur atau pustaka. Hal ini dilakukan untuk  melihat sejauhmana penelitian dan kajian – tentang kisah Maryam dan atau penafsiran Quraish telah dilakukan, sehingga nantinya tidak terjadi pengulangan yang sama untuk diangkat dalam sebuah tulisan skripsi. Dalam hal ini peneliti belum menemukan karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang membahas tema tersebut secara spesifik.

Meski demikian, terdapat beberapa karya ilmiah yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung atas tema tersebut. Baik yang berkaitan dengan kisah Maryam, maupun yang berkenaan dengan penafsiran Quraish.

Akan tetapi, peneliti telah menemukan beberapa buku yang di dalamnya terdapat sub bahasan tentang kisah Maryam. di antaranya adalah: Ibunda Para Nabi;[35] Wanita Di Dalam al-Qur’an;[36] Profil Di Balik Cadar, Kisah Wanita dalam Al-Qur’an;[37] Wanita Mulia, Wanita Keji, Contoh-contoh dalam al-Qur’an;[38] Wanita-wanita Shalihah dalam Lintas Sejarah Islam;[39] Al-Masih Dalam al-Qur’an.[40]

Secara garis besar, buku-buku tersebut menggambarkan kisah Maryam yang terdapat dalam al-Qur’an secara ringkas dan sepintas saja, misalnya saat Maryam secara tiba-tiba hamil, saat melahirkan, dan sekelumit kisah nabi Zakariyya as. Sekalipun demikian beberapa informasi dari beberapa buku tersebut penulis jadikan bahan pertimbangan, misalnya mengenai silsilah (keturunan) Maryam dan keluarganya, maupun informasi lain.

G. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian perpustakaan (library research), yaitu jenis penelitian yang obyek utamanya adalah literatur-literatur bahan pustaka. Sumber data yang dipakai meliputi sumber primer dan sumber skunder. Sumber data primernya yaitu Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, karya Quraish yang diterbitkan oleh Lentera Hati. Sedangkan sumber data skundernya adalah literatur-literatur lain yang berkaitan dengan tema penelitian ini.

Dari data yang terkumpul tersebut, kemudian diolah dengan metode sebagai berikut:

1.  Metode deskriptif analitis, yaitu mendeskripsikan data-data yang telah dikumpulkan, kemudian menganalisa untuk menemukan jawaban yang dapat mendekati persoalan yang dikemukakan.[41] Data-data tersebut dikumpulkan secara sistematik disertai dengan penjelasan-penjelasan sebagaimana adanya, kemudian dianalisa secara kritis, sebelum dituangkan dan diimplementasikan dalam sebuah gagasan untuk mendapatkan kesimpulan bagaimana Quraish menafsirkan Kisah Maryam  dan ciri khas dari penafsiran Quraish itu sendiri. Setelah diperoleh secara jelas bagaimana penafsiran Quraish dan ciri khas penafsiran tersebut, kemudian ditarik kesimpulan. Proses penarikan kesimpulan ini dilakukan secara deduktif maupun induktif.[42]

2.  Metode deduktif, yaitu metode penalaran yang berangkat dari pengetahuan yang bersifat umum, kemudian dari pengetahuan yang bersifat umum ini di nilai suatu hal yang khusus.[43] Atau dengan kata lain metode ini dilakukan untuk mengambil kesimpulan khusus dari hal yang bersifat umum. Dalam hal ini dimaksudkan untuk mempertegas bagaimana penafsiran Quraish terhadap Kisah Maryam dalam kitab Tafsir Al-Mishbah.

Seperti layaknya proses penarikan kesimpulan yang dialami oleh rumpun ilmu-ilmu Eksakta yang menjadikan metode deduksi, maka demikian pula sebagian proses dalam tulisan ini adalah menggunakan metode deduktif. Utamanya kongklusi yang tertera di bab V, merupakan hasil dari penjabaran dari fakta-fakta umum yang tertera dari bab I sampai bab IV. Akan tetapi tak selamanya berlaku demikian. Khusus di bab IV penjabarannya penulis menggunakan metode induktif, suatu metode yang banyak berkembang dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan Humaneora yang butuh penjabaran dalam bentuk tulisan naratif argumentatif. Kajian ini pada umumnya menggunakan metode induktif, sebagaimana penulis perjelas dalam pragraf di bawah ini.

  1. Metode induktif, yaitu metode penalaran yang berangkat dari fakta-fakta yang khusus, kemudian dari fakta-fakta ini di tarik kesimpulan yang bersifat umum[44] atau  mengambil kesimpulan umum dari hal khusus.

Metode ini penulis ambil tatkala menbahas kisah Maryam yang terskripsikan dalam Tafsir Al-Mishbah yang tertera di bab IV. Sebagai fakta khusus (kisah Maryam) yang mebikin gempar perjalanan sejarah, selanjutnya akan dengan jelas berefek pada rentetan tokoh-tokoh lainnya. Rentetan kejadian yang berimbas kepada banyak tokoh tersebut merupakan suatu fakta yang bersifat umum yang tidak mungkin dielakkan lagi. Suatu misal, waktu Maryam hamil tua, ia diusir oleh kaumnya (kaum yahudi, fakta umum) menuju ke tengah gurun pasir. Sampai kemudian ia melahirkan seorang bayi laki-laki tambah besar penentangan kaumnya atas kehadiran bayi tersebut, bahkan walaupun bayi itu bebicara, kaumnya tetap mengingkari pembicaraannya. Dan begitu seterusnya, hingga nabi Isa as. dicoba untuk dibunuh. Jelas untuk menguraikan kisah ini amat membutuhkan metode induktif di atas.

H. Sistematika Pembahasan

Untuk mencapai pembahasan yang komprehensif dan sistematik serta mudah dipahami penjabarannya, maka dalam penulisan skripsi ini akan digunakan sistematika sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang masalah yang mengantar penulis melakukan penelitian. Beberapa persoalan yang muncul segera dirumuskan menjadi poin-poin pokok masalah serta menjadikan tujuan dan kegunaan sebagai petunjuk arah. Langkah selanjutnya adalah menelusuri pustaka untuk mengetahui posisi tema yang sedang diteliti. Penelitian ini dibangun di atas sebuah metode sebagai tahapan-tahapan kongkret yang harus dilalui, sementara sistematika pembahasan mengarah pada rasionalisasi penelitian.

Bab kedua, berisi tentang biografi Quraish dan beberapa tokoh yang mempengaruhi pemikirannya. Biografinya terdiri dari latar belakang kehidupan, pendidikan serta karya-karyanya. Adapun tokoh-tokoh yang banyak berpengaruh dalam penafsirannya dilakukan untuk mengetahui siapa dan sejauhmana pemahaman Quraish tentang ayat-ayat al-Qur’an, terutama terhadap kisah-kisah yang terdapat didalamnya.

Bab ketiga, berbicara tentang Ihwal Tafsir Al-Mishbah yang meliputi: Latar belakang penulisan, hal ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi penulisan Tafsir Al-Mishbah. Setelah itu, Sistematika Penafsiran, yakni mengenai bagaimana beliau menyusun urutan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan bagaimana beliau mengkorelasikan urutan-urutan tersebut; metode Penafsiran, yakni mengenai metodologi yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, sehingga dapat diketahui bagaimana corak dan karakteristik penafsiran beliau.

Bab keempat, berisi tentang penafsiran Quraish terhadap Kisah Maryam yang di awali dengan tinjauan umum terhadap Kisah Maryam, hal ini ditujukan untuk mengetahui posisi Quraish dalam penafsirannya dan sekaligus sebagai bahan perbandingan (komparasi). Deskripsi penafsiran Quraish atas Kisah Maryam, kemudian penafsirannya tersebut dianalisa, yakni mengenai perangkat-perangkat dan pisau bedah yang digunakan beliau dalam menafsirkan Kisah Maryam dalam kitab Al-Mishbah. Hal ini tentunya ditujukan untuk mengetahui secara detail penafsiran Quraish atas kisah tersebut. Selanjutnya diakhiri dengan bab kelima, yakni penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD QURAISH SHIHAB

A.    Riwayat Hidup

Muhammad Quraish Shihab (selanjutnya disebut Quraish), lahir di Rappang, Sulawesi Selatan pada 16 Februari 1944[45], ia terlahir sebagai putra dari seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu Abdurrahman Shihab (1905-1986), Quraish mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur’an.

Pendidikan formalnya dimulai dari Sekolah Dasar di Ujung Pandang. Setelah itu ia melanjutkan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di kota Malang sambil “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Falaqiyah di kota yang sama. Untuk lebih mendalami studi ke-Islamannya, Quraish dikirim oleh ayahnya ke Al-Azhar, Cairo, pada tahun 1958 dan di di terima di kelas dua Tsanawiyah. Setelah itu ia melanjutkan studinya ke Universitas Al-Azhar pada fakultas Ushuluddin, jurusan Tafsir Hadis.[46] Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC (setingkat sarjana S1). Dua tahun kemudian (1969), Quraish meraih gelar MA. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul al-I’jaz al-Tasyri’i li al-Qur’an al-Karim[47] (Kemu’jizatan al-Qur’an al-Karim dari Segi  Hukum).

Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Ujung Pandang oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping menduduki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya – yang telah uzur karena usia – dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish diserahi berbagai jabatan, seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia bagian timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain: Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).[48]

Untuk mewujudkan cita-citanya mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish kembali menuntut ilmu ke almamaternya, Al-Azhar, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur’an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk memperoleh gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul Nadhm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah berhasil dipertahankannya dengan predikat summa cum laude dengan penghargaan Mumtaz ma’a martabah asy-Syaraf al-Ula[49] (sarjana teladan dengan prestasi istimewa).

Setelah pulang ke tanah air, Quraish kembali mengabdi di tempat tugasnya semula, IAIN Alauddin Ujung Pandang. Namun dua tahun kemudian (1984), ia ditarik ke Jakarta sebagai dosen pada Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah.

Karena keahliannya dalam bidang kajian Tafsir al-Qur’an, Quraish tidak memerlukan waktu lama untuk dikenal dikalangan masyarakat intelektual Indonesia. Dalam forum di tingkat Nasional, antara lain menjadi wakil ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) sejak tahun 1984, anggota Lajnah Pentashih al-Qur’an Departemen Agama (sejak 1989), dan anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Selain itu, penggemar berat lagu-lagu Ummi Kultsum ini juga aktif di berbagai organisasi lain Organisasi Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari’at, Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Depdikbud, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).[50] Di samping itu ia tetap memberikan ceramah keagamaan dalam berbagai forum dan menghadiri berbagai kegiatan ilmiah, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejak tahun 1993, pemerintah mempercayainya untuk mengemban tugas sebagai rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu ia juga menjadi direktur Pendidikan Kader Ulama (PKU) yang merupakan salah satu usaha MUI untuk membina kader-kader ulama di tanah air.

Quraish memang bukan satu-satunya pakar Tafsir al-Qur’an di Indonesia, tapi kemampuannya menerjemahkan dan menyampaikan pesan-pesan al-Qur’an dalam konteks masa kini dan masa modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur’an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat-ayat al-Qur’an yang tersebar dalam berbagai surat yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur’an tentang berbagai masalah kehidupan sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemajuan peradaban masyarakat.

Quraish banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku kepada makna tekstualnya agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur’an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran al-Qur’an tidak pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski demikian, ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur’an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur’an. Bahkan, menurutnya adalah suatu dosa besar bila seseorang memaksakan pendapatnya atas nama al-Qur’an.

B.     Karya-karya Muhammad Quraish Shihab

Dalam bidang intelektual kontribusinya terbukti dari beberapa karya tulisnya. Karyanya berupa artikel singkat muncul secara rutin pada rubrik “Pelita Hati” dalam surat kabar Pelita dan pada rubrik “Hikmah” dalam surat kabar Republika. Adapun yang berupa uraian tafsir muncul pada rubrik “Tafsir al-Amanah” dalam majalah Amanah yang kemudian dikompilasikan dan diterbitkan menjadi buku dengan judul Tafsir al-Amanah. Sedangkan karya-karyanya yang lain di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1992)[51]
  2. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996)[52]
  3. Mukjizat Al-Qur’an Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 1997)[53]
  4. Tafsir al-Qur’an al-Karim, Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (1997)[54]
  5. Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 1997)[55]
  6. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Urusan Agama (Bandung: Mizan, 1999)[56]
  7. Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000)[57]
  8. Tafsir Al-Manar: Keistimewan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984).
  9. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987).

10.  Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surat Al-Fatihah (Jakarta: Untagama, 1988).

11.  Lentera Hati: Hikmah dan Kisah Kehidupan (Bandung: Mizan, 1994).

12.  Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).

13.  Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI (Bandung: Mizan, 1997).

14.  Haji Bersama M. Quraish Shihab: Panduan Praktis Untuk Menuju Haji Mabrur (Bandung: Mizan, 1998).

15.  Yang Tersembunyi Jin, Iblis, Setan dan Malaikat: Dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini (Jakarta: Lentera Hati, 1999).

16.  Fatwa-Fatwa: Seputar Al-Qur’an dan Hadis (Bandung: Mizan, 1999).

17.  Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Republika, 2000).

18.  Menyingkap Tabir Ilahi: Asmaul Husna dalam Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2000).

19.  Perjalanan Menuju Keabadian Kematian Surga dan Ayat-Ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2001).

20.  Panduan Shalat Bersama Quraish Shihab (Jakarta: Republika, 2003).

21.  Kumpulan Tanya Jawab Quraish Shihab: Mistik, Seks, dan Ibadah (Jakarta: Republika, 2004).

22.  Untaian Permata Buat Anakku: Pesan al-Qur’an untuk Mempelai (1995).

23.  Perempuan – dari cinta sampai seks, dari nikah mut’ah sampai nikah sunnah, dari bias lama sampai bias baru

C.      Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran M. Quraish Shihab

Al-Biqa’i

Quraish dalam disertasinya mengangkat salah satu karya al-Biqa’i dengan judul: Nadhm al-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah. Dari sini ia banyak dipengaruhi pemikirannya baik dalam metode, corak maupun karakter dari penafsirannya. Selain itu, beberapa karya ilmiahnya baik dalam bentuk buku, jurnal maupun artikel-artikel lepas yang dimuat di media massa, merupakan gambaran yang jelas mengenai alur dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya, yang diantaranya adalah al-Biqa’i.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Quraish juga banyak mengutip pendapat al-Biqa’i, yang mempunyai nama lengkap Ibrahim ibn ‘Umar al-Biqa’i, misalnya pada surat Maryam ayat 16 dan 17, al-Biqa’i menyatakan adanya munasabah dengan ayat 38 dari surat Ali ‘Imran, dalam pembahasan ini. Dan ayat-ayat lain yang mana pengutipan tersebut merupakan gambaran bahwa Quraish banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran al-Biqa’i.

Al-Farmawi

Al-Farmawi, mempunyai nama lengkap Abdul Hayyi al-Farmawi, ia adalah seorang mufasir yang telah menelorkan beberapa metode penafsiran, yaitu, tahlili, ijmali, muqaran dan maudlu’i. Metode ini diterapkan oleh Quraish, dalam tafsir Al-Mishbah, seperti yang telah diketahui bahwa tafsir Indonesia, cenderung menggunakan metode tahlili dan maudlu’i.

Salah satu karya Quraish yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran al-Farmawi, adalah tafsir Al-Mishbah. Hal ini dapat dilihat bagaimana Quraish banyak mengutip pendapat al-Farmawi, dalam beberapa karya tafsirnya.

Muhammad ‘Abduh

Beliau adalah salah seorang pembaharu dari Mesir yang berjuang untuk pembaharuan Islam dan meralatnya melalui pemikiran akal. Menurutnya, al-Qur’an tidak semuanya merupakan wahyu Allah SWT. Ungkapan-ungkapan al-Qur’an tentang pranata sosial umat manusia dipandang Abduh sebagai pemikiran Nabi Muhammad  SAW. Pendapatnya sangat bertentangan dengan tradisi pemahaman yang telah berkembang, sementara itu kalangan ortodoks berpendapat bahwa al-Qur’an sejak awal sampai akhir merupakan wahyu Tuhan, bahkan mereka tidak hanya meyakininya sebagai wahyu Tuhan, melainkan juga firman Tuhan yang bersifat ‘azali. Tetapi dalam situasi kebangkitan Islam dalam rangka mengatasi keterbelakangan umat Islam dibanding kemajuan barat, maka ide-ide pemikiran Abduh mengecam pihak-pihak yang berusaha mengadopsi sepenuhnya kemajuan barat dan meninggalkan sama sekali peninggalan tradisi Islam. Gerakan yang berusaha menegakkan pembaharuan ini dinamakan Salafiyah, dan Abduh merupakan tokoh yang pengaruhnya terbesar dalam gerakan ini.[58]

Abduh menempuh studinya di Paris. Di negeri ini ia bergabung dengan tokoh besar gerakan politik Jamaluddin al-Afghani. Ia mendirikan gerakan politik dan keagamaan yang dinamakan Urw al-Wusqa (Ikatan yang tidak dapat dipatahkan) dan menerbitkan majalah al-Manar (Menara) secara periodik. Pada tahun 1885, Abduh dan Afghani berpisah, ketika itu Abduh berpindah ke Beirut dan mengajarkan Theology di Madrasah Sulthaniyah. Ia kembali ke Mesir pada tahun 1888 dan menjabat sebagai Mufti Agung Mesir pada tahun 1889. pada tahun 1894, Abduh menjadi Dewan Agung Universitas al-Azhar dan di tahun 1897 ia menerbitkan karya tentang theologi dan hukum dengan judul Risalat al-Tauhid.[59]

Pengarang tafsir al-Manar ini merupakan seorang mufassir besar abad modern, karya-karya tafsirnya banyak di rujuk oleh para mufassir generasi sesudahnya, baik di barat maupun di timur. Salah satu alasan menarik yang menjadikan Quraish mengadopsi pemikirannya adalah mengenai ide modernisasi, karena di dalam tafsir al-Manar banyak terdapatkan pemikiran-pemikiran produk masa kini.

BAB III

IHWAL TAFSIR AL-MISHBAH

A. Latar Belakang Penulisan Tafsir

Dalam latar belakang penulisan Tafsir Al-Mishbah, Quraish memberikan alasan penulisan yang dijadikan dasar munculnya Tafsir Al-Mishbah di antaranya:

Pertama, memberikan kemudahan pada umat Islam dalam memahami kandungan al-Qur’an dengan menguraikan tujuan surat atau tema pokok surat, karena menurutnya masyarakat Islam dewasa ini pun mengagumi al-Qur’an. Tetapi sebagian besar hanya berhenti pada pesona bacaan ketika dilantunkan, seakan-akan kitab suci ini hanya diturunkan untuk dibaca. Bacaan hendaknya disertai dengan kesadaran akan keagungan al-Qur’an, pemahaman dan penghayatan yang disertai dengan tadzakkur dan tadabbur. Al-Qur’an mengecam mereka yang tidak menggunakan akal dan kalbunya untuk berpikir dan menghayati pesan-pesan al-Qur’an, mereka itu dinilai telah terkunci hatinya.[60] (Lihat Q.S. Sad (38): 29).

Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’an, dalam buku ini, Quraish berusaha menghidangkan bahasan setiap surat pada apa yang dinamai tujuan surat atau tema pokok surat. Memang, menurut para pakar, setiap surat ada tema pokoknya. Pada tema itulah berkisar uraian ayat-ayatnya. Jika kita mampu memperkenalkan tema-tema pokok itu, maka secara umum  dapat memperkenalkan pesan utama setiap surat, dan dengan memperkenalkan ke 144 surat, kitab suci ini akan dikenal lebih dekat dan mudah.[61]

Kedua, adanya kerancuan pemahaman yang terjadi di kalangan umat Islam terhadap surah-surah tertentu, karena menurutnya banyak kaum muslimin yang membaca surat-surat tertentu dari al-Qur’an, seperti Yasin, al-Waqi’ah, ar-Rahman, dan lain-lain. Berat dan sulit bagi mereka memahami apa yang dibacanya. Bahkan boleh jadi, ada yang salah dalam memahami maksud ayat-ayat yang dibacanya, walau telah mengkaji terjemahannya. Kesalah pahaman tentang kandungan atau pesan surat akan semakin menjadi-jadi bila membaca beberapa buku yang menjelaskan keutamaan surat-surat al-Qur’an atas dasar hadis-hadis lemah, misalnya membaca surat al-Waqi’ah mengandung kehadiran rezeki. Menjelaskan tema-tema pokok surat-surat al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekeliling ayat-ayat dari surat itu, akan membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang benar.[62] Dari salah satu permasalahan di ataslah  Quraish menulis Tafsir Al-Mishbah karena menurutnya adanya kerancuan pemahaman yang terjadi di tengah masyarakat muslim dalam memahami kandungan surat, sebagaimana halnya yang telah dicontohkan oleh penulis. Padahal yang terpenting adalah memahami tujuan surat atau tema pokok surat guna memperoleh pesan utama pada setiap surat. Menghidangkan tema-tema pokok al-Qur’an dan menunjukkan betapa serasi ayat-ayat setiap surat dengan temanya, akan ikut membantu menghapus kerancuan yang melekat atau hinggap di benak tidak sedikit orang.[63]

B. Sistematika Penyajian Tafsir

Tafsir Al-Mishbah pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada tahun 2000. Tafsir  yang jumlahnya mencapai 15 volume ini telah lengkap sampai dengan juz 30, surat al-Nas.

Adapun cetakan Tafsir Al-Mishbah dalam penerbitannya mengalami empat tahapan, yakni volume 1 dan 2 diterbitkan pada tahun 2000, selanjutnya volume 3 dan 4 pada tahun 2001, lalu disusul volume 5-10 pada tahun 2002, dan terakhir, volume 11-15 pada tahun 2003. Pada setiap volume jumlah cakupan surat yang dikandungnya berbeda

Untuk lebih lengkapnya bisa dilihat pada tabel berikut:

Sistematika Isi Tafsir Al-Mishbah

No

Volume

Isi

Jumlah Halaman
1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Total

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

Q.S. al-Fatihah dan Q.S. al-Baqarah

Q.S. Ali Imran dan Q.S. al-Nisa

Q.S. al-Ma’idah

Q.S. al-An’am

Q.S. al-A’raf, Q.S. al-Anfal, Q.S. at-Taubah

Q.S. Yunus, Q.S. Hud, Q.S. Yusuf, Q.S.  ar-Ra’d

Q.S. Ibrahim, Q.S. al-Hijr, Q.S. an-Nahl, Q.S. al-Isra’,

Q.S. al-Kahf, Q.S. Maryam, Q.S. Taha, Q.S al-Anbiya’

Q.S. al-Hajj, Q.S. al-Mu’minun, Q,S, an-Nur, Q.S. al-Furqan

Q.S. asy-Syu’ara’, Q.S an-Naml, Q.S. al-Qasas, Q.S. al-Ankabut

Q.S. ar-Rum, Q.S. Luqman, Q.S. as-Sajdah, Q.S. al-Ahzab, Q.S. Saba, Q.S. Fathir, Q.S. Yasin

Q.S. ash-Saffat, Q.S. Sad, Q.S. az-Zumar, Q.S Ghafir, Q.S. Fussilat, Q.S. asy-Syura, Q.S. az-Zukhruf

Q.S. ad-Dukhan, Q.S. al-Jatsiyah, Q.S. al-Ahqaf, Q.S. Muhammad, Q.S. al-Fath, Q.S. al-Hujurat, Q.S. Qaf, Q.S. adz-Zariat, Q.S. at-Tur, Q.S. an-Najm, Q.S. al-Qamar, Q.S. ar-Rahman, Q.S. al-Waqi’ah

Q.S. al-Hadid, Q.S. al-Mujadalah, Q.S. al-Hasyr, Q.S. al-Mumtahanah, Q.S. as-Saff, Q.S. al-Jumu’ah, Q.S. al-Munafiqun, Q.S. at-Taghabum, Q.S. at-Talaq, Q.S. at-Tahrim, Q.S. Tabarak, Q.S. al-Qalam, Q.S. al-Haqqah, Q.S. al-Ma’arij, Q.S. Nuh, Q.S. al-Jinn, Q.S. al-Muzzamil, Q.S. al-Muddassir, Q.S. al-Qiyamah, Q.S. al-Insan, Q.S. al-Mursalat

Q.S. an-Naba’, Q.S. an-Nazi’at, Q.S. ‘Abasa, Q.S. at-Takwir, Q.S. al-Infitar, Q.S. al-Mutaffifin, Q.S. al-Insyiqaq, Q.S. al-Buruj, Q.S. ath-Tariq, Q.S. al- A’la, Q.S. al-Ghasyiyah, Q.S. al-Fajr, Q.S. al-Balad, Q.S. asy-Syams, Q.S. al-Lail, Q.S. ad-Duha, Q.S. asy-Syarh, Q.S. at-Tin, Q.S. al-‘Alaq, Q.S. al-Qadr, Q.S. al-Bayyinah, Q.S. az-Zalzalah, Q.S. al-‘Adiyat, Q.S. al-Qari’ah, Q.S. at-Takatsur, Q.S. al-‘Asr, Q.S. al-Humazah, Q.S. al-Fil, Q.S. Quraisy, Q.S. al-Ma’un, Q.S. al-Kausar, Q.S. al-Kafirun, Q.S. an-Nasr, Q.S. Tabbat, Q.S. al-Ikhlas, Q.S. al-falaq, Q.S. an-Nas.

624

659

257

366

765

611

585

524

554

547

582

601

586

695

644

8600

Sistematika penyajian tafsir yang dimaksud adalah rangkaian yang dipakai dalam penyajian tafsir,[64] dan Tafsir Al-Mishbah dalam penyusunannya menggunakan tartib mushafi, artinya menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an sesuai dengan susunan ayat-ayat dalam mushaf, ayat demi ayat dan surat demi surat dimulai dari surat al-Fatihah, surat al-Baqarah, dan seterusnya.

Sebelum menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, Quraish terlebih dahulu memberikan pengantar terhadap surat yang akan ditafsirkannya. Pengantar surat tersebut memuat penjelasan anatara lain:

1.  Penyebutan jumlah ayat dan Penjelasan yang berkaitan dengan penamaan surat.[65]

2.  Nama surat dan nama-nama lain dari surat tersebut jika ada, serta alasan-alasan penamaannya,[66] terkadang disertai keterangan tentang ayat-ayat yang diambil dan dijadikan nama surat tersebut.[67]

3.  Tempat turun surat (Makkiyah atau Madaniyyah)[68] disertai pengecualian ayat-ayatnya (ayat-ayat yang tidak termasuk kategori tersebut).[69]

4. Nomor surat berdasarkan urutan mushaf dan urutan turunnya, kadang disertai nama-nama surat yang turun sebelum maupun sesudah.[70]

5.  Tema pokok atau tujuan surat dan pendapat-pendapat ulama tentang hal tersebut.[71]

6.   Munasabah antara sebelum dan sesudahnya.[72]

7.  Asbab al-Nuzul-nya surat.[73]

Dengan memberikan penjelasan dalam setiap pengantar surat (diharapkan) akan lebih memudahkan pembaca untuk memperoleh poin-poin yang penting dalam surat tersebut[74], sehingga pemahaman lebih jauhnya bisa dilakukan dengan melihat dan membaca tafsirnya dalam ayat per ayat guna menghasilkan pemahaman yang utuh tentang surat yang sedang dikaji.

Setelah memberikan pengantar surat yang akan ditafsirkannya Quraish memulai membagi ayat-ayat tersebut ke dalam kelompok-kelompok kecil yang dianggap berkaitan dan berhubungan. Pemilahan kelompok-kelompok kecil tersebut pada gilirannya membentuk tema-tema kecil yang membawa pemahaman adanya keterkaitan antar ayat dalam setiap kelompok tersebut.

Langkah-langkah yang dilakukan oleh  Quraish dalam menafsirkan al-Qur’an bukanlah hal yang baru dilakukan. Mufasir sebelumnya, misalnya Ibnu Kasir, Mustafa al-Maraghi dan Sayyid Muhammad Rasyid Rida juga menafsirkan al-Qur’an dengan cara serupa.[75] Rasyid Rida sendiri dalam Tafsir al-Manar-nya mempunyai pandangan yang sama. Ia memilah-milah kemudian menghimpun sekian ayat yang ditafsirkannya dalam kelompok tersendiri, lalu menghubungkan dengan kelompok yang lain. Di sisi lain, hampir di setiap surat yang ditafsirkannya ia merangkum pokok-pokok masalah walau keterkaitan pokok-pokok tersebut dalam uraiannya belum terlalu jelas dengan tema surat.[76]

Dalam kelompok-kelompok kecil tersebut, Quraish mulai menuliskan satu ayat, dua ayat atau lebih yang masih terkait. Selanjutnya ia memberikan terjemah literer Indonesia dengan italic letter (tulisan miring). Hal ini dilakukan untuk membedakan antara terjemahan al-Qur’an dengan sisipan ataupun penafsirannya, sehingga tidak terjadi kesalah pahaman akibat penulisan seperti yang pernah dialami oleh Ibrahim Ibn ‘Umar al-Biqa’i.[77]

Cara memahami tema pokok surah atau tujuan surah bukanlah hal yang baru dilakukan di kalangan para mufasir, tetapi sudah dilakukan sebelumnya oleh Fakhruddin ar-Razi yang tergolong orang pertama yang berbicara tentang tema surat-surat al-Qur’an. Dalam kitabnya, Mafatih al-Gaib, pakar tafsir yang digelar al-Imam ini mengemukakan bahwa setiap surat mempunyai tujuan atau tema utama.[78]

Dalam setiap ayat yang akan ditafsirkannya, ia biasanya menjelaskan: pertama, Makna kosa kata, kedua, Munasabah antar ayat, dan ketiga, Asbab Nuzul-nya, jika memang ada.

Setelah pada kelompok akhir dari kelompok-kelompok kecil dalam satu surat,  Quraish biasanya menyimpulkan pokok kandungan surat tersebut. Kemudian diakhiri dengan pengakuan wa Allahu a’lam.

Dari pembahasan sistematika di atas, terlihat bahwa pada dasarnya, tafsir ini mendahulukan hal-hal yang berkaitan dengan periwayatan sebelum melakukan penafsiran lebih jauh. Dalam muqaddimah kitabnya, Ibn Kasir menyatakan bahwa tingkatan tafsir yang tertinggi adalah tafsir yang mendahulukan riwayat-riwayat seputar ayat, sebelum menafsirkan yang lain-lain,[79] karena tafsir bi al-Ma’sur adalah dasar dari tafsir.[80]

C.    Metode Penafsiran

Adapun yang dimaksud dengan metode adalah apa yang diistilahkan oleh kalangan para mufasir dengan kata manhaj. Menurut al-Rumi, manhaj adalah cara menuju kepada tujuan yang direncanakan. Sedang Mustafa al-SAWi al-Juwaini dalam bukunya Manahij fi al-Tafsir, mendefinisikannya dengan langkah-langkah teratur dan seperangkat ulasan materi yang disiapkan untuk penulisan tafsir al-Qur’an, agar dapat sampai pada maksud dan tujuan.[81]

Al-Farmawi, dalam bukunya al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i,[82] membagi metode tafsir menjadi empat:

a. Metode tahlili atau analisis yaitu metode penafsiran yang berusaha memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkannya sesuai urutan bacaan yang terdapat dalam al-Qur’an; mushaf utsmani.

b.  Metode Ijmali atau global, yaitu metode penafsiran al-Qur’an, berdasarkan ayat secara global, ringkas tetapi jelas.

c. Metode Muqaran atau perbandingan, yaitu penafsiran al-Qur’an yang membicarakan suatu masalah tertentu dengan cara membanding-banding (komparasi) ayat al-Qur’an dengan ayat lain, ayat al-Qur’an dengan hadis atau membandingkan penafsiran seorang mufasir dengan mufasir lain.

d.   Metode Maudlu’i atau tematis, yaitu penafsiran al-Qur’an dengan mengkaji dan mempelajari ayat-ayat al-Qur’an dalam satu topik atau tema tertentu.

Dengan melihat pembagian di atas, akan tampak bahwa Tafsir Al-Mishbah ini memakai metode tahlili[83] karena dalam melakukan penafsiran Quraish menguraikan makna yang di kandung oleh al-Qur’an, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutannya di dalam mushaf, dan tidak lepas dari aspek yang dikandung ayat yang ditafsirkan seperti pengertian kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turun ayat, kaitan dengan ayat-ayat lain, baik sebelum maupun sesudah (munasabah), dan tidak ketinggalan pendapat yang disampaikan oleh Nabi, sahabat, para tabi’in maupun ahli tafsir lainnya.[84]

Dilihat dari corak yang muncul dalam penggunaan metode tahlili, dapat dikemukakan paling tidak ada tujuh corak tafsir[85]: (1) al-tafsir bi al-ma’sur atau metode bi al-riwayah atau al-tafsir bi al-manqul, (2) al-tafsir bi al-ra’y atau tafsir bi al-dirayah atau tafsir bi al-ma’qul, (3) al-tafsir al-fiqh, (4) al-tafsir al-sufi, (5) al-tafsir al-falsafi, (6) al-tafsir al-ilmi dan (7) al-tafsir al-adabi al-ijtima’i.

Dari pembagian corak tafsir di atas, tampak jelas bahwa Tafsir Al-Mishbah cenderung menggunakan corak tafsir bi al-ma’sur.[86] karena M. Quraish Shihab dalam menafsirkannya masuk pada ketiga kriteria,[87] yakni: menafsirkan ayat dengan ayat,[88] menafsirkan ayat al-Qur’an dengan hadis[89] dan menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendapat sahabat atau tabi’in.[90]

BAB IV

PENAFSIRAN M. QURAISH SHIHAB TERHADAP KISAH MARYAM

A.  Tinjauan Umum Tentang Kisah Maryam

Berkenaan dengan kisah Maryam ini, peneliti merujuk kepada kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al-Qur’an Al-Hakim, karangan Muhammad Abd Al-Baqiy, dan Indeks al-Qur’an Panduan Mencari Ayat-ayat al-Qur’an Berdasarkan Kata Dasarnya, karangan Azharuddin Sahil.[91] Dalam kedua buku yang dijadikan rujukan tersebut diperoleh bahwa kata Maryam terdapat dalam al-Qur’an sebanyak 34 kali. Akan tetapi yang secara langsung menggambarkan kisah  Maryam adalah sesuai dengan data yang kami peroleh dari  internet yakni ayat 16 sampai 36 dari surat Maryam [19] dan ayat 41 sampai 50 dari surat Ali ‘Imran [3].[92] Namun demikian, peneliti akan sedikit menyinggung beberapa ayat dari surat Ali ‘Imran [3], semisal ayat 33 sampai 40, atau ayat lain yang terkait dengan kisah Maryam.

Dari data tersebut, peneliti mengkomparasikan sekaligus mengaplikasikannya ke dalam Tafsir Al-Mishbah, adapun dalam Tafsir Al-Mishbah ini, Quraish mengelompokkan Kisah Maryam ke dalam kelompok kedua dari tujuh kelompok yang lain yang terdapat dalam surat Maryam, dimana semua kelompok yang ada dalam surat tersebut merupakan ulasan tentang kisah-kisah Nabi maupun kisah orang-orang Salih. Adapun yang menerangkan mengenai kisah Maryam terdapat dalam ayat 16-36. Sebagaimana diketahui, kisah Maryam yang terdapat dalam ayat-ayat tersebut merupakan gambaran jiwa dari seorang wanita yang secara spriritual melebihi kaum laki-laki.

Surat Maryam terdiri atas 98 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyyah, karena hampir seluruh ayatnya diturunkan sebelum Nabi Muhammad SAW. hijrah ke Madinah, bahkan sebelum sahabat-sahabat beliau hijrah ke negeri Habsyi. Menurut riwayat Ibnu Mas’ud, Ja’far bin Abi Thalib membacakan permulaan surat Maryam ini kepada raja Najasyi dan pengikut-pengikutnya di waktu ia ikut hijrah bersama-sama sahabat-sahabat yang lain ke negeri Habsyi.

Surat ini dinamai “Maryam”, karena surat ini mengandung kisah Maryam, ibu Nabi Isa a.s. yang mengalami kejadian-kejadian yang ajaib, yaitu melahirkan puteranya lsa a.s., sedang ia sebelumnya belum pernah dikawini atau dicampuri oleh seorang laki-laki pun. Kelahiran Isa a.s. yang tanpa bapak, merupakan suatu bukti kekuasaan Allah  SWT. Pengutaraan kisah Maryam sebagai kejadian yang luar biasa dan ajaib dalam surat ini, diawali dengan kisah kejadian yang luar biasa dan ajaib pula, yaitu dikabulkannya do’a Zakariyya as.[93] oleh Allah SWT., agar beliau dianugerahi seorang putera sebagai pewaris dan pelanjut cita-cita dan kepercayaan beliau, sedang usia beliau sudah sangat tua dan isteri beliau seorang yang mandul yang apabila di lihat dari ilmu kedokteran tidak mungkin akan terjadi kehamilan, karena wanita se-usia dia, pastilah sudah menopouse.[94]

Selain itu, pada surat Ali ‘Imran digambarkan bahwa, kelahiran Maryam putri ‘Imran merupakan salah satu diantara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kelahirannya, kehidupannya dan nasabnya merupakan tanda kekuasaan Allah.

Tentang nasabnya, Maryam merupakan salah seorang keluarga ‘Imran yang telah di pilih Allah SWT.,[95] sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya Allah SWT telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga ‘Imran melebihi segala umat (pada mereka masing-masing), yaitu satu keturunan yang sebagiannya (keturunan) dari yang lain. Dan Allah SWT Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 33-34)

Kelahiran Maryam merupakan tanda kekuasaan Allah SWT tersendiri. Sebab ibunya, Hannah[96] adalah wanita mandul. Sementara itu dia sangat ingin mempunyai anak.[97] Maka dia berdoa kepada Rabb-nya agar di anugerahi anak. Doanya pun dikabulkan. Tatkala mengandung, dia bernadzar untuk menyerahkan anaknya agar berkhidmat di Baitul Maqdis. Allah SWT berfirman:

(Ingatlah) ketika istri ‘Imran berkata, ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang shalih dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar) itu daripadaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 35).

Doa Hannah terkabul, maka lahirlah Maryam. Pada awalnya dia kecewa karena yang dilahirkan anak perempuan, bukan anak laki-laki. walaupun begitu, nadzarnya tetap dipenuhi, dan dia menyerahkan Maryam ke tempat peribadatan setelah cukup umur.[98] Allah SWT berfirman:

Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: ‘Wahai Rabb-ku, sesungguhnya aku melahirkannya anak perempuan, dan Allah SWT lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia maryam dan aku melindunginya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk’.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 36).

Nadzar ibu Maryam itupun diterima, sehingga kedudukannya tidak kalah dengan khidmat kaum laki-laki yang merdeka di lingkungan Baitul Maqdis. Bahkan dia mempunyai kelebihan berlipat ganda daripada mereka. Dengan begitu diketahui bahwa putrinya berada dalam pengawasan Allah SWT semenjak lahir. Nadzar ibu Maryam diterima dengan penerimaan yang baik dan dididik dengan pendidikan yang baik pula, hingga Allah SWT mendatangkan berbagai mukjizat lewat dirinya, yang mengagumkan seluruh alam.[99] Inilah makna dari firman Allah SWT.:

Maka Rabb-nya menerimanya (sebagai nadzar) dengan penerimaan yang baik dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 37).

Itulah dia Maryam. Itulah doa ibunya yang dikabulkan Allah SWT dengan pengabulan yang lebih baik dari apa yang diminta, dan Allah SWT melipat gandakan pengabulan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah SWT memiliki keutamaan yang agung. Dengan begitu Maryam layak memiliki kemuliaan untuk menjadi wanita yang paling baik dialam semesta, bersama wanita-wanita lain yang terbatas jumlahnya, yaitu ‘Asiyah, Khadijah dan Fatimah.

Maryam dilahirkan dalam keadaan yatim, karena bapaknya meninggal dunia selagi dia masih di dalam kandungan. Tatkala ibunya sudah melahirkannya, maka sang ibu pergi ke Baitul Maqdis, sehingga nadzarnya benar-benar sudah terlaksana. Dia menyerahkan putrinya kepada para ahli ibadah di tempat suci itu, sehingga sejak awal Maryam sudah dididik dalam lingkup ketaatan dan ibadah.

Dan (ingatlah) ketika malaikat Jibril berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah SWT telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu dari seluruh wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).” (QS. Ali Imran [3]: 42)

Ia diwahyukan dan diyakinkan bahwa ia termasuk hamba-hamba pilihan. Kata “terpilih” (mustafa) merupakan nama yang juga diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Maryam telah dipilih “dari seluruh wanita di dunia” karena ia telah terilhami, sejak awal hidupnya, untuk menjadi apa yang diinginkan oleh ibunya. Diriwayatkan bahwa ia tidak memiliki siklus menstruasi, dan sebagai penguat atas posisinya yang unik di antara wanita lain, ia hamil tanpa pernah tersentuh oleh seorang laki-laki, melahirkan Nabi Isa. la mengabdi demikian tekun kepada Allah SWT hingga tidak bergantung kepada siapa pun kecuali Dia.

Ahmad Deedat menyatakan bahwa ayat diatas, cukup menunjukkan penghormatan yang tinggi terhadap Maryam, yang tidak akan ditemukan dalam Injil. Hal ini disempurnakan dalam ayat berikut ini:[100]

“Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran [3]: 43)

Ketaatan, sujud, dan rukuk merupakan elemen-elemen pengabdian yang melaluinya manusia dapat larut secara fisik kepada zat yang ia sembah. Allah SWT memerintahkan Maryam untuk menjadi golongan orang-orang yang rukuk. Dia memerintahkan Maryam untuk membagi cahaya pengabdian dan shalatnya kepada orang lain. Terkadang sangatlah baik beramal tanpa menyebutkan nama, dan pada waktu lain sangatlah baik beramal di hadapan khalayak ramai. Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memperoleh manfaat dari beribadah bersama orang lain.

Inilah pemberitahuan dari alam gaib yang Kami wahyukan kepadamu. Padahal kamu tidak berada di tengah-tengah mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah untuk memutuskan siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan kamu tidak bersama mereka ketika mereka bersengketa satu sama lain. (QS. Ali Imran [3]: 44)

Ayat ini berkaitan dengan ayat ke-37, menceritakan kembali saat-saat ketika Zakariya diangkat sebagai wali pemelihara Maryam. Anak-anak panah digunakan untuk mengundi, dan dengan metode pemilihan inilah Zakariya terpilih menjadi wali pemelihara Maryam. “kamu tidak berada di tengah-tengah mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah.” Inilah pengetahuan yang berasal dari alam gaib, dari Allah SWT. Tersirat bahwa pada masa Nabi Muhammad tak seorang pun yakin bagaimana peristiwa-peristiwa itu dapat terjadi.[101]

Mukjizat yang dijadikan Allah SWT lantaran Maryam ini, menguatkan keyakinan Zakariyya tentang pengawasan Allah SWT terhadap wali-wali-Nya lewat hal-hal yang bersifat materiel, yang diperkuat lagi dengan iman yang mantap didalam sanubari, bahwa Allah SWT senantiasa bersama orang-orang yang beriman. Maka beliau menghadap Allah SWT secara tulus, agar dia diberi momongan yang baik, sehingga beliau juga ikut terimbasi oleh karamah tersebut. Maka beliau berdoa kepada Rabb-nya agar dikaruniai anak yang baik, meskipun sebenarnya beliau sudah tua renta dan rambutnya sudah memutih. Allah SWT menjelaskan hal ini dalam firman-Nya:

Disanalah Zakariyya berdoa kepada Rabbnya seraya berkata: ‘Wahai Rabbku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa’.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 38)

Allah SWT mengabulkan doa beliau dan beliau diberi kabar gembira tentang kedatangan seorang anak dikemudian hari yang diberi nama Yahya. Tidak berbeda dengan keheranan Zakariyya tatkala melihat rizki yang selalu datang di sisi Maryam dimihrabnya, beliaupun merasa heran terhadap kabar gembira ini. Sebab istrinya adalah wanita mandul dan umur mereka benar-benar sudah uzur.[102] Allah SWT berfirman:

Kemudian malaikat Jibril memanggil Zakariyya, sedang ia tengah berdiri shalat di mihrab (katanya): ‘Sesungguhnya Allah SWT menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi panutan, menahan diri (dari pengaruh hawa nafsu) dan seorang nabi dari keturunan orang-orang yang shalih’. Zakariyya berkata; ‘Wahai Rabbku, bagaimana aku bisa mendapat anak sedang aku telah sangat tua dan istriku pun seorang yang mandul?’ Allah SWT berfirman: ‘Demikian Allah SWT berbuat apa yang dikehendakinya’.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 39-40).

Ini merupakan kabar gembira bagi Zakariyya, agar beliau merasa yakin bahwa Allah SWT telah mempersiapkan dirinya untuk suatu urusan yang sangat besar dan penting yaitu untuk menemui kelahiran ‘Isa dari ibunya yang suci tanpa dijamah oleh seorang laki-laki pun.[103]

Cara penyampaian kabar gembira kepada Zakariyya sama dengan kabar kehamilan ‘Isa kepada Maryam. Sehingga kepercayaanya terhadap Maryam tidak terusik. Para malaikat berkata kepada Zakariyya, seraya menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran yahya. Apakah setelah melihat tanda kekuasaan Allah SWT pada dirinya, memungkinkan bagi Zakariyya untuk mengingkari tanda kekuasaan serupa pada diri Maryam?

Sebagaimana Allah SWT mempersiapkan Zakariyya untuk menerima mukjizat ini, maka Dia juga mempersiapkan Maryam untuk menerima mukjizatnya yang keluar dari hukum alam dan kehidupan, agar dia tidak takut, khawatir dan gentar menghadapi kaumnya, karena dia mengalami kejadian yang menegangkan ini, agar dia tahu bahwa Allah SWT selalu bersamanya.[104] Firman Allah SWT.:

(Ingatlah), ketika para malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah SWT memberimu kabar gembira berupa sebuah kalimat dari-Nya. Namanya adalah al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan ia akan termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah. Dan ia berbicara kepada manusia ketika ia masih berada dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan ia termasuk di antara orang-orang yang saleh.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 45-46).

Jadi Allah SWT mempersiapkan Maryam untuk melaksanakan tugasnya, dan mempersiapkan Zakariyya, orang yang mengasuhnya untuk membela pelaksanaan tugas ini. Firman Allah SWT.:

Sesungguhnya Allah SWT pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah SWT benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (QS. Al-Hajj [22]: 40).

Maryam merasa heran mendengar kabar gembira tersebut. Maka dia berkata:

Wahai Rabb-ku, mana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun.”

Lalu datang jawabannya:

Allah SWT menciptakan yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah SWT berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah SWT hanya cukup berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka jadilah ia.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 47).

Kebenaran ada pada Allah, jika Allah SWT kemudian memperlihatkan kepada Maryam sesuatu yang dapat menambah keteguhan dan keimanannya, setelah dia diberitahu oleh malaikat. Tatkala Maryam sedang sendirian didalam gua di sebelah timur Baitul Maqdis untuk mengambil air, tiba-tiba ia melihat sosok Jibril didalamnya, yang menyerupai seorang laki-laki. Maryam menggigil karena takut kalau-kalau laki-laki itu hendak berbuat jahat terhadap dirinya disuatu tempat yang tidak dilihat orang lain. Maka ia berteriak memohon perlindungan Allah SWT dari gangguan laki-laki itu seraya mengingatkan laki-laki itu agar bersikap sebagai  orang yang bertakwa dan menghindari keduniaan, dengan begitu dia dapat berpikir untuk menghindari kedurhakaan kepada Allah SWT. Allah SWT telah menggambarkan kejadian yang menegangkan ini[105]:

Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa. Ia (jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci. Maryam berkata: Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina! Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan”. (QS. Maryam [19]: 16-21).

Hati Maryam menjadi tenang, karena laki-laki dihadapannya (Jibril)  adalah seorang utusan dari sisi Allah SWT. Tetapi ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin ia akan mempunyai seorang anak, padahal tak seorang laki-laki pun menjamahnya?

Dengan cara yang spontan, Maryam mengandung. Jibril meniup dengan sekali tiupan dengan mulutnya ke rahim Maryam, sehingga didalamnya sudah ada ruh yang hidup atas kehendak Allah SWT., dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Semua berlangsung lancar, sehingga sulit dipercaya siapapun. Namun Maryam merasa tidak mampu atau bahkan gentar berhadapan dengan orang-orang yang mencerca kehormatan orang-orang yang suci, meskipun apa yang dialaminya ini merupakan rahmat yang mengangkat kedudukannya. Karena ia memang benar-benar hamil berkat tiupan dari ruh Allah SWT.

Kini fenomena kehamilan benar-benar terlihat pada diri Maryam. Yang pertama kali memperhatikannya adalah anak pamannya, Yusuf an-Najjar, dia langsung menafsiri dengan berbagai cara yang layak, karena dia tahu ketakwaan dan kesucian Maryam. Maka keduanya saling berdialog berdasarkan penalaran. Apa yang dikatakan Maryam tak jauh berbeda dengan apa yang dikatakannya kepada Zakariyya, sehingga Yusuf membenarkan dan mempercayainya. Untuk itu Allah SWT mempersiapkannya dengan sutu persiapan. Dia menyaksikan sendiri bagaimana taqarrub Maryam kepada Rabb-nya, sehingga Allah SWT mendatangkan rizki baginya di mihrabnya.[106]

Meskipun begitu Maryam masih harus berhadapan dengan kaumnya, yang terasa sangat sulit, sensitif dan sukar dibayangkan.

Kini tibalah saat-saat menghadapi persalinan. Rasa sakit sudah mulai terasa, sedang Maryam sendirian, jauh dari pandangan orang lain. Dia bersandar ke pangkal pohon kurma, dan dibenaknya melintas berbagai pikiran. Dia berangan-angan, andaikan dia dimatikan sebelum datang cobaan yang sulit ini.

Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan”. (QS. Maryam [19]: 23)[107]

Di samping penderitaan batin, Maryam juga harus menanggung penderitaan fisik, karena ia akan melahirkan dan dalam keadaan sendirian, tanpa orang lain yang menolong dan menemaninya. Dalam puncak penderitaan dan kegelisahan ini, tiba-tiba terjadilah sesuatu yang tak disangka-sangka, sehingga dia agak lega dan tenang. Bayinya pun lahir dan langsung berbicara, agar dia tidak bersedih hati dan agar tenang.[108]

Agar bisa menentramkan tindakannya dan melegakannya, Maryam diperintahkan menggoyang-goyang pohon kurma. Allah SWT juga memberitahu bahwa dibawahnya mengalir sungai, yang airnya bisa langsung diminum setelah dia memakan buah kurma, yang sangat bermanfaat bagi wanita sehabis melahirkan. Al-Qur’an menggambarkan mukjizat yang besar ini dalam firman-Nya:

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: ‘Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu’.” (QS. Maryam [19]: 24-26).

Sang bayi dapat merasakan keresahan dihati ibunya, karena ibunya memang sedang memikirkan apa yang akan dikatakan kepada kaumnya tatkala ia menggendong dihadapan mereka. Sang bayi menunjukkan jalan keluar dan menyuruhnya agar berkata kepada orang yang ditemuinya, bahwa ia sedang bernadzar kepada Allah SWT untuk puasa dan tidak berbicara dengan siapapun.[109] Pada saat itu, sang bayilah yang bertugas memberi sanggahan, memperlihatkan mukjizat yang besar dan menampakkan kedudukan Maryam yang suci.

Hati Maryam menjadi tenang dan perasaannya tentram, karena sudah mendapatkan jalan keluar untuk menuntaskan kesulitan yang dihadapinya di hadapan manusia. Peristiwa ini telah digambarkan al-Qur’an:

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: ‘Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina’, maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: ‘Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?’ Berkata Isa: ‘Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali’.” (QS. Maryam [19]: 27-33).[110]

Maryam yakin bahwa kedudukannya di sisi Allah SWT amat besar, setelah Allah SWT menjadikan jalan keluar yang sukses dengan memperlihatkan mukjizat yang tiada bandingannya. Dia tidak lagi merasa terbebani oleh penderitaan batin dan fisik, apalagi setelah memakan buah kurma, sehingga fisiknya menjadi kuat untuk menemui kaumnya.

Setelah berbicara dengan mereka, yang dimaksudkan untuk membela ibunya dari perkataan dusta dan mengada-ada, maka ‘Isa tidak mau lagi berbicara. Kemudian Maryam hijrah ke Mesir sambil membawa serta bayinya, di sana beban untuk mendidik, mengasuh dan membimbingnya bukan berarti tambah ringan.[111]

Tatkala ‘Isa berumur tiga belas tahun, Allah SWT menyuruh keduanya kembali ke rumah Iliya[112], dan menetap di sana, hingga Allah SWT mengutusnya sebagai rasul dan menurunkan Injil serta mengajarkan Taurat. Allah SWT juga menguatkannya dengan berbagai mukjizat yang luar biasa, sehingga setiap orang yang menyaksikannya tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersaksi bahwa tiada Ilah selain Allah, dan sesungguhnya ‘Isa adalah rasul Allah.

Injil Barnabas mengatakan, bahwa sewaktu ‘Isa bersama ibunya ke gunung Zaitun ikut panen dengan orang kampung di gunung Zaitun itu, ‘Isa mendapat kepastian dan kejelasan atas mimpi-mimpi yang dialaminya. Ia menjadi nabi dan rasul (utusan) Allah, bagi Bani Israel. ‘Isa menjumpai ibunya, “Ibu, kini ‘Isa harus pergi, berpisah dengan ibu karena aku harus berdakwah menyerukan agama Allah”. “Anakku, telah lama kuketahui sebelum engkau lahir, engkau akan menjadi utusan menyampaikan risalah-Nya”, jawab Maryam memberikan keyakinan kepada anaknya, “Semoga Allah SWT melindungimu”. Sejak saat itu, mereka berpisah, ‘Isa berdakwah kepada kaumnya yang tersesat. Mereka telah berkumpul selama 30 tahun dalam suka dan duka, kini ‘Isa harus berjuang sendiri, tetapi tetap dalam lindungan-Nya.[113]

B. Deskripsi Tafsir Al-Mishbah tentang Kisah Maryam

1. Berikut ini Penafsiran Quraish Shihab Mengenai Kisah Maryam dalam Surat Maryam  [19]: [114]

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ مَرْيَمَ إِذِ انْتَبَذَتْ مِنْ أَهْلِهَا مَكَانًا شَرْقِيًّا(16) فَاتَّخَذَتْ مِنْ دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا(17)

Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. (QS. Maryam [19]: 16-17)

Permohonan Nabi Zakariyya as. itu muncul setelah melihat keadaan Maryam ibunda Nabi Isa as. sebagaimana di isyaratkan oleh QS. Ali Imran [3]: 38. di sisi lain kelahiran anak dari seorang wanita mandul dan suami tua bangka adalah sesuatu yang ajaib. Ini memiliki semacam kemiripan walau lebih rendah keajaibannya dibandingkan dengan kehamilan Maryam as. Dan kelahiran putranya tanpa disentuh pria. Dari kemiripan inilah al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan ayat sebelumnya.

Ayat-ayat di atas memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW. bahwa ceritakan dan ingatkan-lah kisah yang terdapat dalam al-Kitab yakni al-Qur’an yaitu tentang Maryam putri ‘Imran yakni ketika ia bersungguh-sungguh menjauhkan diri dari keluarganya bahkan dari seluruh manusia ke suatu tempat di sebelah timur dari tempat tinggalnya, atau sebelah timur arah Baitul Maqdis. Maka ia dengan sengaja dan penuh tekad mengadakan tabir dari mereka; lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, yakni malaikat Jibril untuk menyampaikan pesan Kami maka ia yakni malaikat itu menjelma di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna, gagah penuh wibawa dan sangat simpatik.[115]

Berbeda dengan banyak ayat yang hanya memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk mengingat atau menceritakan dengan menggunakan kata (َاذ) idz atau (َاذْكُر) udzkur[116], berbeda dengan itu, ayat di atas menambahkan kata al-Kitab yakni al-Qur’an, sehingga dengan kata itu ayat ini memerintahkan Nabi Muhammad SAW. untuk membacakan kisah dan keutamaan Maryam as. Yang terdapat dalam al-Qur’an, bukan sekedar menyebut kisah atau keutamaan beliau yang Nabi SAW. ketahui. Thariq Ibn ‘Asyur menduga bahwa surat ini adalah surat pertama yang menggunakan secara tegas kata udzkur dalam konteks uraian tentang kisah-kisah para nabi.

Kata (انْتَبَذَتْ) intabadzat terambil dari kata (نَبَذ) nabadza yang pada mulanya berarti melempar[117]. Penggunaan kata itu disini mengandung isyarat bahwa Maryam as. Benar-benar menyendiri dan menjauh dari keluarganya. Hal tersebut beliau lakukan boleh jadi karena ketika itu beliau sedang haid, atau boleh jadi juga menyendiri untuk lebih berkonsentrasi dalam beribadah tanpa gangguan dari siapapun.

Kata (مَكَانًا شَرْقِيًّا) makanan syarqiyyan mengesankan bahwa tempat itu sengaja dipilih, sebagai isyarat terbitnya cahaya Ilahi, karena timur adalah arah terbitnya cahaya (matahari), demikian pendapat al-Biqa’i[118]. Sahabat Nabi SAW., Ibn ‘Abbas, berpendapat bahwa itu adalah isyarat tentang kiblatnya orang-orang Nasrani, karena mereka menjadikan arah timur sebagai arah kiblat ketika shalat.

Kata (رُوحَنَا) ruhana / ruh Kami bermakna malaikat yakni malaikat Jibril as. Ayat ini menunjukkan bahwa malaikat dapat menampilkan diri dalam bentuk manusia.

Dari al-Qur’an ditemukan sekian ayat yang menginformasikan penjelmaan malaikat dalam bentuk manusia. Misalnya kehadiran malaikat kepada Nabi Ibrahim as. (QS. Adz-Dzariyat [51]: 24-27), demikian juga kepada Nabi Luth as. (QS. Hud [11]: 77-81).

Demikian juaga banyak riwayat dalam as-Sunnah. Penulis tidak menemukan dari al-Qur’an atau as-Sunnah penjelasan tentang bentuk selain manusia yang diperagakan oleh malaikat, berbeda dengan setan dan jin yang seringkali tampil dalam bentuk beraneka ragam.

قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ كُنْتَ تَقِيًّا(18) قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا(19)

Ia (Maryam) berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa“. Ia (jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci“. (QS. Maryam [19]: 18-19)

Melihat kehadiran manusia yang tidak dikenal dan dalam keadaan Maryam menyendiri dan menghindar dari keluarganya, timbul rasa takyut di hati gadis suci itu, maka ia yakni Maryam berkata sambil mengukuhkan ucapannya dengan kata “sesungguhnya” yakni: “Sesungguhnya aku berlindung kepada ar-Rahman Tuhan yang Maha Pemurah dari dirimu; jika engkau seorang bertaqwa maka menjauhlah dariku dan jangan sekali-kali menyentuhku. Ia yakni malaikat Jibril berkata: “Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang utusan Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-mu yang engkau mohonkan perlindungan-Nya itu. Aku diutusnya untuk menganugerahkan untukmu atas izin dan kuasa Allah SWT seorang anak laki-laki yang suci lagi tumbuh berkembang jiwa raganya secara sempurna.”

Kata ar-Rahman menggambarkan curahan rahmat Allah SWT swt. secara aktual, sedang sifat yang dimiliki-Nya di lukiskan dengan kata “Rahim“. Demikian pendapat sementara ulama[119]. Ada juga ulama yang memahami kata ar-Rahman sebagai sifat Allah SWT . yang mencurahkan rahmat yang bersifat sementara di dunia ini, sedangkan ar-Rahim adalah rahmat-Nya yang bersifat kekal. Rahmat-Nya di dunia yang sementara ini meliputi seluruh makhluk tanpa kecuali dan tanpa membedakan antara mukmin dengan kafir, makhluk hidup atau tak bernyawa. Sedangkan rahmat yang kekal adalah rahmat-Nya di akhirat, tempat kehidupan yang kekal, yang hanya akan di nikmati oleh makhluk-makhluk yang mengabdi kepada-Nya[120].

Kata Rahman yang di ucapkan Sayyidah Maryam ini, dapat juga di jadikan alasan untuk menguatkan pendapat yang menyatakan kata tersebut telah dikenal sebelum turunnya al-Qur’an kendati kaum Musyrikin Mekah tidak mengenalnya sebagai nama Tuhan yang mereka sembah[121]. Nabi Sulaiman as. Dalam suratnya kepada Ratu Saba’ juga menggunakan kata tersebut bahkan menggunakan Basmalah (baca QS. An-Naml [27]: 30).

Maryam ketika menyebut kata ar-Rahman ini, agaknya mengingatkan pada sosok yang dilihatnya itu tentang betapa besar rahmat dan kasih sayang Allah SWT. yang melimpah kepada sosok tersebut sambil mengharap kiranya sebagian rahmat yang tercurah kepadanya itu, ia curahkan pula kepada Maryam as.

Memang ketika seseorang membaca atau mendengar kata ar-Rahman dan atau ar-Rahim maka diharapkan jiwanya akan dipenuhi oleh rahmat dan kasih sayang akan memancar keluar dalam bentuk perbuatan-perbuatan[122]. Bukankah perbuatan adalah cerminan dari gejolak jiwa? Seseorang yang menghayati bahwa Allah SWT adalah Rahman (Pemberi rahmat kepada makhluk-makhluk-Nya dalam kehidupan dunia ini), maka penghayat makna-makna itu akan berusaha memantapkan dalam dirinya sifat rahmat dan kasih sayang, sehingga menjadi ciri kepribadiannya, selanjutnya ia tak akan ragu atau segan mencurahkan rahmat kasih sayang itu kepada sesama manusia tanpa membedakan suku, ras atau agama maupun tingkat keimanan, serta memberi pula rahmat dan kasih sayang kepada makhkuk-makhluk lain baik yang hidup maupun yang mati. Itulah buah yang diharapkan dari penghayat makna sifat Allah SWT. itu.

Selanjutnya rujuklah ke kelompok terakhir surat ini, yang mengandung dalam redaksinya kata ar-Rahman (ayat 88-91) untuk memperoleh informasi lebih banyak tentang makna kata tersebut[123].

Ucapan Maryam di atas menggabungkan antara permohonan perlindungan kepada Allah SWT. dengan peringatan kepada malaikat yang di duganya manusia itu. Ucapan beliau mengungatkan sosok yang dilihatnya itu dengan kata bersyarat “jika engkau seorang bertaqwa” merupakan peringatan yang dapat menggugah hati siapa yang memiliki walau sedikit kesadaran. Boleh jadi juga syarat tersebut muncul ketika beliau tidak melihat tanda-tanda yang mencurigakan dari sosok yang diduganya manusia itu, atau bahkan melihat padanya tanda-tanda kesalehan. Disisi lain jawaban malaikat itu memberi ketenangan kepada Maryam as. Bukan saja dalam ucapannya bahwa ia utusan Allah SWT., tetapi juga bahwa beliau akan diberi anak, anak itu suci lagi sempurna. Kesucian dan kesempurnaannya itu sekaligus mengisyaratkan bahwa cara perolehannya pun pasti dengan cara yang suci pula. Bukankah anak yang lahir dari hubungan yang tidak dibenarkan Allah SWT dinamai anak haram?[124]

قَالَتْ أَنَّى يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا(20) قَالَ كَذَلِكِ قَالَ رَبُّكِ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَلِنَجْعَلَهُ ءَايَةً لِلنَّاسِ وَرَحْمَةً مِنَّا وَكَانَ أَمْرًا مَقْضِيًّا(21)

Maryam berkata:Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!Jibril berkata: Demikianlah“. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan“. (QS. Maryam [19]: 20-21)

Mendengar ucapan malaikat tentang anugerah anak itu, Maryam terheran-heran sehingga ia yakni Maryam berkata: “Bagaimana dan dengan cara apa akan ada bagiku seorang anak laki-laki yang kulahirkan dari rahimku, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku yakni melakukan seks dengan cara halal dan aku bukan pula sejak dahulu hingga kini seorang pezina yang rela melakukan hubungan seks tanpa nikah yang sah.[125]

Malaikat Jibril menampik keheranan Maryam as. Ia yakni Jibril berkata: “Demikianlah! Yakni benar yang engkau katakan. Engkau memang tidak pernah “disentuh” oleh siapapun dan benar juga bahwa seorang anak lahir akibat hubungan seks pria dan wanita, kendati demikian, Tuhanmu berfirman: “Hal itu yakni kelahiran anak tanpa hubungan seks bagi-Ku secara khusus adalah mudah; Kami melakukan itu sebagai anugerah untukmu dan Kami menciptakan seorang anak tanpa melalui hubungan seks agar Kami menjadikannya suatu tanda yang sangat nyata tentang kesempurnaan kekuasaan Kami sehingga menjadi bukti bagi manusia dan untuk menjadi rahmat dari Kami buat seluruh manusia yang menjadikannya sebagai petunjuk; dan hal itu yakni penciptaan seorang anak – dalam hal ini ‘Isa as. melalui Maryam tanpa ayah adalah sesuatu perkara yang sudah diputuskan yakni pasti akan terjadi. Karena itu hai Maryam terimalah ketetapan Allah SWT itu dengan penuh suka cita dan hati tentram”.

Ucapan Maryam as. (وَلَمْ أَكُ بَغِيًّا) wa lam aku bagiyya / aku bukanlah seorang pezina, setelah menyatakan (وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ) wa lam yamsasni basyarun / tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku, bukan sekedar pengulangan atau penekanan, tetapi masing-masing mengandung makna yang berbeda, yang pada akhirnya saling kuat menguatkan[126]. Ucapannya menafikan sentuhan manusia, mengandung makna bahwa ia belum pernah berhubungan seks. Ini ditegaskannya karena ketika itu beliau telah dipinang oleh Yusuf an-Najjar, dengan demikian boleh jadi timbul dugaan bahwa telah terjadi sesuatu antara keduanya bila ia hamil, disisi lain bila kehamilan terjadi pastilah tunangannya akan sangat kecewa dan marah. Adapun pernyataannya bahwa beliau bukanlah seorang pezina atau wanita jalang, maka ini untuk menegaskan bahwa sejak dahulu beliau bukanlah seorang wanita asusila, dan itu akan dipertahankannya hingga masa datang.”[127]

فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا(22) فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَالَيْتَنِي مِتُّ

قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا(23)

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon kurma, dia berkata: “Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tidak berarti, lagi dilupakan”. (QS. Maryam [19]: 22-23)

Setelah menyampaikan ketetapan Allah SWT diatas, malaikat Jibril as. meniupkan ruh ke tubuh Maryam as., maka ia pun mengandungnya yakni mengandung anak lelaki itu yakni ‘Isa as., lalu ketika sadar akan kandungannya ia menyisihkan diri denganya yakni dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh dari tempatnya sebelum ini. Maka rasa sakit akibat kontraksi akan melahirkan anak memaksa ia menuju ke pangkal pohon kurma untuk bersandar. Kini terbayang olehnya sikap dan cemooh yang akan didengarnya karena ia melahirkan anak tanpa memilki suami, dan karena itu ia berkata: “Aduhai alangkah baiknya aku mati, yakni tidak pernah wujud sama sekali di pentas hidup sebelum ini yakni sebelum kehamilan ini, agar aku tidak memikul aib dan malu dari suatu perbuatan yang sama sekali tidak kukerjakan dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti lagi dilupakan selama-lamanya.”[128]

Mayoritas ulama menegaskan bahwa kelahiran ‘Isa as. melalui proses biasa, yakni kehamilan selama sembilan bulan, bukannya seperti pendapat sementara orang bahwa itu terjadi sekejap, antara lain dengan menunjukkan firman-Nya yang menyatakan bahwa Adam as. dan ‘Isa as., dilahirkan dengan kalimat Kun fayakun (baca QS. Ali ‘Imran [3]: 59). Sebenarnya kalimat Kun fayakun sama sekali bukan berarti terjadinya sesuatu dengan kalimat itu atau dalam masa pengucapan kalimat itu. Bukankah terbaca di atas, bahwa ada proses yang terjadi pada saat kelahirannya, proses yang memakan waktu lebih lama dari masa pengucapan kalimat Kun fayakun? Itu masa kelahirannya, sedang masa kehamilannya tidak disinggung disini. Ayat ini hanya mengisyaratkan bahwa setelah kehamilan itu – agaknya setelah tanda-tanda kehamilannya telah sangat sulit disembunyikan – maka ia menjauh dari keluarganya. Banyak ulama berpendapat bahwa lokasi yang dipilihnya adalah Bait Lahem, suatu daerah di sebelah selatan al-Qudus (Yerussalem) di Palestina, dan disanalah Nabi ‘Isa as. dilahirkan.[129]

Kata (الْمَخَاضُ) al-Makhadl terambil dari kata (الْمَخَضُ) al-Makhdl yaitu gerak yang sangat keras. Desakan janin untuk keluar melalui rahim mengakibatkan pergerakan anak dalam perut dan mengakibatkan kontraksi sehingga menimbulkan rasa sakit. Dari sini kata tersebut dipahami dalam arti sakit yang mendahului kelahiran anak.[130]

Kata (إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ) jidz’i an-Nakhlah adalah batang pohon kurma, al-Biqa’i memahami keberadaan pohon kurma di tempat dab waktu itu sebagai satu keajaiban. Ini karena ulama tersebut menduga peristiwa kelahiran ‘Isa as. terjadi di musim dingin, sedangkan kurma hanya berbuah di musim panas, dan sangat sulit bertahan di musim dingin. Selanjutnya ulama itu menulis bahwa barangkali beliau sengaja di arahkan ke pohon kurma karena banyaknya keserasian antara pohon kurma dengan peristiwa kelahiran itu. Pohon kurma tidak dapat berbuah kecuali setelah melalui proses perkawinan, sedang di sini buahnya berjatuhan tanpa perkawinan dan hanya dengan gerakan yang hanya Maryam, persis sama dengan apa yang dialami oleh kelahiran anak Maryam yang tanpa perkawinan itu. Yang lebih aneh lagi bahwa itu terjadi bukan pada masa berbuahnya kurma.[131]

Kata (نَسْيًا) nasyan terambil dari kata (نَسْيًا) nisyan yakni sesuatu yang remeh sehingga ditinggalkan dan di lupakan karena tidak memiliki arti dan kepentingan.

فَنَادَاهَا مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا(24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ

تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا(25)

Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu, (QS. Maryam [19]: 24-25)[132]

Keadaan Maryam as. yang demikian sedih dan ucapannya yang menggambarkan kecemasan itu diketahui dan didengar juga oleh malaikat Jibril as. tidak lama kemudian beliau melahirkan seorang anak lelaki maka ia yakni malaikat Jibril, atau Nabi ‘Isa as. begitu ia lahir menyerunya dari tempat yang rendah di bawahnya dan berkata: “Janganlah hai Maryam engkau bersedih hati karena ketersendirian, atau ketiadaan makanan dan minuman dan kekhawatiran gunjingan orang, sesungguhnya Tuhan Pemelihara dan Pembimbing-mu telah menjadikan anak sungai telaga dibawahmu. Dan goyanglah ke kiri dan ke kanan pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya ia yakni pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.”[133]

Kata (مِنْ تَحْتِهَا) min tahtiha / dari tempat yang rendah (dibawahnya) ada juga yang membaca man tahtiha dalam arti siapa yang rendah (dibawahnya). Dalam hal ini mayoritas memahami bahwa yang menyeru dari bawah tempat Maryam berada itu adalah malaikat Jibril as. Pendapat lain menyatakan bahwa yang menyerunya adalah ‘Isa as. yang baru saja lahir itu. Ia yang berpesan kepada ibunya untuk menggerakkan pohon kurma, dan lain-lain. Guru besar para mufassir yakni Ibn Jarir ath-Thabari memahaminya demikian, dengan alasan pengganti nama yang terdekat disebut dalam redaksi ayat ini menunjuk kepada anak yang Maryam as. kandung (ayat 22).[134]

Sedang yang menunjuk kepada malaikat Jibril adalah ayat 21 dan sebelumnya. Pengganti nama seharusnya menunjuk kepada yang terdekat kepadanya bukan kepada sesuatu yang jauh.

Kata dari tempat yang rendah (dibawahnya) mengisyaratkan bahwa apa yang didengar oleh Maryam itu – dari malaikat Jibril as. atau anaknya – beliau dengar sebelum mengangkat atau menggendong anaknya yang baru lahir itu. Yakni itu didengarnya begitu ia lahir dan masih terletak dibawah setelah keluar dari rahimnya.[135]

Kata (سَرِيًّا) sariyyan dipahami oleh mayoritas ulama dalam arti anak sungai atau telaga. Ada juga yang memahaminya terambil dari kata (سرو) saruwa yang berarti tinggi dan terhormat.[136]

Ayat di atas menerangkan bahwa buah kurma merupakan makanan yang sangat baik bagi wanita yang sedang dalam masa nifas/selesai melahirkan, karena ia mudah dicerna, lezat lagi mengandung kalori yang tinggi.[137]

Pada ayat di atas terlihat bagaimana Maryam as. yang dalam keadaan lemah itu masih diperintahkan untuk melakukan kegiatan dalam bentuk menggerakkan pohon guna memperoleh rezeki, – walaupun boleh jadi pohon itu tidak bergerak karena lemahnya fisik Maryam setelah melahirkan – dan  walaupun suasana ketika itu adalah suasana supra rasional. Ini sebagai isyarat bagi semua pihak untuk tidak berpangku tangan menanti datangnya rezeki, tetapi harus berusaha dan terus berusaha sepanjang kemampuan yang dimiliki.[138]

Perlu digaris bawahi bahwa sangat populer dikalangan umat Kristen bahwa ‘Isa as. lahir pada tanggal 25 Desember, dan ini berarti bahwa ketika itu adalah musim dingin. Namun demikian dalam Perjanjian Baru dinyatakan bahwa ketika Maryam as. akan melahirkan beliau tidak menemukan penginapan. “Di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka diwaktu malam”, demikian dalam Perjanjian Baru, Lukas II: 8.[139] adanya penggembala dan diwaktu malam, mengesankan bahwa ketika itu bukanlah di musim dingin, karena para penggembala tidak akan menggembalakan pada malam hari musim dingin. Ini lebih sesuai jika terjadinya pada musim panas[140]. Jika demikian halnya inipun sejalan dengan ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwa Maryam as. diperintahkan untuk menggerakkan pohon kurma itu agar buahnya berjatuhan, karena pohon kurma tidak berbuah kecuali di musim panas.

Dengan demikian dari satu sisi kita dapat berkata berjatuhannya buah kurma ketika itu bukanlah sesuatu yang aneh atau ajaib seperti tulis al-Biqa’i[141] dan Ibn ‘Asyur, di sisi lain agaknya dapat dibenarkan pendapat sementara pakar – baik muslim maupun non muslim yang menegaskan bahwa kelahiran ‘Isa as. bukanlah pada bulan Desember.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا(26)

Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini“. (QS. Maryam [19]: 26)[142]

Malaikat Jibril atau bayi Maryam as. melanjutkan ucapannya guna memberi ketenangan pada sang ibu dengan menyatakan maka makan-lah dari buah kurma yang berjatuhan itu, dan minum-lah dari air telaga itu serta bersenang hatilah dengan kelahiran anakmu itu. Jika engkau melihat seorang manusia yang engkau yakini bahwa dia manusia lalu ia bertanya tentang keadaanmu maka katakanlah yakni berilah isyarat yang maknanya: “Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa yakni menahan diri untuk tidak berbicara demi untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka karena adanya nadzar itu sehingga aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada hari ini. Ini karena jika engkau berbicara pastilah akan panjang uraian dan akan timbul aneka gugatan, sedang Kami bermaksud membungkam siapapun yang mencurigaimu.

Kata (َقَرِّي) qarri terambil dari kata (قرر) qarira dan qarrat yang berarti sejuk/dingin. Kata ini bila dirangkaikan dengan kata (عَيْنً) ‘ain/mata maka ia merupakan ungkapan tentang rasa bahagia dan senang serta kenyamanan hidup. Sementara ulama berkata, jika air mata terasa hangat, maka itu pertanda kesedihan, tetapi jika sejuk maka itu pertanda kegembiraan.[143]

Bernadzar untuk tidak berbicara merupakan salah satu ibadah yang dikenal pada masa lalu, termasuk oleh masyarakat Jahiliyah. Sisa dari ibadah tersebut masih nampak hingga kini dalam bentuk mengheningkan cipta. Rasulullah SAW. melarang melakukan puasa diam. Karena itu pula agaknya sehingga kata puasa yang dipilih di sini berbeda dengan kata puasa yang dipilih dalam kaitan ibadah Ramadhan. Di sini kata tersebut adalah  (صَوْم) shaum sedang dalam konteks ibadah di bulan Ramadhan adalah (صياْمً ) shiyam.[144] Di sisi lain bagi kaum muslimin yang mengheningkan cipta, hendaknya tidak melakukannya atas dorongan ibadah dan hendaknya merangkaikan hening cipta itu dengan doa kiranya arwah para syuhada ditempatkan Allah SWT pada tempat yang sebaik-baiknya.

Allah SWT. mengilhami Maryam as. agar jangan berbicara karena Allah SWT bermaksud membungkam semua yang meragukan kesucian beliau melalui ucapan bayi yang dilahirkannya itu. Ini juga mengesankan bahwa tidaklah terpuji berdiskusi dengan orang-orang yang hanya bermaksud mencari-cari kesalahan atau yang tidak jernih pemikiran dan hatinya. Dalam konteks ini Nabi Muhammad SAW. bersabda: “Siapa yang meninggalkan pertengkaran padahal dia dalam posisi yang benar, maka Allah SWT akan membangun untuknya istana ditengah surga, sedangkan siapa yang meninggalkannya karena memang dia salah, maka membangun untuknya istana di pinggiran surga.”

فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَامَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا(27) يَاأُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ

امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا(28)

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina“, (QS. Maryam [19]: 27-28)[145]

Setelah Maryam as. mendengar kalimat-kalimat seperti yang terbaca pada ayat-ayat sebelum ini, maka hati beliau menjadi tenang dan tegar dan kesedihannyapun sirna, maka ia membawanya yakni anak bayinya itu kepada kaumnya dengan menggendongnya secara terang-terangan. Mereka yakni kaumnya itu berkata setelah melihat beliau menggendong seorang bayi: “Hai Maryam, kami bersumpah sesungguhnya engkau dengan melahirkan bayi ini telah melakukan sesuatu yang mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali pada saat apapun bukanlah seorang yang buruk perangainya dan ibumu dalam segala waktu dan situasi sekali-kali bukanlah seorang pezina sehingga bagaimana mungkin engkau menempuh jalan yang tidak dikenal oleh kedua ibu bapakmu?”[146]

Ayat di atas menunjukkan bahwa Maryam as. datang dengan sengaja sambil menggendong anaknya untuk menghadap kaumnya. Dan itu dilakukannya tanpa rasa malu, bahkan dengan penuh percaya diri. Sementara ulama berkata bahwa itu terjadi setelah berlalu empat puluh hari setelah kelahiran ‘Isa as. Di sisi lain, dalam Perjanjian Baru disebutkan bahwa saat persalinan Maryam, ia di dampingi oleh tunangannya Yusuf an-Najjar, yang juga mendapat ilham bahwa anak yang yang dikandung Maryam itu bukanlah hasil perzinahan tetapi anugerah Allah SWT Yang Maha Kuasa.

Kata (فَرِيًّا) fariyyan terambil dari kata (فَر) fira yang pada mulanya berarti sesuatu yang terpotong dan pasti. Yang dimaksud di sini adalah suatu perbuatan yang telah pasti lagi tidak diragukan keburukannya, yaitu perzinahan. Ada juga yang memahaminya dalam arti sesuatu yang sangat besar, yakni apa yang mereka duga dilakukan Maryam itu adalah sesuatu yang sangat besar keburukan dan dosanya.[147]

Istilah (يَاأُخْتَ هَارُونَ) ukht Harun menjadi bahan perbincangan para ulama.[148] Sementara cendekiawan non muslim menjadikan istilah tersebut sebagai bukti kesalahan al-Qur’an, karena menurut mereka antara Harun yang merupakan saudara Musa as. dan Maryam terdapat jarak ratusan tahun. Sementara ulama menyatakan bahwa sebenarnya keberatan ini bukanlah hal baru, tetapi sudah dikenal sejak masa Nabi Muhammad SAW. Pakar-pakar hadits seperti Ahmad, Muslim, at-Tirmudzi, an-Nasa’i, ath-Thabarani, Ibn Hibban, dan lain-lain meriwayatkan melalui al-Mughirah Ibn Syu’bah, bahwa ia diutus oleh Nabi SAW. menuju penduduk Najran yang menganut agama Kristen. Lalu mereka berkata: “Kalian membaca (dalam al-Qur’an) ‘Ya ukhta Harun / Hai saudara perempuan Harun’, padahal masa Musa (dan Harun) jauh sebelum ‘Isa sekian lamanya”. Al-Mughirah berkata: Maka aku kembali kepada Nabi SAW. dan menyampaikan hal itu kepada beliau. Lalu Rasul SAW. bersabda: “Tidakkah engkau menyampaikan kepada mereka bahwa mereka itu dinamai dengan nama para nabi dan orang-orang saleh yang hidup sebelum mereka?” yakni orang-orang saleh masyarakat yang hidup pada masa Maryam as., dinamai dengan nama-nama para nabi seperti menamai Maryam dengan saudara dari nabi yang saleh yaitu Nabi Harun as. Bukan dalam arti bahwa Maryam adalah saudara Nabi Harun as.

Abdurrahman Badawi, cendekiawan Mesir dan Guru Besar Universitas Sorbone,[149] Paris, Perancis menulis secara panjang lebar tentang hal ini dalam bukunya ad-Difa’an al-Qur’an Dhid Muntaqadihi bahwa di antara orientalis yang beranggapan al-Qur’an menegaskan bahwa Maryam, ibu’Isa as., adalah saudara perempuan Harun dan Musa, adalah Jean Damascense dalam bukunya De Haeresibus (Aliran-aliran).

Kemudian dikutip oleh sekian banyak orientalis sesudahnya semacam Nicholas de Cuse dalam bukunya: De Confusione Secrate Mohometanae (Kekacauan Kelompok Muhammad), juga Horn bek dalam bukunya Summa Controv, dan sejumlah orientalis lainnya.

Selanjutnya, sebelum mengemukakan pendapat ulama-ulama tafsir dan pedapat yang didukungnya, ‘Abdurrahman Badawi mengemukakan uraian Orientalis Reland yang menyatakan bahwa, bisa saja diperkirakan bahwa Muhammad tidak mengetahui sejarah, sehingga perbedaan zaman antara Musa dengan ‘Isa menjadi rancu baginya. Mungkin juga, ia tidak hafal betul tentag beberapa kisah-kisah yang berkaitan dengan berbagai periode sejarah. Apalagi ia menyebutkan dirinya sebagai Nabi ummi (tidak bisa menulis dan membaca). Begitu tulisnya. Namun demikian orientalis melanjutkan bahwa, “Apabila anda bertanya kepada saya, siapa Harun yang dimaksud itu kalau bukan saudara Musa? Jawaban saya: “Ini hanya sekedar penafsiran orang-orang Kristen, bukan penafsiran Muhammad bukan pula penafsiran saya sendiri. Untuk itu, bisa diperkirakan bahwa Maryam mempunyai saudara bernama Harun yang hanya disebut oleh al-Qur’an”. Perkiraan lain bahwa ada orang Islam yang mempercayai bahwa berkat mukjizat dari Allah, maka Maryam saudara perempuan Musa, dapat hidup mulai dari zaman Musa sampai zaman ‘Isa untuk menjadi ibunya. Para ahli tafsir – tulisnya – menambah bahwa ‘Imran, ayah Maryam adalah anak Matsan, artinya bukan ‘Imran adalah ayah Maryam saudara perempuan Musa. Menurut pendapat mereka, yang terakhir ini dikenal oleh kalangan Kristen dengan nama “Joachim”, suami Saint Anne dan ayah Maryam ibu Yesus Kristus Kesimpulannya, terdapat dua ‘Imran, yaitu ‘Imran ayah Maryam, saudara perempuan Harun dan Musa, dan ‘Imran ayah dari ibu Yesus Kristus.[150]

Reland tidak mendukung dari salah satu perkiraan di atas, karena menurut anggapannya, hal itu mengandung kemungkinan salah dan kemungkinan benar. Tetapi orientalis itu menegaskan bahwa tidak seorangpun dapat membuktikan bahwa al-Qur’an mengatakan “Maryam ibu Yesus adalah saudara perempuan Musa”. Karena itu para pengecam al-Qur’an dan Islam tidak dapat mengandalkan ungkapan al-Qur’an “Hai saudara perempuan Harun” sebagai alasan untuk mengecam. Dengan demikian – tulisnya – “semua kecaman yang dilontarkan kepada al-Qur’an dengan menggunakan ayat tersebut adalah tidak benar sama sekali”.[151]

Selanjutnya Badawi menyimpulkan pendapat-pendapat yang dikemukakan pakar-pakar tafsir, dengan merujuk kepada tafsir ath-Thabari. Ada yang berpendapat bahwa ia disebut sebagai saudara perempuan Harun untuk memberikan atribut kesalehan, karena nama Harun biasa disebutkan kepada orang yang saleh dari kalangan masyarakat waktu itu, sehingga siapa saja yang mempunyai sifat seperti itu maka ia disebut Harun. Dengan demikian nama Harun di sini, menurut pendapat ini, bukan Harun saudara nabi Musa as. Ada juga yang berpendapat bahwa Harun disini juga dijadikan atribut kebejatan. Maryam diperbandingkan dengan ia, mengingat masyarakat waktu itu mencurigai kesuciannya.

Pendapat ketiga menyatakan bahwa memang Maryam mempunyai saudara laki-laki yang bernama Harun dan dikenal sebagai orang saleh di kalangan Bani Isra’il.

Ada juga ulama yang mengatakan bahwa Harun yang dimaksud adalah saudara Musa, tetapi ungkapan “Ya ukhta Harun” (Hai saudara perempuan Harun) adalah ungkapan majazi, maksud sebenarnya adalah “keturunan Harun”, seperti dikatakan kepada seseorang dari kabilah Tamim “Hai, saudara Tamim” atau orang dari Mesir “Hai, saudara Mesir”.

Ath-Thabari mengemukakan semua pendapat ini, namun pada akhirnya ia cenderung kepada pendapat yag mengutip hadits Rasul yang penulis kutip sebelum ini dan yang intinya bahwa Harun yang dimaksud bukan saudara Musa, tetapi orang saleh dari kaum Maryam. Menurut pakar hadits at-Tirmidzi, hadits ini adalah hasan, shahih, dan gharib.

Bagi yang mengakui keshahihan hadits tersebut, maka otomatis ia berpendapat bahwa tuduhan terhadap adanya pencampur adukan oleh al-Qur’an memang terjadi sejak masa Nabi SAW. dan para orientalis hanya mengulang tuduhan lama yang telah selesai terjawab oleh Nabi Muhammad SAW. sendiri.

‘Abdurrahman Badawi meragukan keshahihan hadits itu. Dia menulis: “Sekiranya tuduhan itu pernah dilemparkan kepada Nabi Muhammad SAW. dimasa hidup beliau, maka mengapa para ulama tafsir tidak mencukupkan saja jawaban mereka dengan menyebutkan hadits itu? Di sisi lain – tulis Abdurrahman –, semestinya orang-orang Kristen di Madinah, juga orang Yahudi akan membantah informasi al-Qur’an itu pada saat mereka mendengar ayat 29 surat Maryam ini. Tapi tidak satupun sumber rujukan yang berbicara tentang masalah ini. Selain itu, kenapa hanya orang Kristen Najran yang membantahnya? Kenapa al-Qur’an tidak menyebutkan peristiwa itu? Padahal al-Qur’an biasanya merekam setiap dialog Rasul dengan orang-orang Yahudi dan Kristen.

Semua pertanyaan ini, menurut hemat ‘Abdurrahman Badawi membuktikan bahwa hadits yang diriwayatkan itu tidak shahih. Ia akhirnya berkesimpulan bahwa masalah ini tidak muncul pada masa hidupnya Nabi Muhammad SAW. Alasannya sangat sederhana dan logis yaitu bahwa orang-orang Kristen dan Yahudi ketika itu tidak melihat adanya masalah dalam ungkapan “Ya ukhta Harun”, karena mereka sangat memahami maksudnya yaitu “Hai saudara perempuan yang berasal dari silsilah keturunan Harun”. Mereka sudah terbiasa dengan ungkapan semacam itu seperti masyarakat Arab umumnya, dengan ungkapan “Hai, saudara…”, yang dipahami sebagai “Hai, saudara dari keturunan”. Dalam koran dan majalah saat ini juga populer penggunaan ungkapan “Ya akhal ‘Arab (Hai saudara Arab)” dengan arti salah seorang dari bangsa Arab. Ribuan contoh seperti ini terdapat dalam buku-buku berbahasa Arab yang dikarang sepanjang masa. Justru itu, tulis ‘Abdurrahman Badawi, penafsiran ungkapan “Ya ukhta Harun” sangat mudah, karena maksudnya sederhana sekali, yaitu “saudara yang berasal dari keturunan Harun.” Penafsiran etimologis seperti ini sudah dianggap biasa di kalangan orang yang memahami bahasa Arab secara baik dan mendalaminya secara leksikografis.[152]

Meskipun demikian, mungkin ada yang membantah, mengapa Maryam dipanggil al-Qur’an dengan “Ya ukhta Harun”? Jawabnya, Maryam dikecam oleh kaumnya yang menganggapnya berbuat dosa besar dan hamil tanpa kawin. Kecaman semakin keras mengingat ia berasal dari keturunan keluarga Harun. Penggunaan ungkapan Harun di sini untuk mengingatkan Maryam atas kekejian perbuatannya.

Ungkapan dalam bentuk penuturan yang sangat indah ini sangat sesuai dengan kefasihan al-Qur’an yangmerupakan salah satu mukjizatnya yang agung.

فَأَشَارَتْ إِلَيْهِ قَالُوا كَيْفَ نُكَلِّمُ مَنْ كَانَ فِي الْمَهْدِ صَبِيًّا(29)قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ ءَاتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا(30)وَجَعَلَنِي مُبَارَكًا أَيْنَ مَا كُنْت

وَأَوْصَانِي بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ مَا دُمْتُ حَيًّا(31)وَبَرًّا بِوَالِدَتِي وَلَمْ يَجْعَلْنِي جَبَّارًا شَقِيًّا(32)

maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata: “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?” Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS. Maryam [19]: 29-32)

Maryam yang mendengar tuduhan kaumnya, tetap tegar dan tenang lalu sesuai dengan petunjuk yang diterimanya, maka ia menunjuk kepada anak-nya bagaikan berkata “Tanyakanlah anak ini, dia akan menjelaskan kepada kalian duduk soalnya!” Mereka yakni kaumnya itu berkata “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih berada dalam ayunan?Ia berkata yakni ‘Isa as. yang ketika itu masih bayi: “Sesungguhnya aku adalah hamba Allah, Dia yakni Allah SWT swt. telah yakni pasti akan memberiku al-Kitab yakni Injil, sesuai dengan ketetapan-Nya sejak azal, juga mengajarkan kepadaku kitab-kitab sebelumnya, seperti Taurat dan Dia telah yakni pasti akan menjadikan aku kelak bila tiba masanya sebagai seorang Nabi yakni utusan-Nya untuk menyampaikan tuntunan-tuntunan agama kepada Bani Isra’il. Dan Dia Yang Maha Esa itu juga telah menjadikan aku seorang yang diberkati dengan aneka keberkatan dimanapun aku berada, dan Dia mewasiatiku yakni memerintahkan dengan sangat kepadaku agar melaksanakan secara bersinambung shalat dan menunaikan secara sempurna zakat selama aku hidup, dan Dia juga menganugerahkan kepadaku kemampuan lahir dan batin untuk bakti patuh dan taat serta selalu berbuat baik kepada ibuku, dan Dia tidakmenjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.

Kata (الْمَهْدِ) al-mahd terambil dari kata (مَهْدِ) mahada yang pada mulanya berarti menghampar kemudian maknanya berkembang sehingga dipahami sebagai hamparan yang disiapkan untuk tempat tidur atau ayunan bayi. Ada yang memahaminya untuk ayat ini dalam arti pangkuan Maryam, karena ketika itu belum disiapkan buaian atau hamparan tempat tidur untuk anaknya dan bukankah ketika itu ibunya menuju kaumnya sambil menggendongnya? Atau boleh jadi juga setelah Maryam as. menuju kaumnya bersama bayinya, beliau kembali ke rumah dan ketika itulah sekian banyak orang yang datang mengecam beliau dan melihat anaknya itu yang sedang dalam buaian.[153]

Sementara ulama mempertanyakan mengapa ayat di atas menggunakan kata (كَانَ) kana yang mengesankan makna masa lampau (dahulu/pernah). Yakni dengan kata tersebut, ucapan pengecam itu bagaikan berkata: “Bagaimana kami bercakap dengan siapa yang dahulu berada dalam buaian?” Tidak dapat dipungkiri bahwa semua orang – siapapun dia – dahulu pernah berada dalam buaian atau pangkuan ibunya, sehingga hal tersebut tidak sesuai dengan maksud ucapan mereka yang mengandung makna keheranan dan ketidakmungkinan. Sekian banyak jawaban yang dikemukakan untuk menjawab pertanyaan ini, diantaranya adalah bahwa kata (كَانَ) kana ditampilkan sebagai penguat dan tidak mengandung makna masa lampau; atau bahwa apa yang dimaksud dengan masa lampau di sini adalah masa lampau yang baru saja terjadi, seakan-akan mereka berkata: “bagaimana kami bercakap dengan seorang bayi, yang baru saja selesai engkau ayun?” Atau bahwa kata (كَانَ) kana di sini untuk menunjukkan kemantapan sifat itu pada sesuatu, tanpa mengandung makna masa lampau atau masa kini. Ini serupa dengan: Inna Allaha kana Ghafuran Rahima/sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Kata kana pada kalimat tersebut bukannyua berarti bahwa dahulu Allah SWT Maha Pengampun, tetapi sifat tersebut mantap pada diri-Nya dan terus menerus ada.[154]

Yang pertama diucapkan oleh ‘Isa as. adalah pernyataan bahwa beliau adalah hamba Allah SWT swt. makna itu pula yang mengakhiri uraian tentang kelahirannya sebagaimana terbaca pada ayat 36 berikut. Ini agaknya sengaja digarisbawahi karena kelahirannya tanpa ayah menjadikan sementara orang sangat keliru dalam kepercayaannya tentang beliau, yakni mempertuhankannya, atau menilainya anak Tuhan, padahal beliau sebagaimana pengakuannya sejak dini adalah hamba Allah SWT dan penyembah Allah.

Kata (مُبَارَكًا) mubarakan terambil dari kata (البركة) al-barakah yang pada mulanya bermakna sesuatu yang mantap juga berarti “kebajikan yang melimpah dan beraneka ragam serta bersinambung”. Kolam dinamai (بركة) birkah, karena air yang ditampung dalam kolam itu menetap mantap didalamnya tidak tercecer ke mana-mana.[155]

Ketika menafsirkan QS. Al-An’am [6]: 92 Quraish antara lain menyatakan bahwa keberkatan Ilahi datang dari arah yang seringkali tidak diduga atau dirasakan secara material dan tidak pula dibatasi atau diukur. Dari sini segala penambahan yang tidak terukur oleh indra dinamai berkat[156].

Adanya berkat pada sesuatu berarti adanya kebajikan yang menyertai sesuatu itu, misalnya berkat dalam waktu. Bila ini terjadi, maka akan banyak kebajikan yang dapat terlaksana pada waktu itu dan biasanya yang tidak dapat menampung sebanyak aktivitas itu. Berkat pada makanan yang sedikit untuk mengenyangkan orang banyak yang biasanya tidak cukup untuk orang sebanyak itu. Dari kedua contoh ini terlihat bahwa keberkatan berbeda-beda sesuai dengan fungsi sesuatu yang diberkati itu. Keberkatan pada makanan misalnya adalah dalam fungsinya mengenyangkan, melahirkan kesehatan, menampik penyakit, mendorong aktivitas positif dan sebagainya. Ini dapat tercapai bukan secara otomatis, tetapi karena adanya limpahan karunia Allah SWT. Karunia yang dimaksud bukan dengan membatalkan peranan hukum-hukum sebab dan akibat yang telah ditetapkan Allah SWT., tetapi dengan menganugerahkan kepada siapa yang akan diberi keberkatan kemampuan untuk menggunakan dan memanfaatkan hukum-hukum tersebut seefisien dan semaksimal mungkin sehingga keberkatan yang dimaksud dapat hadir. Dalam hal keberkatan makanan misalnya,  Allah SWT. menganugerahkan kemampuan kepada manusia yang akan dianugerahi keberkatan makanan, aneka sebab yang ada sehingga kondisi badannya sesuai dengan makanan yang tersedia; kondisi makanan itupun sesuai, sehingga ia tidak kadaluarsa, tidak juga yang tadinya telah disiapkan hilang atau dicuri dan lain-lain. Sekali lagi keberkatan bukan berarti campur tangan Ilahi dalam bentuk membatalkan sebab-sebab yang dibutuhkan untuk lahirnya sesuatu.

Agaknya yang dimaksud keberkatan yang disandang oleh Nabi ‘Isa as. antara lain, adalah aneka manfaat yang dapat diperoleh manusia dari kehadiran beliau, baik dari penyembuhan-penyembuhan yang terjadi atas izin Allah SWT melalui beliau, maupun dengan ajaran dan tuntunan-tuntunan yang beliau sampaikan. Keberkatan itu, tidak terbatas pada tempat tertentu, misalnya hanya pada tempat-tempat peribadatan, tetapi dimanapun beliau berada sebagaimana dipahami dari pernyataan beliau (أَيْنَ مَا كُنْت) aina ma kuntu/dimanapun aku berada.[157]

وَالسَّلَامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا(33)

Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”. (QS. Maryam [19]: 33)

Akhirnya ‘Isa as. sang bayi itu, menutup keterangannya dengan berkata atau berdoa bahwa Salam yakni keselamatan besar dan kesejahteraan sempurna semoga tercurah atas diri ku serta keterhindaran dari segala bencana dan aib serta kekurangan pada hari aku dilahirkan, dan pada hari aku meninggal dunia, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali di Padang Mahsyar nanti.[158]

Rujuklah ke ayat 15 surat ini untuk memahami makna kata salam. Perlu di ingat bahwa disana kata salam merupakan pernyataan dari Allah SWT tentang tercurahnya salam kepada Nabi Yahya as., sedang di sini merupakan ucapan Nabi ‘Isa as. Di sisi lain, di sana kata tersebut berbentuk nakirah / indefinite, sedang di sini berbentuk ma’rifah / definite yakni menggunakan alif dan lam, yang mengandung makna ketercakupan segala macam salam dan kedamaian. Dengan demikian, ‘Isa as. dalam ucapannya ini bermohon kiranya segala macam salam dan kedamaian melimpah kepadanya pada ketiga tempat itu.[159]

Ayat ini mengabadikan serta merestui ucapan selamat hari kelahiran (Natal) yang diucapkan pertama kali oleh Nabi ‘Isa as. Nah, apakah mengucapkan yang serupa, dewasa ini tetap di benarkan al-Qur’an? Dalam masyarakat Indonesia, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkannya, dengan catatan tertentu.

Memang, jawaban persoalan ini jika dikaitkan dengan kesan yang ditimbulkannya serta makna populernya yakni pengakuan tentang Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini, jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan Selamat Natal paling dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan dan karena itu mereka melarangnya.

Memang teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah, sangat jelas, walau tidak juga rinci[160]. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Qur’an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami lagi. Kata “Allah” misalnya, tidak digunakannya ketika pengertian semantiknya dikalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kata Allah SWT ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu Hai Nabi Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga XIX (al-Ikhlash).

Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan, namun beliau tidak sekalipun bertanya: (من رب) dimana Tuhan? Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di suatu tempat, suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan yang serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi mereka menggunakan istilah “wujud Tuhan”.[161]

Ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa as. (Natal) manusia agung lagi suci itu, memang ada dalam al-Qur’an tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran agama Kristen yang keyakinannya terhadap ‘Isa al-Masih, berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantar kepada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahir larangan dan fatwa tentang haramnya mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, upacara Natal pun tidak dibenarkan.[162]

Ada juga pandangan yang membolehkan ucapan tersebut. Al-Qur’an ketika mengabadikan ucapan selamat “Natal” itu, mengaitkannya dengan ucapan Nabi ‘Isa as. “Sesungguhnya aku hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan akuseorang Nabi.” Seperti terbaca pada ayat 30 di atas.

Nah, salahkah bila ucapan “Selamat Natal”, dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Qur’an telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas serta para Nabi lainnya?

Bukankah setiap muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah SWT.? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk ‘Isa as. sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkah kita merayakan hari lahir / Natal Nabi ‘Isa as.? bukankah Nabi Muhammad SAW. juga merayakan hari keselamatan Nabi Musa as. dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa ‘Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa: “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan / mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) berpuasa”. (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud, melalui Ibn ‘Abbas).

Bukankah: “para nabi – sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW. – bersaudara hanya ibunya yang berbeda?” bukankah seluruh umat bersaudara? Apa salahnya kita bergembira dan menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas kemampuan kita, atau batas yang digariskan oleh anutan kita? Kalau demikian apa salahnya mengucapkan Selamat Natal, selama akidah masih dapat dipelihara dan selama ucapan itu sejalan apa yang dimaksud oleh al-Qur’an sendiri yang telah mengabadikan ucapan selamat Natal itu?

Itu antara lain alasan yang membenarkan muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.[163]

Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman, karena itu agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika ketika mengucapkannya akidah seseorang tetap murni yakni mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi dimana ia diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah, bagi dirinya dan muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan larangan itu. Adakah yang berwenang melarang seorang membaca / mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an.

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Qur’an dan Hadits memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula.[164]

Sahabat Nabi  SAW. Anas Ibn Malik ra., menyampaikan bahwa suatu ketika salah seorang sahabat Nabi SAW. bernama Abu Thalhah, harus bepergian saat anaknya sedang sakit. Beberapa saat setelah kepergiannya sang anak meninggal dunia. Ketika Abu Thalhah kembali, ia bertanya kepada istrinya tentang keadaan sang anak. Istrinya (yang rupanya enggan mengejutkan suaminya dengan berita sedih) menjawab: “(هواسكن ما كان) huwa askanu ma kana / dia dalam keadaan yang setenang-tenangnya.” Tentram hati suami mendengarnya, karena menduga bahwa anaknya sedang tidur nyenyak, padahal ketenangan yang dimaksud sang ibu, adalah kematian. Bukankah kematian bagi seorang anak yang sakit merupakan ketenangan? Ketika Abu Thalhah mengetahui keadaan sebenarnya ia mengadukan istrinya kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau bertanya: “Apakah semalam kalian berhubungan seks?” pertanyaan ini diiyakan oleh Abu Thalhah, maka Nabi SAW. mendoakan suami istri itu. Begitu diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Terlihat di sini bagaimana Nabi SAW. membenarkan / tidak menegur istri Abu Thalhah yang menggunakan redaksi yang sengaja dia susun agar dipahami oleh suaminya berbeda dengan maksudnya.[165]

Al-Qur’an juga memperkenalkan yang demikian. Salah satu contoh adalah QS. Saba’ [34]: 25. Di sana Rasul SAW. diperintahkan untuk menyampaikan kepada kaum musyrikin bahwa:

Kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan’dosa besar’ yang telah kami perbuat, kamipun tidak mempertanggungjawabkan ‘apa yang kamu kerjakan’.” Dalam redaksi ini, “dosa besar” dipahami sebagaimana apa adanya oleh lawan bicara, tetapi yang dimaksud oleh pembicara adalah kekeliruan-kekeliruan kecil, sedang “apa yang kamu lakukan” dipahami juga oleh lawan bicara dengan “dosa-dosa kecil” tetapi maksudnya oleh pembicara adalah kekufuran, kedurhakaan dan dosa-dosa besar. Demikian pandangan pakar tafsir az-Zamakhsyari dan diakui oleh banyak penafsir.[166]

Dalam konteks ucapan Selamat Natal, kalaupun non muslim memahami ucapan itu sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena sang muslim yang mengucapkannya memahami ucapannya itu sesuai dengan ukuran keyakinannya.[167]

Tidak keliru dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan Selamat Natal, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya, tetapi tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap terpelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.[168]

Boleh jadi pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih putra Maryam as., maka sembelihan tersebut dapat dimakan oleh muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau, atau dengan arti apapun. Demikian dikutip al-Biqa’i dari kitab ar-Raudhah, yang beliau cantumkan dalam tafsirnya ketika menjelaskan QS. Al-An’am [6]: 121. Memang kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial.

ذَلِكَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ قَوْلَ الْحَقِّ الَّذِي فِيهِ يَمْتَرُونَ(34)مَا كَانَ لِلَّهِ أَنْ يَتَّخِذَ مِنْ وَلَدٍ سُبْحَانَهُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ(35)

وَإِنَّ اللَّهَ رَبِّي وَرَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ(36)

Itulah Isa putera Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya. Tidak layak bagi Allah SWT mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia. Sesungguhnya Allah SWT adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu sekalian. Ini adalah jalan yang lurus. (QS. Maryam [19]: 34-36)[169]

Setelah menguraikan peristiwa kelahiran ‘Isa as. ayat ini menutup kisahnya dengan menjelaskan kedudukan beliau yakni: Itulah sifat-sifat dan ucapan ‘Isa putra Maryam. Apa yang Allah SWT sampaikan itu menyangkut ‘Isa as. dan ibunya adalah firman Allah SWT Yang Maha Benar lagi tidak disentuh oleh sedikit kebatilan pun. Itulah hakikat, yang mereka yakni orang-orang kafir dalam hal itu senantiasa memaksakan diri berbantah-bantahan dan meragukan kebenarannya padahal ia adalah hakikat dan kenyataan yang sangat jelas. Tidak mungkin lagi tidak dapat terbayang dalam benak bagi Allah SWT mengangkat anak, Maha Suci Dia dari kepemilikan anak dan dari segala macam kekurangan dan kebutuhan, karena apabila Dia telah menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata: “Jadilah”, maka jadilah ia dan dengan demikian, Dia tidak membutuhkan sesuatu, termasuk tidak membutuhkan atau memiliki anak, karena anak adalah cermin dari kebutuhan makhluk. Bahkan ‘Isa as. sendiri mengakui bahwa ia bukan anak-Nya dan menyatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT Yang Maha Esa tidak mengangkat anak dan Dia adalah Tuhanku Yang memelihara dan membimbingku dan juga Tuhan kamu semua bahkan Tuhan seru sekalian alam, maka karena itu sembahlah Dia. Ini adalah jalan lebar yang lurus.

Kata (الْحَقِّ) al-Haq pada firman-Nya: (قَوْلَ الْحَقِّ) qaul al-Haq dapat dipahami sebagai salah satu dari Asma’ al-Husna yakni merupakan nama Allah SWT., dan maknanya ketika itu adalah seperti yang penulis kemukakan di atas. Dapat juga kata al-haq berarti antonim dari kata (البطل) al-bathil sehingga qaul al-haq berarti ucapan yang benar serta sesuai dengan kenyataan. Ada juga yang memahami kata qaul sama dengan kata kalimat yang disebut dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 45, dan an-Nisa’ [4]: 171. yakni kedua ayat tersebut menamai ‘Isa as. sebagai kalimat Allah, dalam kelahirannya terjadi berdasar kalimat-Nya yaitu Kun fayakun.[170]

Kata (يَمْتَرُون) yamtarun terambil dari kata (مر) mira’ yakni pertengkaran, atau (مرية) miryah yakni keraguan. Ayat ini mengisyaratkan tentang pertentangan yang berkepanjangan serta keraguan yang terjadi di kalangan umat Kristen yang menyangkut hakikat Nabi ‘Isa as. sebagai kalimat Allah, dalam sejarah Kristen di kenal luas tentang peranan Konstantine Kaisar Romawi Timur (280-337 M.) yang menghimpun para uskup agama Kristen untuk menyelesaikan perbedaan pendapat mereka. Ketika itu berkumpul dua ribu seratus tujuh puluh uskup. Namun mereka berselisih. Ada yang berpendapat bahwa ‘Isa as. adalah tuhan yang turun ke bumi yang menghidupkan dan mematikan siapa yang dikehendakinya, lalu naik ke langit. Ada juga yang berpendapat bahwa beliau adalah anak Tuhan. Ada lagi yang menyatakan bahwa beliau adalah salah satu oknum dari Ketiga Oknum (Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruh Qudus). Ada juga yang berpendapat bahwa beliau adalah hamba Allah SWT dan Rasul-Nya, serta ruh dan kalimat-Nya. Dan masih banyak pendapat lain. Salah satu pendapat di pilih oleh sebanyak tiga ratus delapan uskup, dan kemudian merekalah yang di pilih Konstantine, sedang pendapat selainnya dia tolak bahkan penganutnya di kejar-kejar dan di intimidasi.[171]

Istilah (مَا كَانَ) ma kana yang secara harfiah berarti tidak pernah ada seringkali juga diterjemahkan dengan tidak sepatutnya. Menurut Thahir Ibn ‘Asyur istilah ini di gunakan untuk menekankan sesuatu dengan sungguh-sungguh. Asy-Sya’rawi berpendapat bahwa istilah itu, jika pelakunya manusia, bagaikan menafikan adanya kemampuan baginya untuk melakukan  sesuatu. Redaksi itu menurutnya berbeda dengan redaksi (ما ينبغ) ma yanbaghi yang secara harfiah berarti tidak sepatutnya, karena yang terakhir ini masih menggambarkan adanya kemampuan, hanya saja tidak sepatutnya di lakukan.[172] Dengan menegaskan tidak ada kemampuan, maka tertutup sudah kemungkinan bagi wujudnya sesuatu yang dimaksud, berbeda jika baru dinyatakan tidak patut. Di sini terletak penekanan dan kesungguhan yang dikandung oleh redaksi itu dengan demikian pada ayat ini istilah ma kana lebih tepat untuk di pahami dalam arti: “Tidak ada kemungkinan dan mustahil sama sekali menurut kenyataan dan dalam benak siapapun yang berakal bahwa Allah SWT mengangkat seorang anak.”[173]

Kata (كُنْ) kun pada firman-Nya: (كُنْ فَيَكُون) kun fayakun / jadilah, maka jadilah ia, digunakan sekadar untuk menggambarkan betapa mudah Allah SWT menciptakan sesuatu dan betapa cepat terciptanya sesuatu bila Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya itu, di ibaratkan dengan mengucapkan kata kun. Walaupun sebenarnya Allah SWT tidak perlu mengucapkannya karena Dia tidak memerlukan suatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya. Sekali lagi kata kun hanya melukiskan – buat manusia – betapa Allah SWT tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya dan betapa cepat sesuatu dapat wujud, sama bahkan lebih cepat – jika Dia menghendaki – dari waktu yang diperlukan manusia untuk mengucapkan kata kun. Perlu dicatat bahwa ini bukan berarti bahwa ‘Isa as. lahir sedemikian cepat dan tanpa proses sebagaimana dialami oleh para ibu ketika melahirkan bayinya. Ayat-ayat surat ini justru menjelaskan proses tersebut mulai dari kehamilan sampai detik-detik menjelang kelahiran ‘Isa as.[174]

Kata (صِرَاطٌ) shirath telah penulis jelaskan secara panjang lebar dalam surat al-Fatihah. Rujuklah kesana.

2. Berikut ini Penafsiran Quraish Mengenai Kisah Maryam dalam Surat Ali ‘Imran

[3]:[175]

قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي ءَايَةً قَالَ ءَايَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلَّا رَمْزًا وَاذْكُرْ رَبَّكَ كَثِيرًا وَسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْإِبْكَارِ(41)

Berkata Zakariya: “Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” Allah SWT berfirman: “Tandanya adalah kamu tidak dapat berkata-kata kepada manusia selama tiga hari, kecuali lewat isyarat; sebutlah nama Tuhanmu sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu petang dan pagi hari hari.” (QS. Ali Imran [3]: 41)

Dia, yakni Zakariyya, berkata, Tuhanku! Berilah aku suatu tanda, bahwa istriku akan atau telah mengandung agar aku segera dapat bersyukur atas nikmat-Mu ini.

Allah SWT berfirman, tandanya bagimu adalah engkau tidak dapat berbicara dengan manusia dalam persoalan duniawi, atau tidak dapat berbicara sama sekali selama tiga hari kecuali berbicara dengan isyarat, yakni tanpa suara; dan supaya lebih jelas tanda itu, Allah SWT tidak menjadikan lidahmu bisu atau menghilangkan suaramu sama sekali. Engkau tetap bersuara bila yang engkau ucapkan adalah pujian kepada Allah SWT. Karena itu bersyukurlah dan sebutlah nama Tuhanmu sebanyak-banyaknya di tiga hari itu dan hari-hari berikutnya, serta bertasbihlah dengan menyucikan Tuhanmu dari segala kekurangan, diwaktu petang dan pagi hari.

Penganut paham rasional memahami firman-Nya, Engkau tidak berbicara dengan manusia selama tiga hari, dalam arti Zakariyya tidak memiliki dorongan untuk bercakap-cakap dengan orang lain karena jiwanya telah dipenuhi oleh kegembiraan dan rasa syukur kepada Allah SWT., bukan dalam arti beliau tidak mampu menyampaikan sesuatu dengan berbisik atau suara keras kepada orang lain.

Pendapat ini dari satu sisi bisa jadi di nilai logis, hanya saja ia di hadang oleh satu dua pertanyaan, misalnya, apa makna pengecualian yang di sebut dalam ayat ini, yaitu kecuali isyarat? Selanjutnya, apakah ketiadaan dorongan berbicara dengan orang lain dapat menjadi tanda yang jelas buat Nabi Zakariyya? Kemudian, apakah penafsiran rasional sejalan dengan maksud pembuktian tentang terjadinya hal-hal  yang berada di luar kebiasaan pada keluarga ‘Imran yang diperlukan untuk membuktikan bahwa kelahiran tanpa ayah bukanlah suatu peristiwa yang dapat di jadikan bukti bahwa beliau adalah Tuhan atau anak Tuhan? Hemat penulis dan banyak penafsir, memahami ayat ini dan ayat supra rasional justru mengukuhkan pembuktian di atas.[176]

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاءِ الْعَالَمِينَ(42)

يَامَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ(43)

Dan ketika para malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah SWT telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu dari seluruh wanita di dunia. Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.” (QS. Ali Imran [3]: 42-43)

Ayat yang lalu menyinggung sepintas tentang tokoh yang memelihara Maryam, yakni Nabi Zakariyya as. uraian itu pada hakikatnya dalam konteks menjelaskan keberkatan wanita suci Maryam as. Nah, kini uraian kembali kepada pokok pembicaraan, yaitu tentang Maryam as. Di sini, setiap orang pun di perintah untuk mengingat dan merenung, ketika para malaikat, yakni Jibril as. – sebagaimana di jelaskan pada ayat yang lalu – berkata, Hai Maryam, sesungguhnya Allah SWT telah memilihmu, pilihan yang sangat tepat berdasar pengetahuan-Nya tentang sifat-sifat terpuji yang engkau sandang, dan menyucikanmu dari segala dosa, sehingga engkau saat ini sedang dalam keadaan suci berganda; sekali karena kesucian dirimu, dan di kali kedua dengan penyucian Allah SWT., dan dengan demikian Allah SWT memilihmu atas segala wanita di dunia, yakni dengan melahirkan seorang rasul tanpa – engkau – disentuh oleh seorang manusia pun. Karena itu, Hai Maryam, tulus dan taatlah kepada Tuhanmu, serta sujud dan rukuk-lah bersama-sama orang yang rukuk.

Ayat di atas menginformasikan bahwa Maryam dua kali di pilih Allah. Pilihan pertama dikemukakan tanpa menggunakan kata (عَلَى) ‘ala yang bermakna “di atas”; sedangkan yang kedua menggunakannya. Pilihan pertama mengisyaratkan bahwa sifat-sifat yang beliau sandang, disandang juga oleh orang-orang lain yang juga telah di pilih oleh Allah SWT. Bukankah sebelum Maryam as. Allah SWT telah memilih manusia-manusia lain? Adapun pilihan kedua yang menggunakan kata (عَلَى) ‘ala, maka ia adalah pilihan khusus di antara wanita-wanita seluruhnya. Pilihan kali ini mengatasi yang lain sehingga tidak dapat di raih oleh wanita-wanita lain, yakni melahirkan anak tanpa berhubungan seks. Atau bisa jadi juga, beliau di pilih sebagai satu-satunya nabi dari kalangan wanita. Bukankah malaikat menyampaikan wahyu-wahyu Ilahi kepada beliau?

Setelah menyampaikan kepada Maryan as. anugerah Allah SWT yang merupakan keistimewaan khusus baginya, maka beliau di perintah untuk mensyukuri anugerah itu dengan mengajaknya, Hai Maryam, tulus/taatlah kepada Tuhanmu dalam segala aktivitasmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk, yakni laksanakanlah shalat berjamaah. Perintah sujud dan rukuk bersama yang rukuk ini merupakan keistimewaan lagi buat Maryam as. karena ketika itu, wanita-wanita Bani Israel tidak di perkenankan shalat bersama pria, tetapi ini di perkenankan buat Maryam as. Karena kesucian beliau. Izin shalat bersama pria itu dipahami dari penggunaan bentuk jamak yang menunjuk pria yaitu ar-raki’in.[177]

ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ(44)

Inilah pemberitahuan dari alam ghaib yang Kami wahyukan kepadamu. Padahal kamu tidak berada di tengah-tengah mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah untuk memutuskan siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam, dan kamu tidak bersama mereka ketika mereka bersengketa satu sama lain. (QS. Ali Imran [3]: 44)

Informasi yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad SAW. di atas sungguh sangat akurat, tidak dapat diketahui kecuali para pakar dalam bidang ini, padahal Nabi Muhammad SAW. tidak pandai membaca dan menulis. Karena itu, sebelum melanjutkan uraian tentang bukti keesaan Allah SWT. melalui peristiwa-peristiwa luar biasa yang di alami oleh keluarga ‘Imran; ayat ini berhenti sejenak untuk mengajak setiap orang merenung bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. pastilah benar adanya, karena informasinya bersumber dari Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Itulah, yakni peristiwa-peristiwa yang di alami oleh istri ‘Imran dan Zakariyya serta Maryam as., sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepadamu dari saat ke saat, wahai Muhammad. Kini kamu mengetahuinya padahal engkau, wahai Nabi Muhammad, tidak berada di sisi mereka. Ayat ini menggunakan kata (لَدَيْهِمْ) ladaihim, yang penulis terjemahkan dengan di sisi mereka untuk mengisyaratkan bahwa informasi tersebut tidak terbuka dan hampir tidak diketahui oleh manusia. Sekali lagi, Engkau, wahai Nabi Muhammad, tidak berada di sisi mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau tidak berada di sisi mereka ketika mereka bersengketa.

Ayat ini tidak merinci bagaimana pengundian itu terjadi. Namun yang jelas para pemimpin rumah-rumah suci itu, semuanya ingin mendapat kehormatan memelihara Maryam, keinginan yang mengantar kepada persengketaan. Untuk menyelesaikan perselisihan, mereka sepakat untuk melakukan pengundian. Konon mereka ke laut sambil bersepakat masing-masing menjatuhkan anak panah undian mereka, dan siapa yang anak panahnya tidak tenggelam, maka dialah yang berhak memelihara Maryam. Ternyata anak panah Nabi Zakariyya as. yang tidak tenggelam, maka beliau di sepakati untuk menunaikan tugas terhormat itu. Peristiwa tersebut disisipkan dalam uraian ini dalam rangka membuktikan kebenaran Nabi Muhammad SAW. sebagai nabi, atau dengan kata lain untuk membuktikan bahwa beliau adalah salah seorang yang mendapat informasi yang akurat dari Allah SWT., sehingga apa yang sebentar lagi akan beliau sampaikan tentang ‘Isa as. juga merupakan sesuatu yang bersumber dari Allah SWT Yang Maha Mengetahui itu.[178]

Memang, apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. ini tidak keluar dari tiga kemungkinan. Pertama, beliau baca dari kitab-kitab lama; atau kedua, ketika itu beliau berada di tengah-tengah pelaku sejarah itu; atau – dan ini kemungkinan yang ketiga – merupakan informasi Allah SWT. Yang pertama mustahil, karena beliau tidak pandai membaca, tidak juga pernah belajar kepada pembaca kitab-kitab suci. Yang keduapun mustahil, karena kelahiran Maryam, bahkan putra beliau , yakni ‘Isa as., jauh dari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Jika demikian, hanya yang ketiga yang masuk akal, dan dengan demikian terbukti bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah utusan Tuhan, dan apa yang beliau sampaikan seperti keesaan Allah SWT dan kedudukan ‘Isa as. sebagai hamba Allah SWT adalah informasi yang benar dan pasti.

Perhentian sejenak untuk merenung ini tampaknya sengaja ditempatkan pada pembukaan pembicaraan Maryam untuk menggarisbawahi betapa tinggi kedudukan beliau di sisi Allah SWT., sekaligus membuktikan kepada delegasi Kristen Najran, bagaimana pandangan Islam tentang beliau dan anaknya sambil membuktikan kesesatan aqidah mereka.

إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَامَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ(45)

(46) وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَمِنَ الصَّالِحِينَ

(Ingatlah) Ketika para malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah SWT memberimu kabar gembira berupa sebuah kalimat dari-Nya. Namanya adalah al-Masih Isa putra Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat, dan ia akan termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah.” Dan ia berbicara kepada manusia ketika ia masih berada dalam buaian dan ketika sudah dewasa, dan ia termasuk di antara orang-orang yang saleh. (QS. Ali Imran [3]: 45-46)

Setelah perhentian sejenak pada ayat yang lalu, ayat ini memulai inti persoalan menghadapi delegasi Kristen Najran, yakni hakikat kedudukan Nabi ‘Isa as. Uraian dimulai sejak sebelum kelahiran beliau.[179]

Suatu ketika, para malaikat, yakni malaikat Jibril as. sendiri – sebagaimana telah dikemukakan pada ayat-ayat yang lalu – berkata, Hai Maryam, Sesungguhnya Allah SWT menggembirakanmu dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan dengan kalimat yang datang dari-Nya. Untuk lebih menjelaskan bahwa kalimat dimaksud bukan berupa ucapan tapi satu sosok manusia, sekaligus untuk menjelaskan kedudukannya, maka berlanjut berita gembira itu dengan menyampaikan bahwa nama sosok yang akan engkau lahirkan itu, serta gelar yang di pilih Allah SWT untuknya adalah al-Masih ‘Isa, dan karena dia tidak mempunyai ayah, maka ia adalah putera Maryam. Jangan menduga bahwa karena dia tidak berayah, maka dia akan dilecehkan. Tidak. Dia adalah seorang terkemuka, bukan hanya di dunia, tetapi, dan di akhirat juga. Bahkan kedudukannya di sana sungguh mantap – sebagaimana dipahami dari penggandengan sifat-sifat tersebut dengan huruf wawu ( و) – karena dia termasuk orang-orang yang didekatkan kepada Allah SWT. Keluarbiasaan putera yang akan engkau lahirkan itu, bukan hanya terbatas pada saat kelahirannya, tetapi berlanjut setelah itu, antara lain bahwa dia berbicara secara faktual, bukan potensial, dengan manusia ketika ia masih dalam buaian, dan usianya akan berlanjut sehingga dia berbicara juga kepada mereka ketika sudah dewasa, dan karena kesalihan mencakup seluruh kegiatan, bahkan hidupnya, maka dia termasuk dalam wadah khusus, sehingga dia merupakan salah seorang di antara orang-orang yang saleh.

Kata (ِكَلِمَةٍ مِنْهُ) kalimatin minhu yang di atas diterjemahkan dengan kalimat yang datang dari-Nya, menginformasikan bahwa kelahiran ‘Isa as.  tidak seperti kelahiran manusia biasa, tetapi melalui penciptaan luar biasa yang dilukiskan dengan kalimat (kata) Kun. Ini akan di jelaskan lebih jauh ketika menafsirkan ayat 47 surat ini.

Dalam al-Qur’an, kata (الْمَسِيحُ) al-Masih ditemukan sebanyak sebelas kali, semua menunjuk kepada ‘Isa as. Para penafsir al-Qur’an mengemukakan dua kemungkinan arti dari kata tersebut: Pertama, bila ia terambil dari kata     (مسح) masaha, maka artinya adalah yang diusapi. Dalam kitab Perjanjian Baru, antara lain ditemukan penjelasan bahwa ada seorang perempuan berdosa yang berdiri dekat kaki Nabi ‘Isa as. sambil menangis dan membasahi kaki beliau dengan air matanya, dan menyekanya dengan rambutnya, lalu mencium kaki beliau dan mengusapinya dengan minyak wangi (Lukas VII–36).[180] Kemungkinan arti kedua, adalah dengan memahami kata al-masih terambil dari kata (ساح يسح) saha yasihu, yang berarti berwisata, karena ‘Isa as. dikenal banyak berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menmgajak manusia ke jalan yang benar.[181]

Kata (وَجِيهًا) wajihan yang di terjemahklan dengan terkemuka, bukan berarti beliau yang paling terkemuka, paling mulia, dan seterusnya, sebagaimana dipahami oleh sementara orang yang mencari dalil-dalil dari al-Qur’an dan terjemahannya yang membuktikan keutamaan ‘Isa as. atas seluruh makhluk, termasuk Nabi Muhammad SAW. kata wajihan terambil dari kata wajah, yakni muka. ‘Isa as adalah seorang yang berwibawa, mengagumkan, sehingga siapa yang melihat wajahnya akan kagum, dan ketika menghadapinya akan malu menatap matanya, apalagi menolak permintaannya.

Abbas al-Aqqad dalam bukunya, “Hayat al-Masih”[182] mengemukakan riwayat yang populer sejak abad IV M., yang merupakan laporan kepada Senat Imperium Romawi. Riwayat itu antara lain melukiskan bahwa al-Masih adalah seorang yang penampilannya sangat terhormat, perawakannya sedang, kasih sayang bercampur wibawa terpancar dari wajahnya, sehingga yang melihatnya simpati kepadanya sekaligus takut. Rambutnya rapi, terulur sampai ke bahagian telinganya, keriting lagi mengkilat. Tidak terdapat sedikit keburukan pun di wajah beliau, bahkan nampak berseri. Seluruh penampilannya adalah kebenaran dan kasih sayang. Tidak sedikit pun aib atau kekurangan pada mulut dan hidungnya. Matanya biru bercahaya. Menakutkan kalau mengecam, tetapi menyenangkan bila mengajak dan mengajar. Tidak seorang pun pernah melihatnya tertawa, tetapi banyak yang melihatnya menangis. Perawakannya tinggi, memiliki tangan yang panjang, indah dan lurus. Urainnya seimbang, penuh hikmah tidak berpanjang-panjang. Penampilannya mengatasi apa yang dikenal pada kebanyakan orang. Demikian al-Aqqad, yang selanjutnya menyatakan, bahwa riwayat ini, walaupun dipertanyakan kebenarannya, tetapi pastilah beliau bukanlah seorang yang berpenampilan buruk, sebagaimana dituduhkan musuh-musuh ajarannya. Pasti beliau tidak demikian, karena seorang penganjur dalam tradisi syariat Musa haruslah yang berpenampilan menarik dan terhindar dari segala kekurangan

Dia berbicara dengan manusia ketika ia masih dalam buaian dan ketika sudah dewasa.

Tidak di jelaskan dalam ayat ini, pada usia berapa beliau berbicara. Tetapi tidak di sangkal bahwa hal tersebut terjadi usia buaian, atau pada usia yang biasanya anak belum dapat berbicara. Karena itu, ketika sekelompok orang datang mengecam Maryam as., bagaimana ia melahirkan sedangkan ia belum/tidak bersuami, beliau tidak menjawab, tetapi menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, “Bagaimana kami akan berbicara dengan anak kecil yang masih dalam ayunan?” (QS. Maryam [19]: 29).

Kemampuan berbicara itu bukan bukti ketuhanan ‘Isa as., apalagi ucapan pertama yang beliau ucapkan adalah, “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Allah, Dia memberiku al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi” (QS. Maryam [19]: 30). Di sisi lain, penegasan bahwa beliau pun berbicara pada usia dewasa menunjukkan bahwa beliau akan mencapai usia tersebut dan dengan demikian beliau mengalami perubahan, sedang yang mengalami perubahan pastilah bukan Tuhan.[183]

Kata (كَهْلًا) kahlan yang di atas di terjemahkan dengan dewasa, di pahami oleh banyak ulama sebagai usia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun, demikian Mufassir al-Jamal dalam “al-Futuha al-Ilahiyah”.[184]

قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ قَالَ كَذَلِكِ اللَّهُ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ إِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ(47)

Maryam berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana mungkin aku mempunyai anak, padahal aku. belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun?” Allah SWT berfirman: “Demikianlah, Allah SWT menciptakan apa yang dikehendaki-Nya.” Jika Allah SWT menetapkan suatu persoalan, Dia cukup hanya berkata kepadanya: “jadilah, maka jadilah ia!” (QS. Ali Imran [3]: 47)

Rupanya ketika malaikat Jibril menyampaikan kepada Maryam as. bahwa ia akan melahirkan anak yang bernama al-Masih ‘Isa putra Maryam, beliau sadar bahwa anak tersebut tidak berbapak, karena namanya di nisbahkan kepada Maryam, bukan kepada seorang ayah, sehingga Maryam bertanya, “Tuhanku, aku percaya pada-Mu, percaya juga kekuasan-Mu, tetapi bagaimana aku bisa mempunyai anak, padahal aku belum disentuh oleh seorang laki-laki pun yang bukan mahramku, apalagi melakukan hubungan yang mengakibatkan lahirnya anak”. Allah SWT berfirman dengan perantaraan Jibril, Demikianlah, yakni; memang, engkau adalah wanita yang tidak pernah dan tidak akan bersuami, tetapi Allah SWT telah menganugerahkan seorang anak kepadamu, karena Allah SWT mencipta apa yang dikehendaki-Nya. Yang demikian itu sangat mudah bagi-Nya, karena Apabila Dia berkehendak menetapkan sesuatu, maka sedemikian mudah dan cepat kehendak-Nya terlaksana, sehingga keadannya hanya bagaikan Dia berkataJadilah”, maka jadilah dia.

Kata kun dalam ayat ini digunakan sekedar untuk menggambarkan betapa mudah Allah SWT menciptakan sesuatu, dan betapa cepat terciptanya sesuatu bila Dia menghendaki. Cepat dan mudahnya itu diibaratkan dengan mengucapkan kata kun. Walaupun Allah SWT tidak perlu mengucapkannya karena Dia tidak memerlukan sesuatu apapun untuk mewujudkan apa yang dikehendaki-Nya. Sekali lagi, kata kun hanya melukiskan – kepada manusia – betapa Allah SWT tidak membutuhkan sesuatu untuk mewujudkan kehendak-Nya, dan betapa cepat sesuatu dapat wujud, bahkan lebih cepat – jika Dia menghendaki – dari masa yang digunakan manusia mengucapkan kata kun. Perlu dicatat, ini bukan berarti bahwa ‘Isa as. lahir sedemikian tanpa proses sebagaimana dialami oleh para ibu ketika melahirkan bayinya. Bacalah QS. Maryam [19]: 15-26 yang menjelaskan proses tersebut, mulai dari kehamilan sampai detik-detik menjelang kelahiran putranya.[185]

وَيُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَالتَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ(48) وَرَسُولًا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنِّي قَدْ جِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ أَنِّي أَخْلُقُ لَكُمْ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ فَأَنْفُخُ فِيهِ فَيَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَأُحْيِي الْمَوْتَى بِإِذْنِ اللَّهِ وَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِي بُيُوتِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ(49)

Dan Allah SWT akan mengajarkan kepadanya al-Kitab, Hikmah, Taurat, dan Injil. Ia akan menjadi seorang rasul untuk Bani Israil seraya berseru: “Aku telah datang kepadamu dengan membawa sebuah tanda dari Tuhanmu. Aku membuatkan kamu bentuk burung yang terbuat dari tanah, kemudian aku meniupnya, dan jadilah ia seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang buta dan pengidap lepra, dan aku menghidupkan orang mati dengan izin Allah. Aku memberitahukanmu apa yang akan kamu makan dan apa yang akan kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda bagimu jika kamu orang-orang beriman”. (Qs. Ali Imran [3]: 48-49)

Setelah melayani pertanyaan Maryam yang menyela malaikat akibat keheranannya mendengar bahwa ia akan memperoleh anak, malaikat melanjutkan pesan Allah SWT kepada Maryam tentang putra yang akan dilahirkannya itu. Kata malaikat, Allah SWT akan mengajarkan kepadanya al-Kitab, yakni tulis baca, hikmah, kemampuan memahami dan melaksanakan seseuatu yang benar, sesuai, wajar dan tepat; juga mengajar Taurat, yaitu kitab suci yang pernah diturunkan kepada Musa as., karena kandungannya menjadi syariat bagi kaum Nasrani, dan mewahyukan Injil kepadanya, serta akan diutus menjadi Rasul khusus kepada Bani Israil.[186]

Maka setelah malaikat Jibril menyampaikan berita gembira ini, malaikat itu meniup Maryam – entah bagaimana dan dimana, konon melalui kantong leher bajunya – maka Maryam pun mengandung. Selanjutnya, setelah beberapa lama – enam bulan dalam satu riwayat, delapan atau sembilan menurut riwayat yang lain, Maryam melahirkan  (Konon dalam usia enam belas tahun). Dan setelah ‘Isa as. dewasa dan diutus menjadi Rasul dikalangan Bani Israil, dia berkata kepada mereka, Sesungguhnya aku telah datang kepada kamu dengan membawa sesutau tanda (mukjizat) dari Tuhan kamu, yaitu aku, dalam rangka membuktikan kebenaranku sebagai utusan Allah SWT dan menunjukkan kepada kamu betapa kuasanya Tuhan yang kita sembah, aku dapat membuat untuk kamu dari tanah yang bercampur air sesuatu yang berbentuk seperti burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi benar-benar seekor burung, bukan karena kemampuanku, tetapi dengan seizin Allah SWT. dan aku menyembuhkan dengan kesembuhan penuh melalui doa kepada Allah SWT., bukan dengan memberi obat orang yang buta sejak lahir sehingga dia dapat melihat dengan mata kepalanya secara normal, demikian juga dengan orang yang berpenyakit sopak, sehingga kulitnya menjadi bersih tanpa cacat, dan aku menghidupkan orang mati, yakni yang telah berpisah ruh dari jasadnya. Itu juga kulakukan dengan atas dasar kemampuan yang bersumber dari diriku, tetapi dengan kekuasaan dan seizin Allah SWT. serta aku kabarkan kepada kamu berita penting menyangkut apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumah kamu. Sesungguhnya pada yang demikian itu, yakni hal-hal yang disebut di atas, adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagi kamu, sehingga jika kamu orang-orang mukmin, tentulah kamu memanfaatkan bukti-bukti itu untuk membenarkan apa yang aku sampaikan kepada kamu.

Anda lihat dalam ayat di atas, dua kali nabi ‘Isa as. menegaskan bahwa apa yang dilakukannya adalah atas izin Allah SWT. Ini untuk menghapus segala kesan yang dapat timbul dari apa yang dilakukannya itu. Karena itu pula beliau merasa perlu menyebutkan izin tersebut, khususnya dalam hal yang sama sekali tidak dapat dilakukan oleh manusia, yaitu menuiupkan ruh kehidupan, baik kepada burung yang beliau buat dari tanah, lebih-lebih menghidupkan manusia yang telah mati. Adapun penyembuhan, walaupun hal ini adalah atas izin Allah SWT., tetapi agar ia ia tidak menimbulkan dugaan yang keliru, maka kata seizin Allah SWT tidak disebut disana.[187]

Pernyataan nabi ‘Isa as., “Sesungguhnya aku telah datang kepada kamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhan kamu”. Tanda atau mukjizat sangat perlu buat setiap nabi atau rasul. Karena mereka diutus kepada masyarakat dengan membawa ajaran yang secara tegas mereka akui dari Allah.tidak semua masyarakat bisa langsung mempercayai nabi dan rasul, karena itu perlu ada bukti kebenaran yang mereka tampilkan. Bukti tersebut haruslah hal yang luar biasa, yang di tantangkan kepada anggota masyarakat yang meragukan sang nabi atau rasul. Tentu saja untuk membuktikan kebenaran utusan Allah SWT itu, apa yang di tantangkan kepada mereka adalah hal-hal yang diketahui atau dipahami, bahkan dimahiri oleh masyarakat nabi itu, sebab apa arti tantangan kalau menyangkut hal yang tidak dipahami atau dimahiri. Di sisi lain, tantangan yang dipaparkan oleh yang mengaku nabi tidak dapat dilayani oleh mereka yang ditantang, bahkan membungkam mereka. Inilah mukjizat.

Seperti dikemukakan diatas, mukjizat harus dipahami dan merupakan kemahiran masyarakat yang ditantang. Rupanya masyarakat Bani Israil pada masa ‘Isa as. merasa sangat mahir dalam bidang penyembuhan yang puncaknya adalah menghidupkan orang mati. Haruslah dicatat bahwa kehidupan yang dialami kembali oleh yang mati itu tidak berlanjut lama. Ini hanya berlangsung dalam beberapa saat, yang cukup untuk membuktikan kebenaran Nabi ‘Isa sebagai utusan Allah SWT.

Di antara bukti-bukti yang dikemukakan ‘Isa as. adalah mengabarkan kepada mereka tentang apa yang mereka makan dan simpan dirumah. Sesuatu yang dimakan adalah sesuatu yang pribadi, tidak diketahui kecuali oleh yang makan bersama. Nah, hal-hal yang bersifat pribadi pun disampaikan oleh nabi ‘Isa as. Bahkan, siapa tahu ada yang menduga bahwa pengetahuannya itu karena merasakan aroma makanan akibat percakapan, maka untuk menampik dugaan itu, beliau menyampaikan juga makanan apa yang disimpan dirumah. Ini semua sebagai bukti bahwa beliau adalah utusan Allah SWT dan memperoleh informasi dari Yang Maha Kuasa itu.[188]

وَمُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنَ التَّوْرَاةِ وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ وَجِئْتُكُمْ بِآيَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ(50)

Aku datang kepadamu sebagai pembenar Taurat, dan untuk menghalalkan sebagian yang telah diharamkan untukmu. Aku datang kepadamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu. Karena itu bertakwalah kepada Allah SWT dan taatlah kepadaku. (QS. Ali Imran [3]: 50)

Setelah menjelaskan mukjizat-mukjizat nabi ‘Isa as., ayat ini menjelaskan ajarannya, yaitu bahwa beliau diutus kepada Bani Israil membenarkan Taurat, yakni kitab suci yang diturunkan kepada nabi Musa as. jauh sebelum kelahiran ‘Isa, yang datang sebelumku konon sekitar 1975 tahun sebelum kelahiran ‘Isa as., demikian tulis pakar tafsir al-Jamal; dan untuk meghalalkan bagi kamu sebagian yang telah diharamkan untuk kamu dalam kitab Taurat itu. Adapun sebagian besar lainnya adalah tetap berlaku, dan aku datang kepada kamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu.

Penggalan ini bisa jadi merupakan pengulangan makna dari kalimat serupa pada ayat yang lalu. Ini diperlukan untuk lebih merangsang mereka beriman. Itulah sebabnya, ‘Isa as. mengaitkan penggalan tersebut dengan sabdanya: “Karena itu bertakwalah kepada Allah SWT dan taatlah kepadaku”.

Al-Biqa’i memahami penggalan itu bukan bertujuan pengulangan untuk pesan-pesan iman, tetapi penegasan kali ini untuk menampik keraguan adanya dugaan dari masyarakatnya bahwa beliau adalah al-masih ad-dajjal. Karena dikalangan mereka cukup populer bahwa al-masih ad-dajjal tidak hanya mampu menampilkan keluarbiasaan-keluarbiasaan, tetapi juga mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan. Nabi ‘Isa as. menampik dugaan tersebut dengan menegaskan bahwa ia bukan Tuhan, tetapi datang kepada kamu dengan membawa suatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu.

Di atas telah dikutip pendapat pakar tafsir al-Jamal yang menyatakan bahwa Musa as. telah menerima Taurat sekitar 1975 tahun sebelum datangnya ‘Isa as.

Sejarawan Driaton dan Vandel, melalui beberapa dokumen membuktikan bahwa Fir’aun atau Penguasa Mesir yang ditemukan mayatnya di Laut Merah dan diduga keras sebagai Fir’aun yang mengejar nabi Musa dan Bani Israil, memerintah pada tahun 1224 SM sampai 1214 SM. Artinya, itulah lebih kurang jarak antara diutusnya Musa as. dan kehadiran ‘Isa as. Ini jika kita berasumsi bahwa Isa as. lahir pada awal tahun Masehi, suatu asumsi yang diperselisihkan oleh sejarawan.[189]

Wallahu a’lam bish shawab !

BAB V

PENUTUP

A.  Kesimpulan

Setelah mengkaji dan menganalisis penafsiran  Quraish tentang kisah Maryam, sebagaimana yang telah diuraikan, maka dalam bab terakhir ini akan disampaikan kesimpulan mengenai permasalahan yang telah dirumuskan dan dibahas dalam bab-bab sebelumnya, yaitu:

1.      Keajaiban-keajaiban yang ada dalam kisah al-Qur’an dalam Tafsir Al-Mishbah, karya Quraish tentang ibunda Nabi Isa as. adalah: Maryam lahir dari seorang ibu (Hannah, istri Zakariah) yang sudah lanjut usia; Mendapat makanan secara langsung dari Jibril waktu ia diletakkan di Baitul Maqdis; Hamil tanpa pernikahan (tidak pernah disentuh oleh laki-laki); Melahirkan bayi tanpa ada orang (bidan, dukun beranak) yang menyertai; dapat berbicara dengan bayinya waktu ia dituduh berzina.

2.      Implikasi bagi masyarakat Islam secara umum atas kisah Ibunda Nabi Isa as. di atas, sebagaimana telah dijabarkan oleh Quraish dalam Tafsir Al-Mishbah adalah: Memberikan pelajaran kepada ibu-ibu yang belum mempunyai anak walaupun telah menikah sekian tahun lamanya untuk sabar dan berdo’a serta berikhtiar baik secara medis bahwa semua itu ketentuan Allah SWT.; Bahwa kehamilan sebagaimana Maryam alami tidak akan terjadi lagi pada gadis-gadis setelahnya. Jadi, jika ada yang mengaku seperti apa yang dialami Maryam maka dengan sendirinya tertolak; Menunjukkan bahwa Allah SWT. maha kuasa dalam berbuat apapun. Penciptaan Isa al-Masih merupakan mu’jizat Allah SWT. yang diturunkan kepada Nabi Isa as.

B.  Saran-saran

Dari penelitian yang peneliti lakukan ini, ada beberapa saran penting yang perlu disampaikan kepada pembaca atau peneliti berikutnya, yakni: Pertama, bahwa karya tafsir Quraish sangat banyak, tidak hanya tafsir Al-Mishbah. Penelitian ini hanyalah langkah awal dalam usaha menjajaki pemikiran beliau dari beberapa karya tafsirnya. Alangkah lebih baiknya, apabila penelitian mengenai pemikiran Quraish dalam beberapa karya tafsirnya tidak ditumpukan pada satu tema saja, tetapi semua tema bahkan semua karya  beliau, supaya hasil yang di peroleh lebih komprehensif.

Kedua, dalam peta penafsiran Indonesia, banyak sekali sosok penafsir baik yang lahir dari ruang akademik, seperti M. Dawam Raharjo, Syu’bah ‘Asa, dan lain-lain; maupun mereka yang terlahir dari bukan ruang akademik seperti Achmad Chodjim, Bisri Mustofa, dan lain-lain. Masing-masing mempunyai warna sendiri-sendiri, penelitian tentang pemikiran tokoh-tokoh tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut tidak terbatas pada sosok Quraish saja.


[1] QS.  al-Baqarah [2]: 185, 2.

[2] H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hlm. 24.

[3] Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, jilid I (Jakarta: UI Press, 2001), hlm. 25.

[4] M. Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 30.

[5] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 28. Dan lihat juga M. Quraish Shihab yang mempunyai pandangan yang sama terhadap petunjuk Al-Qur’an yang pada umumnya bersifat global, Lihat: M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 225.

[6] M. Quraish Shihab, Ibid., Lihat juga Q.S. an-Nisa (4) : 23.

[7] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 286. Tidak semua permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam mampu ditemukan solusinya dalam al-Qur’an karena al-Qur’an tidak menerangkan secara rinci segala aspek kehiduapan, dan tidak semua masalah harus ditemukan argumentasinya dalam al-Quran, melainkan bisa juga dipelajari dari ruh al-Qur’an dan gagasan pokok al-Qur’an. Semisalnnya, al-Qur’an telah megisaratkan yang berkaitan dengan musyawarah, tapi musyawarah seperti apa dalam al-Qur’an tidak dijelaskan secara detil, dan konsep musyawarah dikembalikan pada tiap-tiap negara yang mempunyai sistem pemerintahan yang berbeda-beda. Dan harus dilihat juga pada sumber rujukan Islam kedua yakni hadis atau sunnah, di mana status Muhammad sebagai utusan Allah, perkataan dan perbuatannya diterima oleh sebagian besar Muslim sebagi sebuah sumber kewenangan hukum dan kedua setelah al-Qur’an. Tentu saja, al-Qur’an sendiri berulang-ulang memerintahkan kepada pembacanya agar mematuhi Allah SWT dan utusan-Nya. Oleh karena itu, imitatio Muhammadi menjadi standar tingkah laku di kalangan orang Muslim, menjadi dasar bagi hukum Islam dan menjadi standar bahkan bagi aktivitas keduniaan-seperti aturan bahwa kuku harus dipotong, atau mempunyai janggut yang panjang. Lihat, Daniel W. Brown, Menyoal Relevansi Sunnah Dalam Dunia Modern, terj. Jaziar Radianti dan Entin Sriani Muslim (Bandung, Mizan, 2000), hlm. 11. Dan hadis atau sunnah bisa mempertegas apa yang ada dalam al-Qur’an (sunnah mu’akkidah), menjelaskan cara untuk mengerjakan sesuatu (sunnah mubayinnah) atau memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang bersumber dari al-Qur’an (sunnah mutsbitah, tetapi tidak mungkin sunnah bertentangan dengan al-Qur’an. Lihat Muhammad Abdul Halim, Memahami Al-Qur’an: Pendekatan Gaya dan Tema, terj. Rofik Suhud (Bandung: Marja’, 2002), hlm. 22.

[8] Harun Nasution, Ibid., hlm. 28.

[9] Diambil dari kata pengantar Ulil Abshar Abdala dalam buku Nasaruddin Umar, Qur’an Untuk Perempuan (Jakarta: Jaringan Islam Liberal dan Teater Utan Kayu, 2002), hlm.xii.

[10] Ahmad Syirbasyi, Studi Tentang Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, terj. Zufran Rahman, (Jakarta: Kalam Mulia, 1999), hlm. 231.

[11] Abdul Mustaqim, Madzahib at-Tafsir; Peta Metodologi Penafsiran Al-Qur’an Periode Klasik Hingga Kontemporer, (Yogyakarta: Nun Pustaka, 2003), hlm. V.

[12] Muhammad Ali al-Shabuni, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, terj. Moh. Chudlori, (Bandung: al-Ma’arif, 1970), hlm. 200.

[13] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, Cet. V, (Jakarta: Litera Inter Nusa, 2000), hlm. 455.

[14] Al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.), 471.

[15] Badr al-Din al-Zarkasyi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, (t.tp.: Dar al-Kutub, 1957), hlm. 13.

[16] Indal Abror, “Potret Kronologis Tafsir Indonesia”, dalam Esensia, Vol. 3, No. 2, Juli 2002, hlm. 191.

[17] Abu Bakar Aceh, Sejarah al-Qur’an, (Solo: Ramadhani, 1989), hlm. 233-245.

[18] Ibid., hlm. 41.

[19] Howard M. Federspiel, Kajian al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab, terj. Tajul Arifin, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 129.

[20] Mengenai perkembangan tafsir Indonesia, Indal Abror mencoba memetakan secara kronologis tafsir-tafsir yang telah ditulis oleh orang Indonesia. Ia membagi secara historis menjadi empat periode; periode pertama mencakup kitab-kitab tafsir yang muncul pada abad VII-XV M. periode kedua meliputi kitab-kitab tafsir yang muncul pada abad XVI-XVIII M. periode ketiga, karya tafsir yang ditulis selama abad XIX M. Periode keempat meliputi kitab-kitab tafsir yang ditulis selama abad XX M, yang kemudian dibagi lagi menjadi tiga sub periode, yaitu periode awal abad XX M. hingga 1950, periode 1951-1980 dan periode 1981-2000. dari keempat periode itu ia mengklasifikasikan kecenderungan metodologi yang digunakan dari tiap periode menjadi tiga kelompok tafsir, pertama tafsir ijmali atau tarjamah tafsiriyah yang mewarnai periode awal abad XX M. hingga 1950, Kedua, tafsir tahlili yang berkembang pada periode 1951-1980-an, Ketiga, maudlu’i atau tematik, sesudah tahun 1980-an. Indal Abror, Ibid., hlm. 189-199.

[21] Sayangnya dalam mengomentari tafsir kontemporer (istilah yang digunakan Hamdani Anwar), ia tidak menjelaskan secara terperinci. Hal tersebut dapat dimaklumi, karena ia hanya mencoba memotret perkembangan tafsir yang ada dewasa ini. Lihat Hamdani Anwar, “Potret Tafsir Kontemporer Indonesia”, dalam Hermeneutika Madzhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), hlm. 248.

[22] Ibid., hlm. 249.

[23] Ibid.

[24] Ibid., hlm. 250.

[25] Ibid. hlm. 250.

[26] Abdul Mustaqim, Ibid., hlm.70

[27] Ahmad asy-Syirbashi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, terj. Tim Pustaka Firdaus, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), hlm. 59.

[28] Fahd ibn Abd al-‘Aziz al-Sa’ud (Raja Kerajaan Saudi Arabia), Al-Qur’an danTerjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah / Pentafsir al-Qur’an, 1971), hlm. 99.

[29] Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Alam Pikiran Islam, tim penterjemah, (Jakarta: Bulan Bintang, t.th.), hlm. 127.

[30] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: UPBIK Pondok Pesantren Krapyak, 1984), hlm.  1210.

[31] Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Dasar-dasar Penafsiran al-Qur’an, terj. Said Agil

Husain al-Munawwar dan Ahmad Rifqi Mukhtar, (Semarang: Dina Utama, t.th.), hlm. 70. Sedang menurut Manna Khalil al-Qattan, secara etimologi kisah berarti mencari atau mengikuti jejak. Dikatakan: “قصصت اثره”, artinya, “saya mengikuti atau mencari jejaknya”. Kata al-Qashash adalah bentuk masdar. Firman Allah: فرثداعلي اثارهماقصصا  (QS. Al-Kahfi [18]: 64), maksudnya kedua orang itu kembali lagi untuk mengikuti jejak dari mana keduanya itu datang. Dan firman-Nya melalui lisan ibu Musa: وقلت لاخته قصيه , Dan berkatalah ibu Musa kepada saudaranya yang perempuan: ikutilah dia (QS. Al-Qashash [28]: 11). Maksudnya ikutilah jejaknya sampai kamu melihat siapakah yang mengambilnya.

Qashash berarti berita berurutan. Firman Allah:  ان هذا لهوالقصص الخ, sesungguhnya ini adalah berita yang benar (QS. Ali imran [3]: 62). Dan firman-Nya ب :  لقد كان في قصصهم عبرة لا  لاولي الا لبا sesungguhnya pada berita mereka itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal (QS. Yusuf [12]: 111). Sedang al-Qishash berarti urusan, berita, perkara dan keadaan. Lihat: Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, terj. Mudzakir AS, Cet. V, (Jakarta: Litera InterNusa, 2000), hlm. 435-436.

[32] Ibid., hlm. 436. Lihat juga dalam: Muhammad Chirzin, al-Qur’an dan Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998), hlm. 117-118.

[33] Aliah Schleifer, Sejarah Hidup Maryam Sebuah Kajian Tafsir Tematik, terj. Ali Masrur, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. x-xi.

[34] Lihat QS. Yusuf [12]: 111: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi kaum yang berakal…”

[35] Buku ini ditulis oleh ‘Aisyah Abdurarahman Binti Syathi’, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh ‘Abdul Qadir Mahdamy, Solo: Pustaka Mantiq, 1992

[36] Buku ini ditulis oleh Amina Wadud Muhsin, yang diterjemahkan oleh Yaziar Radianti, dengan judul asli: Qur’an and Women, Bandung: Pustaka, 1994

[37] Buku ini ditulis oleh Jabir Asy-Syal, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Alwi AM, dari judul aslinya: Qishashun Nisa’ fi al-Quir’an al-Karim, Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986

[38] Buku ini ditulis oleh Ali Dawwani, yang diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Toha Musawa, dari judul aslinya: Zan da Qur’an, Bogor: Cahaya, 2003

[39] Buku ini ditulis oleh Muhyiddin Abdul Hamid, dan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995

[40] Buku ini ditulis oleh Ahmad Deedat, yang diterjemahkan oleh Mul Rereng, Jakarta: Gema Insani Press, 1995

[41] Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 139.

[42] Anton Baker dan Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), hlm. 43-45.

[43] Sutrisno Hadi, Metodologi Research I, Cet. Ke 27, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 24.

[44] Ibid., hlm. 26.

[45] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XII, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 6.

[46] Ibid. hlm. 14.

[47] Ibid., hlm. 6.

[48] Ibid.

[49] Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2002), hlm. 1039.

[50] Ibid., hlm. 1039.

[51] Mengenai isi dan latar belakang penulisan buku ini lihat dalam M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar”, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran dalam Kehidupan Masyarakat, Cet. XII, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 13.

[52] Mengenai isi dan latar belakang penulisan buku ini lihat dalam M. Quraish Shihab, “Sekapur Sirih”, Wawasan al-Qur’an, Tafsir Maudlu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Cet. XII, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. xi.

[53] Mengenai isi dan latar belakang penulisan buku ini lihat dalam M. Quraish Shihab, “Sekapur Sirih”, Mukjizat al-Qur’an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib, Cet. IX, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 7.

[54] Gambaran sekilas mengenai buku ini lihat dalam Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Metodologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 82.

[55] Mengenai isi dan latar belakang penulisan buku ini lihat dalam Lihat: Ibid., hlm. xi dan xxi.

[56] Mengenai isi dan latar belakang penulisan buku ini lihat dalam M. Quraish Shihab, “Pengantar”, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama, (Bandung: Mizan, 1999), hlm. vii-xi

[57] Mengenai isi dan latar belakang penulisan buku ini lihat dalam “Sekapur Sirih” M. Quraish Shihab dalam bukunya Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Cet. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. x-xi.

[58] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A. Mas’adi, dari judul asli: The Concise Encyclopaedia of Islam, Cet. II, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 6.

[59] Ibid.

[60] Harun Nasution dkk, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2002) Ibid.

[61] Ibid., hlm. ix.

[62] Ibid., hlm. x.

[63] Ibid.

[64] Di dalam literatur tafsir al-Qur’an di Indonesia yang muncul pada dasawarsa 1990-an dalam sisi sistematika penyajian ini, dapat dikelompokan menjadi dua bagian pokok: pertama, sistematika penyajian runtut adalah model sistematika penyajian penulisan tafsir yang rangkaian penyajiannya mengacu pada urutan surah yang ada dalam model mushaf standar, dan atau mengacu pada urutan turunnya wahyu. Model pertama, telah umum dipakai para ulama tafsir. Seperti halnya dalam karya-karya tafsir klasik Jalalayn, maupun karya tafsir kontemporer, seperti al-Manar, sistematika penulisannya mengacu pada model yang pertama ini. Dan kedua,, sistematika penyajian tematik, yang dimaksud di sini adalah suatu bentuk rangkaian penulisan karya tafsir yang struktur paparannya diacukan pada tema tertentu. Tema atau ayat, surah dan juz tertentu ini, ditentukan sendiri oleh penulis tafsir. Dari tema-tema ini, mufasir menggali visi al-Qur’an tentang tema yang ditentukan itu. Lebih jelasnya lihat Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, dari Hermeneutika Hingga Metodologi, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 122 dan 128.

[65] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, vol. I, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. I

[66] Ibid., vol. 1, hlm. 1-9, 85.

[67] Ibid., vol. 3, hlm. 3, vol. 5, hlm. 3, 369-370, vol. 5, hlm. 3, vol. 5, hlm. 370, dan vol. 9, hlm. 3-4.

[68] Ibid., vol. 1, hlm. 6-7, vol. 4, hlm. 3 dan vol. 6, hlm. 3.

[69] Ibid., vol. 10, hlm. 299.

[70] Ibid., vol. 1, hlm. 3-9, vol. 5, hlm. 520, vol. 6, hlm. 3, vol. 6, hlm. 175, vol. 6, hlm. 375-376, vol. 7, hlm. 3, vol. 7, hlm. 396, vol. 9, hlm. 4 dan 143, vol. 10, hlm. 169,  vol. 10, hlm. 301, dan vol. 11, hlm. 213.

[71] Ibid., vol, 1, hlm. 9-10, vol. 2, hlm. 3-4, vol. 5, hlm. 4, dan vol. 7, hlm. 5.

[72] Ibid., vol. 5, hlm. 4, vol. 5, hlm. 371, dan vol. 6, hlm, 532.

[73] Ibid., vol. 2, hlm. 3, vol. 6, hlm. 4, vol. 8, hlm. 147, vol. 9, hlm. 275, dan vol. 10, hlm. 299-300.

[74] Lihat pengakuan M. Quraish Shihab, dalam “sekapur sirih” dan buktikan pengakuannya itu pada uraian-uraiannya di setiap awal surat dalam tafsirnya. Ibid., vol. 1, hlm. ix.

[75] Nur Faizan Maswan, Kajian Tafsir Deskriptif Tafsir Ibnu Katsir: Membedah Khazanah Klasik, (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002), hlm. 62.

[76] M. Quraish Shihab, Ibid., vol. 2, hlm. xvi.

[77] Pendapatnya banyak dikutip oleh M. Quraish Shihab dalam tafsirnya. Ibid., vol. 1, hlm. xii.

[78] Ibid., vol. 1, hlm. xxiii.

[79] Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azim, juz. I, (Mesir: al-Maktabah al-Tijjariyah al-Kubra t.th), hlm. 3.

[80] Muhammad Basuni Faudah, Tafsir-Tafsir Al-Qur’an: Perkenalan Dengan Metodologi Tafsir, terj. H.M. Mochtar Zoerni dan Abdul Qodir Hamid, (Bandung: Pustaka, 1987), hlm. 62.

[81] Mustafa al-Sawi al-Juwaini, Manahij fi al-Tafsir, (t.k: Kutb al-Dirasat al-Qur’aniyyah, t.th), hlm. 7.

[82] Abdul Hayyi al-Farmawi, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudlu’i, (al-Qahirah: al-Hadarah al-Arabiyyah,1997), hlm. 24, 43-45.

[83] Muhammad Baqir al-Sadr menyebut metode tahlili dengan istilah metode tajzi’i yang secara harfiyah berarti tafsir yang menguraikan berdasarkan bagian-bagian atau tafsir parsial. Baca Muhammad Baqir al-Sadr, al-Tafsir al-Maudlu’i wa al-Tafsir al-Tajzi’i fi al-Qur’an al-Karim, (Beirut: Dar al-Ta’aruf li al-Matbu’at, 1980), hlm. 10.

[84] Menurut Nashruddin Baidan bahwa yang menjadi ciri metode tahlili atau analitis ini bukan menafsirkan al-Qur’an dari awal mushaf sampai akhir, melainkan terletak pada pola pembahasan dan analisisnya. Lihat: Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 31-52. Lihat juga M. Quraish Shihab, dkk,  Sejarah dan Ulumul Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 171-176. Dan Lihat juga Muhammad Basuni Faudah, Ibid., hlm. 24-35.

[85] M.Quraish Shihab, dkk., Ibid., hlm. 172-185.

[86] Islah Gusmian dalam bukunya membuat peta  metodologi tafsir konvensional dengan bagan dan M. Quraish Shihab termasuk pada tafsir bi al ma’sur.  Islah Gusmian, op. cit., hlm. 116 dan 201.

[87] M. Quraish Shihab, dkk, Ibid., hlm. 174-176.

[88] Misalkan ketika menafsirkan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Qasas (28): 77. M. Quraish Shihab Ibid., vol. 10, hlm. 405-409. Dalam Q.S. al-Syu’ara (26): 213. Ibid. hlm. 148-149. dalam Q.S. an-Naml (27): 58. Ibid., hlm. 246-247.

[89] Misalnya ketika menafsirkan firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nur (24): 27-28. M. Quraish Shihab, Ibid., vol. 9, hlm. 318-322.

[90] Misalkan ketika menafsirkan firman Allah SWT dalam Q.S. al-Hijr (15): 47-48. M. Quraish Shihab, Ibid., vol. 7, hlm. 136-138.

[91] Muhammad Fuad Abd Al-Baqiy, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Alfadh Al-Qur’an Al-Hakim, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), hlm. 665, Lihat juga dalam: Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur’an Panduan Mencari Ayat-ayat al -Qur’an Berdasarkan Kata Dasarnya, Cet. VI, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 293-294

[92] Data ini diperoleh peneliti dari internet yang diakses pada hari Selasa, 28 Maret 2006, pkl. 13.45, di http://www.google.com. – oleh: DHB Wicaksono.

[93] Zakariyya bin Bardhiya adalah seorang Nabi (pemuka agama) Bani Israel, yang tak lain adalah suami dari saudara perempuan Hannah (ibu Maryam), yang bernama Isya’. Lihat: Jabir Asy-Syal, Profil Di Balik Cadar, Kisah Wanita dalam Al-Qur’an, terj. Alwi A.M., (Jakarta: Pustaka Grafiti Press, 1986), hlm. 61.

[94]Manopause adalah masa jeda bagi wanita (untuk tidak beranak lagi). Lihat: Pius A Tartanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 436. sedang dalam bahasa Indonesia, Menopause mempunyai pengertian tidak haid lagi (karena lanjut usia; mati haid. Lihat: Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. X, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), hlm. 646.

[95] Muhyiddin Abdul Hamid, Wanita-wanita Shalihah dalam Lintas Sejarah Islam, terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1995), hlm. 26.

[96] Menurut Jabir Asy-Syal Hannah adalah putri Faqudz yang menikah dengan ‘Imran bin Matsan, salah seorang pendeta Bani Israel, Lihat: Jabir Asy-Syal, Profil Di Balik Cadar, Kisah Wanita dalam Al-Qur’an, terj. Alwi A.M., (Jakarta: Pustaka Grafiti Press, 1986), hlm. 60.

[97] Sebuah pendapat menyatakan bahwa pada suatu hari, Hannah duduk di sebuah pohon. Petang itu ia sedang menyulam dengan benang emasnya, ketika tiba-tiba ia melihat seekor burung berputar-putar di atas sarangnya. Pada paruh burung itu terdapat secuil makanan, yang kemudian di suapkan ke mulut anaknya (burung kecil) yang ada di dalam sarang. Melihat itu, kemudian Hannah berdoa kepada Allah SWT supaya ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Lihat: Jabir Asy-Syal, Ibid., hlm. 60.

[98] Ahmed Deedat, Al-Masih Dalam al-Qur’an, terj. Mul Renreng, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 16. Lihat juga dalam: Muhyiddin Abdul Hamid, Ibid., hlm. 27.

[99] Muhyiddin Abdul Hamid, Ibid., hlm. 28.

[100] Ahmed Deedat, Ibid., hlm. 15.

[101] Data ini diperoleh dari: Google.com, yang diakses pada Selasa, 27 Maret 2006, pkl. 13.45oleh: DHB Wicaksono, Lihat juga dalam: ‘Aisyah Abdurarahman Binti Syathi’, Ibunda Para Nabi, terj. ‘Abdul Qadir Mahdamy, Cet. IV., (Solo: Pustaka Mantiq, 1992), hlm. 62.

[102] Muhyiddin Abdul Hamid, Ibid., hlm. 31.

[103] Ibid., hlm. 32.

[104] Ibid., hlm. 33.

[105] Ibid., hlm. 34.

[106] Ibid., hlm. 36.

[107] Fahd ibn Abd al-‘Aziz al-Sa’ud, (Raja Kerajaan Saudi Arabia), Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an, 1971), hlm. 465.

[108] Ibid., hlm. 37.

[109] Ibid., hlm. 38.

[110] Fahd ibn Abd al-‘Aziz al-Sa’ud, Ibid., hlm. 465-466.

[111] Ibid., hlm. 40. Lihat juga dalam: ‘Aisyah Abdurarahman Binti Syathi’, Ibid., hlm. 67.

[112] Menurut Binti Syathi’ adalah desa Nashiriyah, Ibid.

[113] ‘Aisyah Abdurarahman Binti Syathi’, Ibid., hlm. 68.

[114] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 8, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 160-187.

[115] Ibid., hlm. 163-164.

[116] Ibid., hlm. 160.

[117] Ibid., hlm. 160.

[118] Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i, Nadhm al-Durar li al-Biqa’I wa Dirasah (tp, tth), sebagaimana dikutip oleh M. Quraish Shihab, dalam Ibid., hlm. 160.

[119] Ibid., hlm. 161.

[120] Ibid., hlm. 161.

[121] Ibid., hlm. 162.

[122] Ibid., hlm. 163.

[123] Ibid., hlm. 164.

[124] Ibid., hlm. 164.

[125] Ibid., hlm. 165.

[126] Ibid., hlm. 170.

[127] Ibid., hlm. 172.

[128] Ibid., hlm. 174.

[129] Ibid., hlm. 174.

[130] Ibid., hlm. 175.

[131] Ibid., hlm. 176.

[132] Ibid., hlm. 177.

[133] Ibid., hlm. 179.

[134] Ibid., hlm. 179.

[135] Ibid., hlm. 180.

[136] Ibid., hlm. 181.

[137] Ibid., hlm. 181.

[138] Ibid., hlm. 182.

[139] Al-Kitab (Jakarta: Lembaga al-Kitab Indonesia, 2001)  hlm. 69.

[140] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 184.

[141] Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i, Ibid., hlm. 185.

[142] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 185.

[143] Ibid., hlm. 185.

[144] Ibid., hlm. 186.

[145] Ibid., hlm. 186.

[146] Ibid., hlm. 186.

[147] Ibid., hlm. 187.

[148] Ibid., hlm. 187.

[149] Badawi, ad-Difa’an al-Qur’an Dhid al-Muntaqadihi, (Kairo: Dar at-Turats al-Arabiyah,ttp) hlm. 180.

[150] Badawi, Ibid., hlm. 181.

[151] Ibid.

[152] Ibid., hlm. 183

[153] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 180

[154] Ibid., hlm. 185.

[155] Ibid., hlm. 186.

[156] Ibid., hlm. 187.

[157] Ibid., hlm. 174.

[158] Ahmad Deedat, al-Masih Dalam al-Qur’an, (Jakarta: GIB. 1995) hlm. 80.

[159] Ibid., hlm. 178.

[160] Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996) hlm. 189.

[161] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 180

[162] Deedat, Ibid., hlm. 85

[163] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 185.

[164] Ibid., hlm. 186.

[165] Ibid., hlm. 187.

[166] Ibid., hlm. 180.

[167] Ibid., hlm. 181.

[168] Ibid., hlm. 175.

[169] Ibid., hlm. 175.

[170] Ibid., hlm. 181.

[171] Deedat, Ibid., hlm. 85.

[172] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 185.

[173] Ibid., hlm. 183.

[174] Ibid., hlm. 184.

[175] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. 2, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm.81-92.

[176] Ibid., hlm. 82.

[177] Ibid., hlm. 83.

[178] Ibid., hlm. 84-85.

[179] Ibid., hlm. 85.

[180] Al-Kitab, Lembaga al-Kitab Indonesia (Jakarta: LAI, 2001) hlm. 79.

[181] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 86.

[182] Abbas Mahmud al-Aqqad, Hayat al-Masih, (Kairo: Dar at-Turats al-Arabiyah, ttp) hlm. 89.

[183] Quraish Shihab, Ibid., hlm. 87.

[184] Ibid., hlm. 88.

[185] Ibid., hlm.89.

[186] Ibid., hlm. 90.

[187] Ibid., hlm. 90.

[188] Ibid., hlm. 91.

[189] Ibid., hlm. 92.

Tinggalkan komentar