ARTIKEL WAWASAN KEISLAMAN


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Sering dibaca, ataupun didengar dan juga disaksikan, yang tentu merujuk kepada media, baik cetak ataupun elektronik, bahwa seorang maling ayam disebuah perkampungan, dan seorang pencopet disebuah pasar tradisional digebuki massa sampai babak belur sebelum akhirnya diserahkan ke kantor polisi dan diputus hukuman penjara pengap 6 bulan. Kemudian, pada seri berita yang lain, seorang konglomerat yang menjarah uang rakyat dalam kasus illegalloging, ataupun kasus dalam BLBI misalnya, yang nilai jarahannya itu mencapai ratusan trilliun (?), divonis 4 tahun penjara ber-AC, atau bahkan sama sekali divonis bebas. Betapa keadilan di dunia ini sungguh sangat sulit didapat.

Dalam sisi kehidupan yang lain dapat pula penulis saksikan: bantuan langsung tunai (BLT) dibagi tidak tepat sasaran, kerabat-kerabat pamong bahkan pamong itu sendiri mendapat jatah, sedangkan sebagian warga miskin di dusun itu tidak mendapat bagian.

Memperhatikan apa yang diillustrasikan di atas, bahwa benarlah apa yang dikatakan oleh Muhammad Syahrur[1] “penerapan keadilan adalah sesuatu yang relatif, dan akan mengalami penyepurnaan sesuai dengan bukti-bukti yang ada.” Artinya, bahwa kita tidak bisa bertindak sebagaimana masyarakat yang menerapkan siksa rajam atas seorang pezina, kecuaili apabila bukti-bukti telah terkumpul yang mengharuskan adanya hukuman tersebut. Demikian pula kita tidak bisa menerapkan siksa pembunuhan atas seorang pembunuh, kecuali bukti-bukti materiilnya telah terkumpulkan.

Oleh karenanya, ketika dikatakan bahwa perundangan Tuhan (syari’at samawiyah) dan perundangan manusia (syariat insaniyah), tidak mungkin diterapkan tanpa adanya bukti. Dikatakan pula bahwa syariat ini pada praktiknya mengandung keadilan relatif, dan mengandung komprehensifitas untuk memperaktikkan kepada masyarakat manusia, dan tidak mengandung keadilan atas individu bagi setiap manusia. Sebab, syariat Tuhan yang diwahyukan dan hukum manusia membawa karakter sosial dan keadilan sosial yang universal. Karenanya, memperaktikkan keduanya membutuhkan bukti-bukti objektif. Artinya, butuh pada kritria-kriteria tambahan dan bukti-bukti awal yang membuktikan bahwa ini memang konkrit, bukan bersifat praduga. Peran syariat setelah itu adalah sebagai dasar hukum sesuai dengan signifikansi proporsionalnya.

Dengan demikian, timbangan apa yang bisa mempraktikkan keadilan secara mutlak bagi setiap insan, yang dapat memberikan haknya, atau keadilan itu terkurangi kadar penerapannya ketika bukti-buktinya lemah untuk menerapkan syariat? Tiada lain adalah keadilan mutlak Tuhan yang bekerja diluar syariat dan hukum, yang tidak mungkin bagi seorang manusia atau masyarakat untuk mengetahuinya. Di sini harus membedakan antara dua istilah penting (syari’at samawiyah dan syariat insaniyah) yang berkaitan dengan “keadilan Tuhan” yang mutlak. Keadilan merupakan “sifat Allah SWT.” dan satu nama baiknya (asmaul husna) dan bersifat azali. Sedangkan praktiknya bersifat relatif yang disandarkan pada kondisi (keadaan) yang bisa menyempurnakan keadilan ini secara mutlak. Keadilan tersebut terdapat pada kehendak Allah SWT. Artinya, bahwa selalu ada hubungan dengan kontek setiap individu hubungan dengan lingkungan dan yang mengetarinya. Tanpa adanya perbedaan tersebut, kita akan terjebak pada statemen bahwa “Allah SWT. sejak zaman azali telah menuliskan (menetapkan) segala sesuatu bagi manusia sehingga manusia tidak bisa lari dari apapun”. Berarti manusia tidak mempunyai kehendak sedikitpun : kadang putus asa dan kadang pula berpasrah diri secara mutlak.

Sedangkan bila menfokuskan untuk memahami “keadilan Tuhan” yang mutlak azali itu penerapannya disandarkan pada setiap manusia dalam kaitannya dengan situasi atau hal lainnya maka segala sesuatu itu berada pada standar-Nya. Agar keadilan dalam syariat itu bisa terealiasasi, maka syariat Tuhan haruslah menjadi pembatas (yang elastis) agar keadilan menjadi selentur mungkin dalam setiap situasi. Sebab, jika tidak demikian maka tidaklah mungkin merealisasikan “keadilan Tuhan” secara sempurna.

Dalam pada itu, agar insan muslim selalu dapat memahami bahwa keadilan Tuhan itu tidak sebatas berada di awang-awang (di luar jangkauan pikir kita) dan bahwa ia selalu dapat mempraktikkan sesuai dengan kondisi dan situasi dimana kita hidup, maka Allah SWT. dengan tegas memerintahkan pada kita bersikap adil, menghukum dengan adil dan berkata dengan adil.[2]

Perintah Allah SWT. kepada kaum muslimin tentang keadilan sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an. Surat An-nahl (16),ayat 90 :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya :  Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[3]

Kemudian, untuk landasan hukum agar dijalankan dengan seadil-adilnya, adalah termaktub dalam Al-quran surat An-nisa’ (4), ayat 58 sebagaimana berbunyi :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya :  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.[4]

Dalam masalah perdamaian agar dilaksanakan dengan adil, Allah SWT. memerintahkan sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surat Al-hujurat (49) ayat 9 yang berbunyi :

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya :  Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damikanlah antara keduanya. Jika dari salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.[5]

Demikian pula dalam hal bermuamalah, seperti masalah hutang piutang, mengakat, menimbang, berkata, adil pada diri sendiri, adil terhadap istri-istri yang berpoligami, dalam Al-Qur’an semuanya diatur; Al-baqarah: 282, Al-an’am : 152, Al-maidah: 8, An-nisa’: 135, dan An-nisa’: 129.

Sebatas mengacu pada beberapa ayat yang telah dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa agama Islam dengan begitu mendalam menempatkan masalah keadilan sebagai inti dari ajarannya yang telah bersifat rahmatan lil’alamin. Adil dan keadilan menjadi keinginan setiap hati yang bersih yang dirindukan oleh segenap jiwa yang sadar. Maklumlah, hanya dengan keadilan yang merata keamanan dan poerdamaian dalam masyarakat bisa berkembang, dimana pribadi yang lemah memperoleh perlindungan dan pembelaan.

Adil, sebagaimana dijelaskan dalam ensiklopedi al-Qur’an6 mempunyai makna yang sangat dalam. Kedalaman makna adil tersebut meliputi segenap bidang kehidupan dan pergaulan umat manusia sepanjang zaman. Keadilan dalam lapang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya, juga dalam memberikan dan meneriama hak dan kewajiban. Juga adil dalam menerima dan memberi, mengumpulkan dan membagi, mengukur dan menimbang, memberi nilai penghargaan dan sebagainya.

Adil bukan hanya dilaksanakan untuk keluarga dan sahabat, karib dan kerabat melainkan juga untuk kawan ataupun lawan, kaya dan miskin, orang berpangkat dan rakyat jelata, orang pandai ataupun bodoh, yang kuat ataupun lemah, bahkan terhadap diri individu sendiripun harus berbuat adil dan apabila ketidak adilan merajalela, yang kuat menindas yang lemah, yang pandai menyombongkan diri terhadap yang bodoh, yang berpangkat tidak menghiraukan rakyat jelata ataupun negara tidak menghiraukan rakyatnya, disitulah timbul pribadi dan masyarakat tertindas terjepit dan menjerit, masyarakat menjadi kacau tak menentu, maka itulah awal dari kebinasaan dan kehancuran.

Kondisi sebagaimana disinggung di atas rupanya telah menjangkiti golongan elit dari sebagian bangsa kita. Dapat ditebak, bagaimana kebijakan pemerintah yang sampai saat ini masih jauh pembelaannya terhadap rakyat jelata, hal tersebut diperparah lagi oleh kebocoran uang negara karena korupsi. Sepertinya keadilan semakin jauh dari diri bangsa ini. Jika demikian, adakah secercah harapan dalam diri kaum muslimin tentang adil dan keadilan, inilah semua hal yang menjadi latar belakang sehingga penulis menguak tentang adil dalam perspektif al-Qur’an dengan judul : KONSEP ADIL DALAM AL-QUR’AN (Kajian Tematik).

B. Rumusan Masalah

Latar belakang yang telah disinggung di atas merupakan awal dari masalah pokok yang akan dikaji yang tersusun berupa rumusan masalah.

Menurut Riyanto,7 rumusan masalah harus researchable, yaitu masalah tersebut harus dapat diselidiki. Masalah harus dirumuskan dengan jelas, karena dengan perumusan yang jelas, peneliti diharapkan dapat mengetahui variabel apa yang akan diukur, dan apa ada alat ukur yang sesuai untuk mencapai tujuan penelitian. Dengan rumusan yang jelas akan dapat dijadikan penuntun bagi langkah-langkah selanjutnya.

Sedangkan Arikunto8 berpendapat bahwa secara garis besar permasalahan harus diangkat dari tiga gejala, yaitu :

  1. Mengetahui status dan mendiskripsikan fenomena;
  2. Membandingkan dua fenomena atau lebih (problem komparasi);
  3. Mencari hubungan antara dua fenomena (problem korelasi).

Berangkat dari pemikiran yang dikemukakan oleh dua pakar penilitian di atas maka dapat diambil beberapa rumusan masalah. Adapun rumusan masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Apa pengertian adil dalam al-Qur’an?
  2. Bagaimana relasi adil dengan manusia dalam al-Qur’an?
  1. Bagaimana kedudukan adil dalam al-Qur’an?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada pendapat Arikunto9 bahwa apabila masalah penelitian dijabarkan dalam bentuk kalimat tanya, maka tujuan penelitian harus diungkapkan melalui kalimat pernyataan. Tujuan penelian merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan adanya sesuatu hal yang diperoleh setelah penelitian selesai.

Memperhatikan bentuk rumusan masalah seperti tersebut di atas, maka penulis mempunyai tujuan-tujuan dalam penulisan sebagaimana tertera di bawah ini :

  1. Ingin mengetahui secara mendalam pengertian adil dalam al-Qur’an.
  2. Ingin memperjelas relasi-relasi adil dengan manusia dalam al-Qur’an.
  1. Ingin menjelaskan kedudukan adil dalam al-Qur’an.

D. Kegunaan Penelitian

Membicarakan hasil penelitian menjadi penting setelah beberapa peneliti tidak dapat mengatakan sebenarnya hasil apa yang diharapkan dan sejauh mana sumbangannya terhadap ilmu pengetahuan. Untuk memperjelas hasil penelitian agar lebih terfokus, maka di bawah penulis rangkumkan beberapa kegunaan daripada penelitian ini, yaitu:

  1. Dapat menambah wawasan yang lebih rinci terhadap pengertian adil sebagaimana al-Qur’an jelaskan;
  2. Dapat membantu kalangan pemimpin, hakim, dan lainnya dalam menentukan sikap adil sesuai dengan perintah Allah SWT;
  1. Dapat menambah khazanah kepustakaan tentang studi secara tematik yang berkenaan dengan konsep adil yang ada di dalam al-Qur’an, sehingga dapat menambah wawasan mahasiswa jurusan tafsir hadits di STIKA.

E. Alasan Memilih Judul

Ada dua alasan yang mendorong penulis dalam memilih judul sebagaimana tertera di depan. Alasan tersebut antara lain :

  1. Alasan obyektif.
  1. Selama ini, sejauh penulis ketahui belum ada mahasiswa STIKA yang membahas konsep adil dalam al-Qur’an secara tematik.
  2. Pengertian adil cenderung mengalami pembiasan makna sehingga cenderung mengalami pergeseran makna sebagaimana dikehendaki oleh al-Qur’an.
  3. Penelitian ini sangat relevan dengan jurusan penulis.
    1. Penelitian ini sangat mudah dijangkau, baik dari segi waktu, materi, tenaga, pemikiran, buku refrensi dan lain-lain.
  1. Alasan subyektif.

F. Batasan Istilah

Batasan istilah dapat berfungsi untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami maksud yang terkandung dalam judul skripsi ini, konsep adil dalam al-Qur’an. Istilah-istilah teknis itu adalah sebagai berikut:

  1. Konsep, secara etimologi berarti ide umum; pengertian; pemikiran; rancangan; rencana dasar.10 Adapaun secara istilah, konsep berarti rumusan pengertian dari suatu kata yang diikutinya sehingga kata tersebut mempunyai maksud yang lebih jelas dan terfokus, inilah rumusan yang penulis ambil dalam pengertian ini.
  2. Adil, secara etimologi berasal dari bahasa Arab Al-Adl, mempunyai arti tidak berat sebelah; tidak memihak. Istilah lain dari Al-Adl adalah Al-Qist Al-Misl : sama bagian atau semisal.11 Secara terminologi, Al-Adl berarti “mempersamakan sesuatu dengan yang lain baik dari segi nilai  maupun dari segi ukuran. Sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain”12. Adil juga berarti “berpihak atau berpegang kepada kebenaran”. Keadilan lebih dititik beratkan pada pengertian “meletakkan sesuatu pada tempatnya” (wad’usysyai’ fi maqamihi)13. Ibnu Qatadah (ahli fiqih madzhab Hambali), mengatakan bahwa keadilan merupakan sesuatu yang tersembunyi. Motivasinya semata-mata karena takut kepada Allah SWT.14 Jika keadilan telah dicapai, maka itu merupakan dalil yang kuat dalam Islam selama belum ada dalil lain yang menentangnya.
  1. Al-Qur’an, merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir melalui Rohal Qudus, yaitu malaikat Jibril AS.15

G. Tinjauan Pustaka

Dalam membicarakan tentang adil dan keadilan, al-Qur’an menggunakan dua istilah pokok, yaitu “adl” dan “qisth”, yang menurut Ibnu Faris dalam kitabnya, Mu’jam Maqayis al-Lughat, sebagaimana dikutip pulungan dalam bukunya ”prinsip prinsip pemerintahan dalam piagam madinah” dimaknai dengan “istiwa’, artinya :”lurus, sama atau pertengahan”[6]. Makna yang senada juga dikemukakan dalam kamus Al-Munawwir, menurut KH. Warson Munawwir, dua kata di atas mempunyai arti ”seimbang ”.[7]

Memang seperti itulah subtansi keadilan yang disuarakan al-Qur’an. Adil dan keadilan merupakan ajaran pokok addinul Islam, dimana fungsi dan tujuannya adalah kesejahteraan kehidupan umat Islam. Atau bahkan bukan hanya dambaan umat Islam, tetapi juga umat-umat yang lain, mendambakan sikap adil dan penerapan keadilan dalam kehidupannya. Itu menandakan bahwa adil dan keadilan itu harus bersifat universal, yaitu untuk kehidupan umat manusia.

Ungkapan tersebut di atas juga disuarakan oleh Sayyid Qutb. Dia menyatakan bahwa keadilan itu harus menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki setiap orang. Menurutnya, keadilan harus juga bersifat inklusif, tanpa dari golongan atau umat tertentu, sekalipun misalnya yang menetapkan keadilan itu adalah golongan muslim kepada golongan non muslim.[8] Betapa indah dan sejuknya konsep adil yang al-Qur’an tawarkan kepada manusia dalam rangka solusi kehidupan yang sering terdhalimi. Kesempurnaan adil dan keadilan itu bukan hanya dikatakan oleh ulama’, akan tetapi disuarakan juga oleh tokoh ilmuwan Barat abad XX ini, yaitu Bertrand Russel, dia berkata: Islam adalah monoteisme sederhana, tidak dirumitkan oleh teologi Trinitas dan Inkarnasi. Nabi tidak pernah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Adalah tugas seorang yang beriman untuk menaklukkan dunia tetapi tidak menganiaya kaum Kristen, Yahudi, Zordaster.[9]

Kesangsian dalam hati sebagian orang akan keadilan dalam Islam akan dengan sendirinya terpupus. Karena betapa keadilan Islam dengan sempurna telah dipraktikkan dalam sistem negara Islam dari sejak Rasulullah sampai kepada kekhalifahan Turki Usmani berakhir 1924. Cuma saat ini, dimana negara Islam sudah tidak berhukum pada al-Qur’an lagi, maka keadilan seakan-akan ikut lenyap dari permukaan bumi.

H. Metode Pembahasan

Metode pembahasan yang penulis gunakan adalah pendekatan tematik deskriptif dengan bentuk penelitian library reseach. Adapun metode pembahasan yang dipakai adalah metode tematik atau maudlu’i, yaitu suatu metode tafsir yang berusaha untuk mencari jawaban dari ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan topik tertentu, serta pada beberapa buku lain yang berkenaan dengan pokok pembahasan tentang keadilan segai referensi untuk menguatkan atau menunjang pembahasan.

Kembali kepada pembahasan mengenai metode tematik, atau dalam literatur Arab kontemporer, disebut “minhajul maudu’iyah” (metode maudlu’i), penulis merujuk pada pendapat Quraish Shihab[10], bahwa ulama yang mempunyai ide pertama kali untuk membahas penafsiran al-Qur’an dengan metode maudlu’i adalah Al-Syathibi (w.1388 M), tapi hal itu hanya sebatas ide, dan yang merealisasikan dengan jelas baru pertama kali dilakukan oleh Mahmud Syaltut, seorang ulama Al-Azhar dan menjadi rektornya pada tahun 1960. Tafsir yang dikarangnya bernama “Tafsir al-Qur’an al-Karim”. Usaha Syaltut diteruskan oleh rekan-rekannya dari fakultas Ushuluddin, Al-Azhar, seperti Prof.Dr. Ahmad Sayyid al-Kumiy, Prof. Dr. Abbas Mahmud al-Aqqad, Prof. Dr. Ahmad Husaini Abu Farhah. Dan yang paling terkenal dari  sederetan ulama Al-Azhar di atas adalah Prof. Dr. Abdul Hayyi al-Farmawy.

Al-Farmawy mengarang sebuah kitab dengan judul “al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhu’i”, membahas cara-cara yang hendak dilalui oleh seorang peneliti, jika mau menulis yang berkaitan dengan metode maudhu’i.

Adapun langkah-langkah tersebut dapat penulis simpulkan sebagai berikut:

  1. Menetapkan problematika yang akan dijadikan topik.

Yaitu seorang peneliti terlebih dahulu mempelajari permasalahan sosial, atau fenomena-fenomena yang dirasakan membutuhkan jawaban al-Qur’an.

  1. Ayat-ayat yang korelasi dengan problematika harus dijadikan satu.

Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui petunjuk al-Qur’an berkaitan dengan problematika yang bakal dibahas.

  1. Meruntutkan ayat sesuai dengan masa turunnya ayat.

Yaitu seorang peneliti harus mengetahui sebab turunnya ayat, atau asbab al-Nuzul-nya ayat al-Qur’an. Kemudian dari ayat-ayat yang telah diketahui sebab-sebab turunnya tersebut harus di runtut dengan ayat-ayat lain yang isinya senada dengan ayat-ayat pertama. Begitu seterusnya.

  1. Pemahaman akan hubungan ayat-ayat demi ayat dalam suratnya masing-masing.

Yaitu adakah hubungan antar ayat-ayat satu dengan ayat-ayat dalam satu surat, atau malah dengan ayat-ayat demi ayat di dalam surat lain. Hal ini harus di hubungkan agar terjadi satu kesatuan integral.

  1. Penyusunan kerangka karangan

Yaitu menyusun pembahasan dalam kerangka yang apik dan menarik.

  1. Ayat-ayat yang jadi bahasan harus di sandingkan dengan hadis.

Yaitu melengkapi pembahasan dari beberapa ayat dengan hadis yang relevan dengan topik atau pokok bahasan.

  1. Kompromistik antara ayat-ayat umum, khusus, mutlak dan terikat.

Yaitu menganalisa ayat-ayat tertentu secara keseluruhan dengan menghimpunnya dalam kelompok yang sama. Kemudian mengkompromikan antara ‘am (umum), khash (Khusus), mutlak dan muqayyad, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu nada indah, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[11]

Adapun keistimewaan metode maudhu’i adalah sebagai berikut:

  1. Menghindari problem atau kelemahan metode lain yang di gambarkan dalam uaraian di atas.
  2. Menafsirkan ayat dengan ayat atau  dengan hadist nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-Qur’an.
  3. Kesimpulan yang di hasilkan mudah di pahami. Hal ini di sebabkan karena ia membawa pembaca kepada al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat di buktikan bahwa persoalan yang disentuh al-Qur’an bukan bersifat teoritis semata-mata dan atau tidak dapat di terapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi al-Qur’an sebagai kitab suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan al-Qur’an.
  4. Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangna dalam al-Qur’an. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat al-Qur’an sejalan dengan perkembangn ilmu pengetahuan.[12]

Guna lebih mempertajam metode yang penulis tempuh, di bawah ini akan ditampilakan table perbedaan antara metode maudhu’i dengan metode analisis (minhajul ta’wiliyyah),[13] sebagai berikut:

No Metode Maudhu’ie

(Minhajul Maudhu’iyah)

No Metode Analisis

(Minhajul Ta’wiliyah)

1.

2.

3.

Mufassir maudhu’i tidak terikat dengan susunan ayat dalam al-Qur’an, tetapi lebih terikat dengan urutan kronologi kejadian secara tematik.

Mufassir maudhu’i tidak membahas segala segi permasalahan yang di kandung oleh satu ayat, tetapi hanya yang berakaitan dengan pokok bahasan.

Mufassir maudhu’i menuntaskan persoalan yang menjadi bahasannya

1.

2.

3.

Mufassir ta’wiliyyah sangat memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mushhaf.

Mufassir ta’wiliyyah berusaha membahas segala sesuatu yang di temukannya dalam setiap ayat.

Mufassir ta’wiliyyah biasanya menafsirkan ayat demi ayat secara berdiri sendiri.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian ini penulis menggunakan sistematika supaya pembahasan dapat dipahami dengan mudah dan sistematis, maka pembasan dalam skripsi ini dibagi menjadi beberapa bab dengan sub-sub pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama, adalah bab pendahuluan, dengan pokok bahasan latar belakang permasalahan, selanjutnya diikuti oleh rumusan masalah, metode pembahasan, sistematika pembahasan dan yang terakhir kerangka pembahasan.

Bab kedua, pembahasan tentang termenologi al-Qur’an mengenai adil, yang membahas tentang pengertian adil yang ada pada al-Qur’an, serta kata-kata adil dalam al-Qur’an.

Bab ketiga, bab ini membahas tentang relasi adil dengan manusia dalam al-Qur’an. ada dua sub pokok bahasan pada bab ini, yaitu integrasi keadilan dalam al-Qur’an dan dimensi keadilan dalam al-Qur’an.

Bab keempat, membahas kedudukan adil dalam al-Qur’an, kedudukan orang yang bersikap adil dan implikasi orang yang tidak berbuat adil.

Bab kelima, adalah bab pungkasan yang berisi penutup bagian yang terdiri dari kesimpulan dan saran, kemudian disusul dengan daftar pustaka.

BAB II

TERMENOLOGI ADIL DALAM AL – QUR’AN

Jika penulis mengatakan bahwasanya sesuatu kata yang amat mudah kita ucapkan,tetapi amat sukar diwujudkan, mungkin kata itu cuma mengacu pada kata adil dan keadilan, adalah benar adanya. Betapa sering kita membaca, bahkan kata itu menjadi kata kata ”sakti “ dalam lembaran ketatanegaraan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena menjadi komponen pancasila sebagai haluan dan falsafahnya[14]. Tetapi kembali menurut hemat penulis, negara kita ini rasanya amat sulit mewujudkan kata “sakti” itu dalam kehidupan kita sehari- hari. Seakan yang miskin makin miskin, yang kaya makin kaya[15]. Jurang pemisah antara keduanya semakin lama semakin melebar saja. Lebih-lebih saat ini, mencari rasa keadilan sangat luar biasa sulit.

Sebenarnya, kembali menurut penulis, perbuatan adil atau yang mencerminkan keadilan tidak akan selangka sebagaimana penulis ilustrasikan di atas, jika para pemimpin  kita menyadari akan hak dan kewajibannya terhadap orang-orang yang menjadi tanggungannya, misalnya, jika ia kepala negara adil terhadap rakyatnya, jika ia ulama’ adil terhadap umatnya, jika ia seorang suami adil terhadap istri dan anak-anaknya, jika ia istri adil atas kehormatan di belakang suaminya, jika ia seorang anak bagaimana pengabdiannya terhadap kedua orang tuanya, dan walaupun ia secara individu, masih mempunyai hak dan kewajiban terhadap dirinya sendiri. Hal tersebut selaras dengan sabda Nabi Saw sebagaimana berikut ini :

…….كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ                 ……………

Artinya : Setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas apa yang di pimpinnya tersebut[16].

Kesadaran seorang pemimpin untuk berbuat adil dan keadilan akan muncul apabila mempunyai hati yang bersih dan jiwa yang sadar akan keaniayaan yang sedang berlangsung di sekitarnya. Hanya dengan keadilan yang merata yang dapat menghadirkan keamanan dan kedamaian dalam masyarakat, dimana individu  memperoleh perlindungan dan pembelaan. Bagi seorang pemimpin , adil dan keadilan syarat mutlak untuk diwujudkan agar ia memperoleh kedudukan sebagai pemimpin yang baik sebagaimana hal tersebut tercermin dalam Firman Allah SWT sebagai berikut:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[17]

Nyata sekali bagi penulis, bahwasanya agama Islam benar-benar mengatur, bahkan mengajarkan keadilan diatas agar dapat direalisasikan secara hakiki dalam kehidupan. Sumber utama ajaran Islam. Al-qur’an, sangat banyak menyoal keadilan ini. Salah satu ayat tentang keadilan yang kaitannya dengan pemimpin adalah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya :   Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat[18].

Dan amat banyak teks al-Qur’an yang senada , baik  yang berkaitan dengan hukum perdata, atau hukum pidana, baik yang berkaitan dengan individu, individu dengan kelompok, kelompok dengan kelompok, dan kelompok dengan satuan yang lebih luas lainnya.

  1. A. Definisi Adil Dalam Al –Qur’an.

Al- Qur’an dalam membicarakan tentang adil menggunakan dua kata berbeda, Yaitu “Adl” dan “Qist”. Secara literlik, menurut Munawwir, ke dua kata tersebut bermakna “seimbang”[19], sedangkan Ibnu Faris mengartikan adil dengan istiwa’ “lurus, sama atau pertengahan”[20]. Adapun pengarang kitab tafsir Al-Maraghi mengartikan adil dengan “ menyampaikan  hak kepada pemiliknya secara nyata”[21]. Sedangkan dalam kitab Al-mufradat fi Qharib al-qur’an, al-Raghib al-Asfahani mengartikan adil dengan “ memberi penghargaan yang sama”[22]. Ulama’ yang lain mengertikan adil dengan “ pertengahan dan persamaan”[23]. Hal itu senada dengan pendapat Muhammad Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar, ia mengartikan adil dengan “ pertengahan dan persamaan”[24].

Pengarang kitab Tafsir Fi dhilalil Qur’an, Sayid Qutb menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusian yang dimiliki oleh setiap orang, keadilan kata Qutb bersifat inklusif, tidak eksklusif untuk golongan tertentu, sekalipun misalnya yang menetapkan keadilan itu seorang muslim untuk orang non muslim.”[25] Adapun penafsir dalam bahasa Inggris, Yusuf Ali, sebagaimana dikutip oleh Nurcholish Madjid menerangkan bahwa al-Adl dalam al-Qur’an suatu istilah yang bersifat komprehensif yang mencakup semua kebajikan dan kemanusiaan.”[26]

Kata yang kedua, Qisth, menurut ibnu Faris berarti “ adil, bagian, timbangan , atau keadilan.”[27] Kata ini mengandung konsep keadilan yang berkaitan dengan hak-hak manusia secara seimbang.”[28]. Sayid Qutb mengartikan Qisth, dengan “seimbang”[29]. Adapun Yusuf Ali mengartikannya dengan “ persamaan dan jujur”[30]

Sangat menarik memperhatikan kedua kata di atas. Secara esensi, penggunaan kedua kata itu ternyata tidak ada perbedaan konseptual, sehingga, menurut Suyuthi Pulungan, hanya untuk pengayaan khazanah kata-kata al-Qur’an. Sebab dari segi arti kata, kedua kata itu mengandung maksud yang sama”[31]. Maka, dapatlah penulis simpulkan dari pendapat yang tertera di atas bahwa definisi adil dalam al-Qur’an mengacu kepada kedua kata, yaitu ‘adl dan qisth, yang sama mengandung arti keseimbangan antara hak dan kewajiban atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang di miliki oleh setiap orang yang bersifat inklusif.

  1. B. Kata-kata Adil dalam Al-Qur’an

Dalam Al-Qur’an , kata adil diwakili oleh dua kata yaitu ‘adl dan qisth dengan  4 sighat yaitu: fi’il mudhari’, masdar, isim fail dan fi’il amar, dengan rincian jumlahnya sebagai berikut: Fi’il mudhari’ 5, masdar 10, isim fa’il 2, fi’il amar 2. Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut ini:

‘Adl

Fi’il mudhari’ Masdar Fi’il amar
1. QS. Asy-syuura (42):     15

2. QS. An-nisa’ (4): 129

1. QS: An-nahl (16): 90

2. QS: An-nisa’ (4): 58

3. QS: Al-baqarah (2):

282-283

1. QS: Al-maidah (5): 8

2. QS: Al-an’am (6): 152

Qist

Fi’il mudhari’ Masdar Isim fa’il
1. QS: An-nisa’ (4): 3

2. QS: Al-baqarah(2):   282-283

3. QS: Al-mumtahanah (60): 8

1. QS: Al-maidah (5): 8

2. QS: Al-an’am (6): 152

3. QS: (An-nisa’ (4): 135

4. QS: Al-maidah (5): 42

5. QS: Hud (11): 85

6. QS: Al-rahman (55): 9

7. QS: Al-a’araf (7): 29

1. QS: Al-maidah (5): 42

2.QS:Al-mumtahanah (60): 8

Kata adil yang di wakili dengan kata ‘adl terdapat dalam surat-surat berikut ini:

Dalam surat al -Maidah (5) ayat 8

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi oerang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[32]

an – Nahl (16) ayat 90

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[33]

Al – An’am (6) ayat 152

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata , maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.[34]

Asy -Syuura (42) ayat 15

فَلِذَلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آَمَنْتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِير

Artinya : Maka karena itu serulah (mereka) kepada agama itu dan tetaplah sebagaimana di peintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan katakanlah : Aku berima kepada semua kitab yang di turunkan Allah dan aku di perintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran  antara kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita).[35]

Al -Nisa’(4) ayat 58

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya :  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[36]

Al – Nisa’(4) ayat 3

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[37]

AL – Baqoroh (2) ayat 282 – 283.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya :  Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah yang orang berhutang itu mengimlakkan ( apa yang akan di tulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki di antaramu. Jika tidak dua orang lelaki, mak, boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari sakai yang kamu  ridha’i, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatnya. Janganlah sakai-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membaayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli;dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sedsungguhnay hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.[38]

An-Nisa’(4) ayat 129

وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Artinya : Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung(kepada yang kamu cintai), sehingg kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[39]

Sedangkan  kata adil yang diwakili dengan kata qisth terdapat dalam surat-surat berikut ini:

Dalam surat : An -Nisa’ (4) ayat 135

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya: Wahai orang-orang yanag beriman jadilah kamu orang yanag benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah birpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu maslahatnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[40]

Al – Maidah (5) ayat 42

سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ وَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang yahudi) dating kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepedamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.[41]

Hud (11) ayat 85

وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

ArtinyaDan syu’aib berkata: “Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumu dengan membuat kerusakan.[42]

Al – Rahman (55) ayat 9

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

Artinya: Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.[43]

Al – A’raf (7) ayat 29

قُلْ أَمَرَ رَبِّي بِالْقِسْطِ وَأَقِيمُوا وُجُوهَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ كَمَا بَدَأَكُمْ تَعُودُونَ

Artinya:  Katakanlah: Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan”. Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu) di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta’atanmu kepada-Nya. Sebagaimana dia telah    menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya)”.[44]

Al – Mutahanah (60) ayat 8.

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.[45]

  1. C. Beberapa Pendapat Ilmuwan Tentang  Keadilan.

Untuk menambah ketajaman kajian, penulis dengan sengaja melacak pendapat-pendapat para tafsir atau ilmuwan tentang adil atau keadilan. Pendapat tersebut dapat penulis tampilkan beberapa berikut ini.

1.  Plato

Sebagai seorang tafsir besar dari masa terdahulu yang pengaruhnya terasa mempengaruhi alam pikiran manusia sejak dari zaman kuno, pertengahan, sampai pada zaman kita saat ini, Plato mempunyai pandangan menyeluruh atas kehidupan ini, tak terkecuali mengenai adil dan keadilannya. Hal ini diungkapkan juga oleh ilmuwan abad XX. Bertrand Russel dalam bukunya History Of Western Philosophy. Menurutnya, karya paling agung dari Plato, Republik adalah bertujuan mendifinisikan ulang tentang keadilan”.[46] .

Menurut Plato keadilan yang disebut sebagai sasaran dari seluruh pembahasan, di simpulkan dalam buku IV. Dikatakan bahwa keadilan terwujud pada kenyataan dimana setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing dan tidak suka bikin onar. Suatu negeri di katakan adil jika para pedagang, pembantu, dan pemimpin, melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa mencampuri urusan kelompok lain.

Istilah  “keadilan” seperti yang masih di pakai dalam bidang hukum, lebih dekat pengertiannya dengan konsepsi Plato dari pada istilah serupa yang dipakai dalam bidang politik. Di bawah teori demokrasi, kita cenderung menyamakan keadilan dengan kesetaraan. Sementara, bagi Plato, pengertian keadilan tak mengandung implikasi seperti itu. Keadilan dalam pengertiannya hampir sama dengan ”Hukum” seperti misalkan waktu berbicara tentang “sidang pengadilan,” terutama berkaitan dengan hak kepemilikan, yang tak ada sangkut pautnya dengan kesetaraan. Menurut Plato , keadilan terwujud pada tindakan membayar hutang.[47]

Memperhatikan pendapat Plato di atas, di bandingkan ajaran Islam mengenai keadilan, jauh lebih menyeluruh pandangan Al-qur’an yang menyangkut berbagai segi dari kehidupan ini. Pendapat Plato tentang keadilan hanya sebatas pada kepemilikan barang.

  1. 2. Aristoteles

Filosuf agung yang satu ini adalah murid kesayangan Plato. Dia lahir dikota Stagyra, negara bagian Thrace, kurang lebih tahun 384 SM. Ayahnya mewarisi kedudukan sebagai dokter pribadi raja Makedunia, Phillip, ayahanda dari Aleksander  Agung. Sedangkan  Aleksander itu sendiri adalah murid Aristoteles.[48]

Tentang adil dan masalah keadilan, Aristoteles berpendapat sebagai berikut:

“ Keadilan bukanlah kesetaraan, namun pembagian hak, yang tidak selalu berarti kesetaraan. Keadilan seorang majikan atau ayah, berbeda dengan keadilan warga negara, sebab anak-anak atau budak termasuk hak milik, dan tak ada ketidakadilan terhadap harta milik seseorang itu sendiri.” [49]

“ Tak ada satu hal yang sama di antara kedua pihak itu, budak adalah makhluk hidup yang menjadi alat. Maka, sebagai budak, orang lain tak dapat bersahabat dengannya. Namun sebagai manusia, orang lain itu dapat saja bersahabat dengan budak. Agaknya, ada keadilan tertentu antara siapapun, dan siapapun lainnya yang sama-sama berada dalam satu sistem hukum; dengan demikian bisa pula berlangsung persahabatan antara budak dengan orang bukan budak, sejauh ia adalah  manusia.” [50]

“ Seorang ayah dapat menolak anaknya jika si anak jahat. Namun anak tidak bisa menolak ayahnya, sebab anak berhutang pada ayahnya lebih dari apa yang dapat ia balas, terutama dalam hal kelahiran ia kedunia ini. Dalam hubungan yang tak setara hal itu dapat di benarkan, sebab setiap orang harus mencintai sesuai dengan kelebihannya, sehingga yang lebih rendah harus mencintai yang lebih tinggi lebih dari pada yang lebih tinggi mencintai yang lebih rendah. Para istri, anak-anak, rakyat harus memberikan cintanya pada suami, orang tua, raja, lebih dari pada pihak-pihak yang terakhir itu mencintai pihak-pihak pertama. Dalam sebuah perkawinan yang baik, laki-lakilah yang memimpin sesuai dengan kelebihannya.[51] Serta dalam hal-hal dimana laki-lakilah yang selayaknya memimpin, tetapi dalam hal yang lain, yang lebih cocok bagi perempuan , maka laki-laki menyerahkan wewenang padanya.[52]

Memperhatikan kutipan di atas, Aristoteles membahas tentang masalah adil, di banding pandangan Plato, menurut penulis telah cukup komprehensif dia menekankan bahwa keadilan itu dibedakan dengan kesetaraan. Menurutnya, keadilan harus diwujudkan sesuai dengan posisi orang-orang di mana ia hendak diwujudkan.

  1. 3. al-Ghazali

Sebagai representatif suara umat Islam sebelah timur, wajar sekali bila al-Ghazali menjadi tokoh penting abad XI M. Gelar “ Hujatul Islam” di sematkan kepadanya karena beliau menjadi hujah atau pembela dari serangan kaum zindik dan ahli filsafat. Dialah yang dengan gemilang berhasil membersihkan bid’ah-bid’ah filsafat dan zindik dari ajaran Islam . Kitab karangannya amat banyak, dua yang paling terkenal pada dunia yang berlainan, pertama” Tahaffatu al- Falasifah” terkenal di Barat dan di kalangan filosuf.[53] Kemudian, “Ihya’ Ulumuddin” terkenal di kalangan ortodok Islam dan di pesantren-pesantren salaf.[54]

Mengenai keadilan, al-Ghazali memandang dari sudut Islam secara murni, yaitu berpatokan kepada ayat-ayat Al-qur’an dan hadits Nabi Muhammad Saw. Dia berpendapat bahwa keadilan itu adalah hak setiap  orang untuk menerimanya, dan kewajiban setiap orang pula untuk melaksanakannya. Keadilan harus di terapkan dalam setiap situasi dan kondisi, apa dan bagaimana situasi dan kondisi itu terjadi, adil harus selalu mewarnainya. Akan tetapi, bertindak bagaimanapun adilnya, dalam pandangan manusia yang satu, tidak akan dinilai adil pula dalam pandangan manusia yang lain, sebab keadilan manusia di dunia ini adalah relatif. Hanya,  keadilan yang hakiki ada pada keadilan Allah SWT.[55]

  1. 4. Nurcholish Madjid

Nurcholish Madjid dapat penulis katakan, satu-satunya intelektual muslim Indonesia saat ini yang multi disiplin. Wawasannya yang luas,[56]. Penguasaan terhadap bahasa Arab dan bahasa Inggris yang mendalam membuat dia,  sepakat atau tidak, di sebut sebagai representasi intelektual  muslim Indonesia, oleh karena itu, dalam memandang suatu masalah, kajiannya sangat komprehensif dan integritasnya tidak dapat dibantah. Inilah alasan penulis, mengapa Cak Nur di masukkan dalam  pembahasan ini, kerena menurut penulis, pendapatnya tentang keadilan adalah mempunyai nuansa dan bobot keilmiahan cukup mendalam.

Menurut Cak Nur, (demikianlah dia biasa di sapa) keterkaitan iman dengan prinsip keadilan nampak dengan jelas dengan pernyataan kitab suci, bagi manusia perbuatan adil adalah tindakan persaksian untuk Tuhan. Karena itu menegakkan keadilan adalah perbuatan mendekati  takwa, atau menurut bahasa Cak Nur,  keinsyafan ketuhanan dalam diri manusia.[57]

Keadilan adalah suatu istilah yang serba meliputi, yang bisa mencakup semua  jenis kebaikan  dalam pemikiran kefilsafatan. Tetapi karena akarnya jauh kedalam rasa ketakwaan, keadilan berdasarkan iman menuntut suatu yang lebih dan manusiawi dari pada konsep keadilan formal dalam sistem hukum Barat. Rasa keadilan berdasarkan iman harus menyatakan keluar dari hati nurani yang paling dalam. Keadilan dalam bentuk tersebut terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk sesama manusia secara murni dan tulus, karena kita bertindak di hadapan Allah SWT. untuk menjadi saksi bagi-Nya.

Pengertian adil dalam al-qur’an  menurutnya (Nurcholish Madjid), juga terkait erat dengan seimbang dan menengahi dalam semangat toleransi, yang dinyatakan dengan istilah Wasath. Muhammad Assat menerangkan sebagaimana di kutip oleh Cak Nur, pengertian wasath adalah sebagai sikap berkeseimbangan antara dua extrimitas serta realistis dalam memahami tabi’at dan kemungkinan manusia, dengan menolak baik kemewahan atau asketisme. Sikap seimbang itu memancar langsung dari semangat tauhid atau keinsafan akan hadirnya Tuhan dalam hidup, yang berarti antara lain kesadaran akan kesatuan tujuan dan makna hidup. Dengan sikap keseimbangan  itu kesaksian bisa di berikan dengan adil, karena di lakukan dengan pikiran tenang dan bebas  dari sikap berlebihan. Seorang saksi tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan pengetahuan yang tepat mengenai suatu persoalan, mampu menawarkan keadilan.

Menurut Cak Nur, makna keadilan juga berkaitan dengan sifat amanah, khususnya amanat berkenaan dengan kekuasaan memerintah. Kekuasaan pemerintahan adalah sesuatu yang tak terhindarkan demi ketertiban kehidupan manusia itu sendiri. Sendi setiap bentuk kekuasaan adalah kepatuhan dari orang banyak kepada pemerintah. Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun, kekuasaan yang patut dan harus di taati hanyalah yang berasal dari orang banyak dan mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanat Tuhan. Maka yang pertama-tama harus dipenuhi bagi penguasa untuk mendapat keabsahan dari rakyat ialah menjalankan amanat itu dengan cara menegakkan keadilan.[58]

D.  Totalitas Adil Dalam Al-qur’an

Sebagaimana penulis bahas dalam poin B, “ kata-kata adil dalam al-Qur’an”, yang kemudian  penulis cantumkan berbagai ayat al-Qur’an yang membicarakan adil dan keadilan dalam sub pokok bahasan tersebut, nyata sekali bahwa al-Qur’an dalam memandang masalah keadilan dibahasnya secara menyeluruh. al-Qur’an memerintahkan kepada manusia muslim agar berbuat adil dalam segala demensinya. Keadilan secara totalitas inilah yang memang menjadi haluan al-Qur’an.

Totalitas adil dalam al-Qur’an  dapat penulis pahami secara mendalam bila kemudian penulis membahasnya dengan lebih detail dari sebagian ayat di atas. Untuk lebih jelasnya, penulis akan mengelompokkannya sebagai berikut:

1.  Totalitas Adil  dalam Kaitannya dengan Ketatanegaraan

Ayat yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya :   Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah maha mendengar lagi maha melihat.[59]

Penunaian amanah merupakan bagian dari usaha menegakkan keadilan, dan memerlukan sifat adil dan jujur dari pemegang amanah. Keterkaitan antara keadilan dan amanah tersebut sangat kuat. Keadilan berkepentingan dengan tegaknya hak-hak orang lain. Dan amanah pun berkaitan dengan penemuhan hak orang lain dari yang memegang amanah baik memegang kekuasaan maupun tidak. Tetapi fokus ayat di atas adalah menerapkan hukum secara adil, dimana masalah ini tentu sangat berkaitan dengan kekuasaan kualitas pemerintahan.[60]

Di samping ayat di atas, ayat berikut ini juga ada kaitan yang sangat erat karena menyangkut masalah hukum juga:

وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ

Artinya:  Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah ( perkara itu) di antara mereka denagn adil.[61]

Menurut  Suyuthi,[62] ayat di atas lebih menekankan kepada penyelesaian perkara, karena ayat ini turun di kaitkan dengan kaum Yahudi yang datang kepada Nabi meminta putusan beliau mengenai urusan mereka, Nabi diperintahkan Allah agar berlaku adil pada mereka.

2.  Totalitas adil Dalam Kaitan Perekonomian Dan Perdagangan.

Ayat-ayat yang berkaitan dengan hal di atas adalah:

وَلَا تَقْرَبُوا مَالَ الْيَتِيمِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ وَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seeorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.[63]

Kemudian , ayat berikut:

وَيَا قَوْمِ أَوْفُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ بِالْقِسْطِ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ

Artinya: Dan Syuaib berkata: “Hai kaumku, cukupkankanlah takaran dan  timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan.[64]

Di lanjutkan pada ayat di bawah ini:

وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ

Artinya: Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu  mengurangi neraca itu.[65]

Menurut Suyuthi,[66] bidang aktifitas hidup manusia antara lain yang di tuntut oleh ayat-ayat  di atas dari setiap orang untuk berlaku adil adalah bidang timbangan atau takaran, yaitu menyempurnakan dengan adil. Penimbang atau penakar harus menakar secara jujur. Demikian dalam masalah perekonomian lainnya. Seperti jual-beli, hutang-piutang, sewa- menyewa dan kontrak perjanjian kerja, harus di tulis secara jelas dan adil agar hak-hak masing-masing terlindungi. Sebagaimana ayat di bawah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Artinya:   Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang di tentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya  sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan apa yang akan di tulis itu, dan hendaklah ia bertawa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaanya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridha’iو, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka di panggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak mnimbulkan keraguannmu, tulislah mu’amalahmu itu, kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, jika kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan yang demikian, maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasihan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah maha mengetahui segala sesuatu.[67]

3.  Totalitas Adil Dalam Hubungan Sosial

Ayat yang berkaitan dengan pembahasan ini adalah:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا

Artinya : Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)    perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.[68]

Ayat di atas adalah mengatur dalam unit sosial paling kecil , yaitu perlakuan adil dalam hubungan suami terhadap istri. Demi tegaknya keadilan dalam rumah tangga, maka seorang laki-laki lebih baik beristri satu aja agar terhindar dari berbuat aniaya. Perlakuan adil terhadap istri adalah berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, papan, sikap, ucapan, perbuatan, seks, dan lain-lain secara seimbang.[69]

Dalam konteks hubungan sosial yang lebih luas, orang-orang mukmin  di perintah agar mendamaikan dua golongan mukmin yang berkonflik atau berperang dengan adil. Cara yang ditempuh adalah memerangi golongan  yang berbuat aniaya sehingga ia kembali mentaati Allah dan Rasullullah. Jika sudah kembali pada perintah Allah, kedua golongan itu harus di damaikan dengan adil, dan juru damai harus bertindak adil. Ayat Al-qur’an yang berkaitan dengan hal tersebut adalah:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya:   Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berfbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnhya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.[70]

Bahkan hubungan sosial dengan non-muslim yang tidak memerangi kaum muslimin di perintahkan berbuat baik dan memberi apa yang menjadi  haknya, sebagaimana tercermin dalam ayat di bawah ini:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

Artinya : Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.[71]

Adapun orang mukmin yang berlaku adil dinilai oleh Allah sebagai refleksi dari sikap takwanya, sebagaimana tertera dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[72]

4.  Totalitas Adil Terhadap Diri Sendiri.

Islam mengatur masalah keadilan, bukan hanya sebatas pada tatanan kepemerintahan, dalam masalah perekonomian, atau pun pada hubungan sosial sebagaimana telah penulis singgung. Akan tetapi Islam pun mengatur masalah ini pada hal yang menyangkut hak dan kewajiban terhadap diri kita sendiri secara individu. Ayat Al-Qur’an yang membahas masalah tersebut adalah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya: Wahai orang-orang yanag beriman jadilah kamu orang yanag benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah birpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu maslahatnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[73]

BAB III

RELASI ADIL DENGAN MANUSIA DALAM KITAB SUCI AL-QUR’AN

Kapanpun dan dimanapun manusia berada sangat membutuhkan rasa keadilan dalam kehidupannya, bahkan walaupun pada bangsa primitif yang jauh dari hingar-bingar dunia moderen seperti misalkan suku-suku pedalaman di Papua, suku-suku pedalaman di Kalimantan, ataupun suku-suku pedalaman di Banten yang di sebut suku Badui,[74] semuanya sangat membutuhkan pada sikap dan perlakuan adil, atau melaksanakan keadilan itu sendiri. Yang menarik, relasi adil dengan manusia ternyata bersifat universal dan tidak pernah berubah menurut perubahan waktu. Hal ini sebagaimana di ungkap oleh tokoh Ikhwanul Muslimin, Mesir, sahabat dari sang maestro kebangkitan dunia Islam, Hasan al-Banna (W. 1949 M) sekaligus pengarang kitab Tafsir terkenal bagi para aktifis Islam di dunia, kemudian di penjara oleh diktator Gamal Abdun Nasser dan syahid di tiang gantungan oleh diktator tersebut, dialah Asy-Syahid Sayid Qutb, (W. 1963). Dalam  tafsirnya, beliau berkata : Keadilan adalah menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang di miliki oleh setiap orang. Ia meliputi segenap orang dan tidak bersifat eksklusif. [75]

Di samping hal tersebut, yaitu bahwa adil dan keadilan itu memang telah di maklumi bersama berkait erat dengan eksistensi manusia dan kemanusiaannya, apalagi memang keadilan ialah refleksi dari nilai kemanusiaan manusia, maka dalam bahasan selanjunya penulis mau mengkaji lebih dalam hal tersebut dalam sub pokok bahasan sebagaimana tertera di bawah ini.

A. Relasi keadilan dalam al-Qur’an

Sebagaimana penulis katakan pada bahasan terdahulu keadilan itu adalah sifat dan refleksi jiwa dan cinta pada kedamaian dan kestabilam serta konprehensif dalam memandang kehidupan dan unutuk semua itu hanya dapat di realisasikan oleh jiwa yang  tenang di mana jiwa ini akan membawa pemiliknya pada sikap hidup seimbang dan penuh ketenangan sebagaimana terlukis dalam firman Allah SWT.

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28) فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (29) وَادْخُلِي جَنَّتِي

Atinya:  Hai jiwa yang tenang, kembalilah kpada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi di ridhai-Nya, maka masukkkanlah ke dalam jamaah hamba-hamba-Ku, dan masukkanlah ke dalam surga-Ku.[76]

Nafsu muthmainnah adalah nafsu yang baik, dia bagian akhlaq mahmudah yang di situlah tempat jiwa bersih berada, di situ pulalah tempat bersarangnya rasa keadilan yang di damba oleh setiap insan. Sungguh indah al-Qur’an melukiskannya sebagaimana tertera di atas.

Jika demikian halnya maka semakin jelaslah sekarang bahwa dalam al-Qur’an soal adil dan keadilan sungguh amat integral atau menyatu. al-Qur’an dan masalah keadilan ibarat dua sisi mata uang di mana tidak mungkin bisa diberaikan. Apalagi sikap dan praktik keadilan merupakan suatu ajaran yang wajib di laksanakan oleh seluruh umat Islam, maka semakin nampak bahwa integrasi keadilan dalam al-Qur’an nyata jelas adanya, hal tersebut sesuai dengan Firman-Nya.

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kapadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[77]

Integrasi atau integritas keadilan di dalam Alqur’an mempunyai porsi atau tempat cukup banyak, hal ini terbukti sebagaimana penulis catatkan dalam sub bahasan terdahulu. Indikasi ini mencerminkan bahwa dalam rangka tugas umat Islam yang harus memberikan rasa kedamaian, atau dalam istilah yang cukup populer di sebut dengan rohmatan lil’alamin, maka umat Islam tidak mungkin dapat merealisasikan hal tersebut tanpa mengedepankan rasa keadilannya.

1.  Keadilan sebagai anugerah dari Allah SWT.

Anugerah terbesar yang diberikan Allah SWT bagi umat Islam adalah keadilan, di katakan demikian sebab keadilan mempunyai kaitan yang amat erat dengan iman seorang muslim. Keterkaitan iman dengan prinsip keadilan, menurut Nurkholish madjid,[78] nampak dengan jelas dalam berbagai pernyataan dalam al-Qur’an, bahwa Allah maha adil, dan bagi insan perbuatan adil adalah tindakan persaksian untuk Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat An-nisa’ (4) : 135

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya: Wahai orang-orang yanag beriman jadilah kamu orang yanag benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah birpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu maslahatnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[79]

Karena itu menegakkan keadilan adalah perbutan yang paling mendekat takwa atau keinsafan insani tentang ketuhanan dalam diri manusia sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-maidah : 8

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi oerang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[80]

Menurut Abdullah Yusuf Ali [81] pengertian adil adalah suatu istilah yang serba meliputi, yang bisa mencakup semua jenis kebaikan dalam  pemikiran kefalsafahan. Tetapi karena akarnya yang jauh dalam rasa ketuhanan, keadilan berdasarkan iman menuntut sesuatu yang lebih selaras dan manusiawi dari pada konsep keadilan formal dalam sistem hukum Romawi misalanya, bahkan lebih jauh menembus dinding-dinding pengertian keadilan yang rumit dalam spekulasi filsafat Yunani. Rasa keadilan berdasarkan iman harus menyatakan keluar dari hati nurani yang paling dalam. Keadilan imani ini terkait erat dengan ihsan, yaitu keinginan berbuat baik untuk sesama manusia secara murni dan tulus, karena umat Islam bertindak di hadapan Allah SWT untuk menjadi saksi baginya yang di hadapannya itu segala kenyataan, perbuatan dan detak hati nurani tidak akan pernah dapat dirahasiakan.[82]

Keadilan di katakan juga sebagai anugerah terbesar dari Allah SWT karena ia terkait dengan sikap seimbang dan menengahi dengan sifat muderat dan toleran yang dinyatakan dengan istialah “Wasath” Muhammad Assad menerangkan pengertian ‘Wasath” sebagai sikap berkeseimbangan antara dua ekstrimitas serta realistis dalam memahami tabiat manusia. Sikap seimbang ini memancar langsung dari semangat tauhid yang berarti kesadaran akan kesatuan tujuan dan makna hidup seluruh alam ciptaa-Nya.[83]

Sikap “Wasath penting di terapkan guna melandasi tugas orang-orang beriman untuk menjadi saksi atas sekalian umat manusia. Dengan sikap keseimbangan itu kesaksian dapat di berikan dengan adil, karena di lakukan dengan pikiran tenang dan  bebas dari sikap berlebihan. Seorang saksi tidak bisa mementingkan diri sendiri, melainkan dengan pengetahuan yang tepat mengenai suatu persoalan dan mampu menawarkan rasa keadilan.

Mendalamnya makna keadilan berdasarkan iman itu dapat dilihat pula dari keitannya dengan “Amanah” kepada umat manusia untuk sesamanya. Khususnya amanah berkenaan dengan kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan adalah suatu yang tak terhindarkan demi ketertiban tatanan kehidupan manusia itu sendiri. Sendi  tiap bentuk kekuasaan adalah kepatuhan dari orang banyak kepada para penguasa. Kekuasaan dan ketaatan adalah dua segi dari satu kenyataan. Namun kekuasaan yang patut dan harus di taati hanyalah yang berasal dari orang banyak dan mencerminkan rasa keadilan karena menjalankan amanah Allah SWT. Maka yang pertama-tama harus dipenuhi bagi suatu kekuasaan untuk mendapat keabsahan atau legitimasi adalah menjalankan amanah itu dengan cara menegakkan keadilan sebagai saksi bagi kehadiran Tuhannya.[84]

Dari uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa anugerah Allah SWT. berupa keadilan itu kepada umat Islam dapat dilihat dari bentuk keimanan kita, rasa ihsan kita, dan sifat amanah kita yang ketiganya amat erat berkaitan.

2.  Hakikat adil yang perlu ditumbuhkembangkan.

Seperti halnya sebuah pohon pada tumbuhan, atau pada tubuh dari  sosok manusia yang semuanya berintisari, demikian pula dengan masalah adil dan keadilannya, ia mempunyai hakikat yang melekat padanya. Bagaimanakah hakikat adil tersebut dalam hubungannya dengan manusia dan kemanusiaannya? Uraian di bawah ini adalah jawabannya.

  1. Hakikat adil dalam hubungan persaudaraan.

Sebelum penulis membahas lebih intens hakikat adil dalam hubungan persaudaraan, alangkah baiknya sebelum itu penulis menyinggung tentang persaudaraan dalam Islam, dan bagaimana Islam menempatkan persaudaraan dalam kerangka hubungan manusia secara universal; yang tak ada sekat di antara mereka, tak ada batas warna kulit dan lain-lain. Itu semua adalah persaudaraan hakiki dalam ajaran al-Qur’an.

Lukisan al-Qur’an di bawah ini sungguh mempertegas paparan yang penulis  kemukakan di atas. Allah SWT. berfirman :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya :  Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah opranng yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.[85]

Lukisan persaudaraan itu di ungkapkan dengan kata “lita’arrofu” , artinya supaya kamu saling kenal. Itulah hakikat persaudaraan dalam Islam bahwa walaupun kita berbeda suku, bangsa, bahasa, warna kulit dan sebagainya, tiada perbedaan sama sekali. Malah yang menjadi ukuran perbedaan antara sesama manusia hanya terletak pada ketakwaannya kepada Allah.

Keterkaitan Adil dengan rasa persaudaraan umat manusia sangat erat. Persemaian keadilan yang hakiki adalah terletak dalam persaudaraan yang ikhlas karena menurut Madjid persaudaraan di atas adalah pintu menuju keterbukaan.[86] Sikap terbuka dalam persaudaraan sesama manusia, dalam  bentuk kesediaan yang tulus (ikhlas) untuk menghargai pikiran dan pendapat dari luar kita, non-muslim. Lebih dari itu, sikap terbuka kepada sesama manusia, dalam kedalaman jiwa saling menghargai namun tidak lepas dari sikap kritis adalah indikasi adanya petunjuk Allah SWT, karena sikap itu sejalan dengan rasa ketuhanan atau takwa yang menuju pada hakikat keadilan sesama manusia.[87]

Dari paparan di atas, sudah menjadi jelas bahwa adil dapat berjalan dalam kerangka dan lingkup persaudaraan dengan sesama manusia yang di dasari rasa ikhlas atau tulus, itulah hakikat adil dalam hubungan persaudaraan.

  1. Hakikat adil dalam hubungan kekeluargaan.

Sebelum penulis membahas lebih lanjud bagaiman hakikat adil dalam hubungan kekeluargaan ini menurut al-Qur’an, alangkah lebih baik jika terlebih dahulu penulis menyinggung secara umum apa yang di maksud dengan kekeluargaan dalam konteksnya dengan agama Islam.

Menurut KBBI ( kamus besar bahasa Indonesia ), keluarga adalah satuan kekerabatan yang sangat mendasar dalam masyarakat yang terdiri dari ibu dan bapak dengan anak-anaknya.[88] Dengan redaksi berbeda, akan tetapi mempunyai maksud yang sama atau senada dengan  pernyataan KBBI, Arifin mengartikan “keluarga” sebagai persekutuan hidup terkecil dari masyarakat negara yang luas.[89] Menurut Madjid, keluarga itu di bagi menjadi dua bentuk, yaitu: pertama keluarga besar dan yang kedua di sebut keluarga kecil.[90] Keluarga besar bukan hanya terdiri dari bapak, ibu, dan anak, tetapi semua orang yang berada dalam tanggungan seorang pemimpin rumah tangga, seperti misalnya nenek atau kakek sampai ke atas, keponakan atau anak angkat, dan lain-lain.

Mengingat keluarga merupakan persekutuan hidup terkecil maka al-Qur’an mempunyai perhatian khusus dalam masalah ini. Firman Allah SWT. di bawah ini merupakan contoh bagaimana perhatian al-Qur’an terhadapnya:

وانذر عشيرتك الاقربين

Artinya: Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.[91]

Dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:

ياايهاالذ ين امنواقواانفسكم واهليكم ناراوقودهاالناس والحجارة عليها ملئكة غلاظ شداد لايعصون الله ما امرهم ويفعلون ما يؤ مرون

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang di perintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang di perintahkan.[92]

Dalam masalah hukum privat atau hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan, nampak keadilan hakiki dicerminkan oleh al-Qur’an dengan terang. Contoh dalam hal ini adalah apa yang di sampaikan oleh Mahmud Shaltut, mantan syaikul Akbar al-Azhar, Kairo, dalam buku kumpulan yang di himpun oleh Kenneth W. Morgan, yang berjudul Islam the Straight Path. Shaltut berkata :

“ Hukum Islam memperkenankan  seorang wanita meminta pengadilan agama untuk menyelidiki persoalannya, apabila si suami tidak dapat menyebabkan kerukunan, atau menimbulkan penderitaan yang tak beralasan, atau apabila ia berpendapat bahwa suaminya itu cacat,baik jasmani atau jiwanya, sehingga suaminya tidak dapat melindungi kesuciannya. Pengadilan  dengan seadil-adilnya berwenang menceraikan suami istri tersebut, apabila pihak wanita memang dapat membuktiakan dan di benarkan gugatannya dan bila suaminya tidak mau menceraikannya”.

“ Justru karena Islam mempertahankan kesamaan antara suami dan istri dalam hidup perkawinan, maka Islam menegaskan adanya kesamaan suami-istri dalam menentukan berakhirnya perkawinannya. Betapapun juga Islam tidak membenarkan seorang pria memperoleh keuntungan yang tidak wajar dari kelemahan pihak wanita, mengurangi hak-hak istrinya atau menyalahgunakan hak-hak yang di dapat pihak wanita. Oleh karena itu Islam tidak menuntut dari seorang wanita lebih dari pada kewajibannya memelihara kesuciannya serta memelihara harta suaminya dan rumah tangganya.”[93]

Allah SWT. memerintahkan orang-orang mukmin agar benar-benar menjadi penegak keadilan sekalipun terhadap diri sendiri, ibu bapak dan Kaum kerabat, sebagaimana di firmankan oleh Allah SWT. :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Artinya: Wahai orang-orang yanag beriman jadilah kamu orang yanag benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah birpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu maslahatnya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka se maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.[94]

Berkatapun harus berlaku adil, sekalipun perkataan itu berhubungan dengan kepentingan keluarga, sebagaimana firman Allah SWT. :

وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَبِعَهْدِ اللَّهِ أَوْفُوا ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya : Dan apabila kamu berkata , maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat(mu). Dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu di perintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.[95]

  1. Hakikat adil dalam hubungan dengan pemerintah.

Yang di maksud pemerintahan di sini adalah mengacu kepada ketatanegaraan yaitu kepemimpinan dalam suatu Negara, atau berkenaan dengan hal memerintah pada seluruh Negara.[96]

Islam dengan  tegas menolak pemerintahan dengan  sistem sekuler, Islam adalah agama yang meliputi dunia dan akhirat, keseimbangan hidup dapat tercapai bila penguasaan pada keduanya adalah seimbang atau sepadan.

Islam mengatur masalah negara karena memang negara adalah bagian dari kehidupan dunia. Di samping itu, dukungan fakta dari sejarah tak terbantahkan bahwa Rasulullah SAW pada periode Madinah telah mendirikan sistem pemerintahan Islam yang muncul dari negara Madinah.[97] Pendapat dari D.B. Macdonald, sebagaimana juga dikutip oleh Dhiya’al-Din al-Rais dalam bukunya “Teori Politik Islam” adalah bukti dari pernyataan tersebut, “di sini Madinah telah terbentuk negara Islam pertama dan telah meletakkan dasar-dasar politik bagi perundangan Islam”.[98] Pendapat tersebut juga didukung oleh Thomas W. Arnold, ia berkata.”Dalam waktu bersamaan Nabi adalah sebagai pemimpin agama dan sekaligus sebagai kepala negara”.[99] Betapa jelas sekarang bahwa Islam memang telah mengatur dengan tegas sistem pemerintahan yang berdasarkan pada al-Qur’an dan hadits Nabi SAW. Sekarang penulis mau melacak lebih jauh sistem pemerintahan tersebut, apakah hakikat keadilan ada di dalamnya?

Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan keadilan dalam masalah pemerintahan adalah :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.[100]

Dalam kaitan dengan upaya menegakkan keadilan, Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa menetapkan keadilan bisa melalui kekuasaan umum, peradilan dan tahkim dalam kasus-kasus tertentu. Artinya, siapa saja yang di beri wewenang atau kekuasaan untuk memimpin orang lain, kepemimpinannya harus di fungsikan untuk menegakkan keadilan dan harus berlaku adil, dua unsur yang tak dapat dipisahkan dalam upaya menegakkan  keadilan.[101]

  1. Hakikat adil dalam hubungan dengan non muslim.

Gambaran yang amat elok yang ada di dalam al-Qur’an tentang hubungan dengan non muslim adalah yang tertera dalam surat al-Kafirun dari ayat 1-6, yaitu :

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Artinya: Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku berlindung kepada Tuhan (yang memelihara dan menguasai) manusia.Aku tidak kan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak akan pernah (pula) menjadi penyembahTuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukmulah agamaku.[102]

Adapun hakikat keadilan dalam hubungan dengan non muslim adalah pernyataan ayat al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 256 berikut lafadnya :

لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah. Maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.[103]

Kemudian hakikat keadilan tersebut tecermin juga dalam ayat berikut.

وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ

Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?[104]

Pendapat di atas di dukung pula dalam ayat berikut :

وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا

Artinya: Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. Sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan di beri minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.[105]

Terbukti pula, meskipun para Rosul Allah SWT sangat menghendaki seluruh umatnya beriman kepada Allah SWT. namun sebagian besar manusia tetap tidak beriman, sebagaimana Firman Allah SWT. Berikut :

وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ

Artinya : Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.[106]

Ayat-ayat sebagaimana penulis sebutkan di atas merupakan bukti yang sangat kuat yang tidak membenarkan siapapun memaksa orang lain untuk menganut agama Islam. Setiap orang di beri hak kebebasan untuk menganut agama yang dikehendakinya. Artinya Islam telah menyumbangkan toleransi dan kebebasan beragama dan Nabi SAW telah mempraktekkannya sejak 14 abad silam.[107]

Kemudian di abad modern, prinsip kebebasan beragama menjadi salah satu dasar yang diundangkan oleh berbagai negara dalam konstitusinya. Prinsip ini juga tercantum dalam declaration of human rights (1940) pasal 18 dan covenant on sivil and political rights (1966) pasal 18 yang di keluarkan oleh united nation organization (UNO).[108] Dalam hubungan ini, Muhammad Husen Haekal menyatakan bahwa prinsip kebebasan beragama yang diundangkan dalam piagam Madinah telah membuka babakan baru dalam kehidupan berpolitik dan peradaban dunia saat itu.[109]

Betapa indah hidup di bawah naungan Islam. Ternyata, Islam dan hanya Islam yang mula-mula mangajarkan prinsip toleransi dan kebebasan beragama. Bukankah itu semua merupakan keagungan Islam dalam masalah keadilan hakiki dalam berhubungan dengan non muslim?!

B. Dimensi Keadilan Dalam al-Qur’an

Perintah mengakkan keadilan di nyatakan secara jelas dalam al-Qur’an yang berasal dari kata al-adl maupun dari kata qisth dalam bentuk kata kerja perintah.[110] Kejelasan perintah di atas berindikasi bahwa masalah keadilan berkedudukan secara substansi sebagai ajaran al-Qur’an secara esensial demi keberlangsungan kehidupan manusia secara damai dan sejahtera, serta adil dan makmur lahir batin.

Oleh karena itu maka wajar bila Nurcholish Madjid[111] mensandingkan perihal keadilan ini dengan keimanan dan ketakwaan orang muslim kepada Allah SWT,  sebagimana penulis kutip dalam pembahasan terdahulu.[112] Karena antara iman dan adil memang tidak dapat di pisahkan. Orang di katakan beriman dan bertakwa apabila ia dapat menerapkan perilaku keadilan dalam kehidupannya, sebagaimana firman Allah SWT. Di bawah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi oerang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[113]

Maka, berdasarkan ayat di atas dapat penulis simpulkan bahwa rasa keadilan dalam al-Qur’an mempunyai dimensi yang amat dalam dan amat luas serta berkedudukan teramat vital dalam ajaran Islam.

  1. Al-Qur’an Sebagai Sumber Prinsip Keadilan.

Kitab suci umat Islam ini merupakan mukjizat terbesar Rasulullah Muhammad SAW, yang tetap bertahan keasliannya sebagaimana halnya pada 14 abad yang lampau. Ia tidak pernah mangalami panambahan atau pengurangan walau pada hal-hal terkecil sekalipun. Inilah bukti bahwa Allah-lah yang akan memeliharanya sampai nanti pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Artinya: Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan           sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.[114]

Karena sebagai suatu mukjizat, al-Qur’an mempunyai penalaran dan argumentasinya amat memuaskan semua orang yang mempunyai opini dan tingkat kecerdasannya berbeda-beda serta membuat mereka puas dan memberikan kepadanya sumber kegembiraan dan kebanggaan karena memiliki Tuhan yang memberikan karunia dengan corak di ruang lingkup yang berbeda-beda pula, tidak ada batasan bagi tingkat keutamaan manusia. Inilah suatu kehidupan abadi dalam lingkup kehadiraan Allah SWT yang selalu mencari kesempurnaan dari-Nya.

Pemikiran tersebut telah menjadi landasan seluruh susunan alam semesta ini dimana manusia hanya merupakan bagian terkecil dari Allah SWT. Namun manusia tidak akan dibiarkan sendiri tenggelam atau terserap kedalam kebesaran ruang alam semesta atau di biarkan hilang lenyap dalam jalan sempit dari kesalahan dan nafsu dosa, melainkan ia akan di beri bimbingan sepanjang hidupnya oleh utusan Allah SWT.[115]

Karena sebagai mukjizat pula, al-Qur’an mempunyai ruang lingkup ajaran yang bersifat universal. Ia tidak akan lekang digrogoti zaman atau kadaluarsa karena putaran waktu. Keotentikan dan keorisinilan yang bersifat konprehensif seperti itulah yang telah menempatkan al-Qur’an sebagai sumber prinsip keadilan, yang didambakan oleh orang-orang yang terdzalimi, baik terdzalimi secara fisik seperti di siksa fisiknya, atau terdzalimi secara psikis atau kejiwaan, seperti pemasungan berpendapat, atau mengkritik, ketidakleluasaan menuntut ilmu atau mengekpresikan ilmunya, pengekangan terhadap aktualisasi penerapan syariah Islam, dan lain-lain.

Al-Qur’an sebagai sumber prinsip-prinsip keadilan adalah sebuah kenyataan bahwa di dalam kitab ini terdapat ayat-ayat yang secara tegas dan lugas berisi perintah pada umat Islam, baik secara individu atau secara kelompok untuk selalu menunaikan keadilan tersebut secara praktis, sebagaimana telah penulis petakan dalam pembahasan awal tentang ayat-ayat yang berisi perintah berbuat adil.[116]

Al-Qur’an sebagai sumber pokok tentang keadilan, karena sebagaimana penulis kutip dari “Membumikan al-Qur’an”-nya Quraisy Shihab[117], dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.[118]

Salah satu hal yang di tekankan demi mewujudkan keadilan dan pemerataan adalah :

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya: Dan apa saja harta rampasan (fai-i) yang di berikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kudapun dan (tidak pula) seekor untapun, tetapi Allah memberikan kekuasaan kepada Rasul-Nya terhadap siapa yang di kehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.[119]

Sedemikian pentingnya persoalan keadilan, sehingga merupakan satu dari tiga kata terbanyak yang di ulang-ulang penggunaannya dalam al-Qur’an. Kata pertama adalah “ Allah “ dan kata ke dua adala “Ilmu” Kemudian di susul kata “Adil” atau “Qisth”.

Dengan demikian, dapat penulis simpulkan bahwa al-Qur’an sebagai sumber prinsip keadilan telah di ketahui dengan jelas mengandung perintah atau anjuran dalam berbagai ayatnya secara konsisten untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip itu secara realita, agar keseimbangan dan pemerataan hidup dapat terwujud.

  1. Keadilan Merupakan Jalan Menuju Tuhan.

Allah SWT telah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi oerang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[120]

Firman Allah SWT di atas sesungguhnya merupakan jalan bagi kaum muslimin untuk taat kepada-Nya. Jalan menuju tuhan dapat di lakukan dengan cara mempraktekkan atau menjalankan keadilan, karena praktek keadilan ini merupakan sarana pendekatan diri kepada keteakwaan “: I’diluu Huwa Aqrobu littaqwa[121]. Demikian bahasa al-Qur’an dalam menyinggung keadilan sebagai sarana menuju Tuhan.

BAB IV

KEDUDUKAN ADIL DALAM AL-QUR’AN

Dalam perspektif kemanusiaan, adil dan keadilan mempunyai tempat yang sangat istimewa. Penempatan yang sedemikian mulia itu, disebabkan adil dan keadilan sedemikian rupa, amat memuliakan jati diri kemanusiaan, seperti harkat, martabat, derajat dan jiwa sucinya serta hak azazinya dan kehormatan dalam interaksi sesama insan.

Demikian pula, adil dan keadilan mempunyai kedudukan yang amat tinggi di dalam kitab al-Qur’an. Tingginya kedudukan adil dan keadilan tersebut karena al-Qur’an merupakan sumber-sumber prinsip keadilan yang dapat dikembangkan dalam bentuk nyata pada kehidupan manusia itu sendiri. Disamping itu, tingginya kedudukan adil dalam perspektif al-Qur’an, karena keadilan merupakan wahana menuju takwa dan ia merupakan anugerah Allah SWT. terbesar bagi kehidupan manusia.

Untuk menguraikan lebih jauh akan kedudukan adil dalam al-qu’an, di bawah ini penulis uiraikan dalam bagian-bagian tersendiri.

a.Keutamaan Adil dalam Al-Qur’an

Firman Allah SWT. yang tersebar dalam pembahasan bab II sampai bab III lalu, ditambah berbagai hadis Nabi SAW. Yang penulis kutib dari berbagai buku rujukan yang tertera di dalam kedua bab di atas, merupakan indikasi keutamaan dan keistimewaan adil yang tentu harus diaplikasikan oleh umat Islam dalam kehidupan keseharrian kita.

Pernah dalam suatu masa, yaitu pada zaman Rasulullah SAW, beliau membuat dokumen penting dalam interaksinya dengan masyarakat Madinah dan dengan komunitas Yahudi di Madinah. Dokumen itu disebut piagam Madinah. Salah satu pasal dalam piagam tersebut mengkhususkan diri membahas prinsip-prinsip keadilan. Prinsip-prinsip keadilan dalam piagam Madinah, ternyata sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan yang diturunkan Allah SWT.dalam berbagai ayat al-Qur’an. Dengan demikian, ternyata sikap adil dan keadilan sangat dijunjung tinggi  oleh Rasulullah SAW.

Dalam al-Qur’an, perintah menegakkan keadilan melalui berbagai bentuk, yaitu melalui perkataan, melalui tindakan, melalui sikap, hati dan pikiran. Dalam al-Qur’an, dalam rangka menegakkan keadilan, Allah SWT membuat perangkat pendukungnya, yaitu penegak keadilan (badan peradilan, hakim dan hukumnya, serta hukumannya); Kode etik menegakkan keadilan, obyek keadilan, nilai yang termaktub dalam keadilan dan tujuan ditegakkannya keadilan.[122]

Keutamaan keadilan al-Qur’an mengandung makna bahwa menegakkan keadilan adalah kewajiban syariat bagi orang-orang mukmin berdasarkan iman kepada Allah SWT, sebagai tindakan persaksian bagi-Nya (al-nisa’/4:135 dan al-maidah/5:8). Perintah wajib di tunjukkan pada dua hal, yaitu perintah menetapkan hukum atau menyelesaikan suatu masalah dengan adil, dua perintah berlaku adil  bagi orang yang menetapkan hukum dan menyelesaikan suatu masalah. Perintah berlaku adil itu di tunjukkan kepada perorangan (Al-maidah/5:42), perintah kepada Nabi SAW. (Al-a’rof/7:29, Asy-Syuura/42:15), perintah kepada orang-orang mukmin (al-nisa’/4:135 dan al-maidah/5:8), atau perintah kepada kelompok atau jamaah.

Dalam kaitan dengan upaya menegakkan keadilan, Syekh M.Rasyid Ridha menjelaskan bahwa, menetapkan keadilan bisa melalui kekuasaan umum, peradilan dan tahkim dalam kaus-kasus tertentu.[123] Artinya, siapa saja yang diberi wewenang atau kekuasaan untuk memimpin orang lain, kepemimpinannya harus difungsikan untuk menegakkan keadilan dan harus berlaku adil, dua unsur yang tak dapat di pisahkan dalam upaya menegakkan keadilan. Dengan demikian penegak keadilan bukan monopoli pihak tertentu, melainkan suatu kewajiban dari Tuhan kepada seluruh manusia, lebih-lebih kepada pemegang kekuasaan atau penguasa.

Para penegak dan pecinta keadilan harus menempatkan diri pada posisi lurus, seimbang, dan jujur baik perkataan dan tindakan maupun sikap, hati, pikirannya serta melihat orang-orang[124] yang menuntut keadilan dalam posisi persamaan dengan berpegang teguh pada kode etik menegakkan keadilan.

Dengan berpegang teguh pada kode etik tersebut, Allah memerintahkan sebagaimana tertera dalam surat al-nisa’:58. Perintah ini berkaitan dengan klausa sebelumnya, yaitu perintah menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Penunaian amanah tersebut merupakan bagian dari usaha menegakkan keadilan, dan memerlukan sifat yang adil dan jujur dari pemegang amanah. Keterkaitan antara keadilan dan amanah sangat kuat. Keadilan berkepentingan dengan tegaknya hak-hak setiap orang, sedangkan amanah berkaitan dengan pemenuhan hak oprang lain dari yang memegang amanah, baik pemegang kekuasaan maupun tidak.[125]

  1. Kedudukan Orang Yang Berlaku Adil.

Berperilaku adil dan menerapkan keadilan bagi sseorang pemimpin, akan menyebabkan ketentraman dan ketenangan bagi orang-orang yang di pimpinnya. Juga, akan menyebabkan kelanggengan bagi kedudukan seorang pemimpin.[126]

Kedudukan orang-orang yang berprilaku adil berada di tempat yang bermartabat sangat tinggi. Ketinggian martabat tersebut memang selayaknya diberikan kepada para pengembannya , karena mengingat kesulitan atau kesukaran dalam merealisasikan  prilaku adil bagi seorang pemimpin atas orang-orang yang di pimpinnya.

Dalam  lapangan kehidupan sosial dan politik, orang-orang mukmin diperintahkan agar mendamaikan dua golongan mukmin yang berkonflik atau berperang dengan adil. Cara yang ditempuh adalah dengan memerangi golongan yang berbuat aniaya, sehingga ia kembali mentaati perintah Allah SWT. Jika hendak kembali kepada perintah Allah SWT kedua golongan itu harus di damaikan dengan adil, dan sang juru damai harus bertindak adil, tanpa reserve dan memulihkan hak-hak masing-masing secara seimbang, karena orang-orang mukmin itu bersaudara dan mendamaikan mereka yang berkonflik adalah kewajiban syariat,[127] sebagaimana firman Allah SWT.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu     damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat[128].

Orang mukmin juga diperintah berbuat baik dan memberi apa yang menjadi hak dan kewajiban terhadap golongan non-muslim yang tidak memerangi dan mengusir mereka karena alasan agama, karena Allah SWT menyukai orang-orang yang berlaku adil.[129] Bahkan orang-orang mukmin yang berlaku adil di nilai sebagai cerminan sikap takwanya, sebagaimana ayat di bawah ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآَنُ قَوْمٍ عَلَى أَلَّا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Artinya: Hai orang- orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-sekali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena berlaku adil itu lebih dekat kapada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[130]

  1. Mencari Keadilan dan Mengamalkannya

Banyak peristiwa di dunia yang memiriskan hati, karena peristiwa-peristiwa tersebut mengorbankan penerapan rasa keadilan. Ambillah contoh peristiwa itu yang ternyata, yang jadi korban adalah umat Islam:

  1. Pendudukan bangsa Yahudi atas umat Islam di Palastina.

Sejak ziones Yahudi mendirikan negara yang bernama Israel, di atas tanah milik umat Islam Palastina tahun 1948, umat  Islam Palastina menjadi bangsa terusir dari tanah kelahiran sah mereka. Pemerkosaan hak, kedhaliman kaum Yahudi, seperti pembunuhan terhadap para wanita, anak-anak, orang tua adalah pemandangan yang biasa kita baca atau saksikan dalam setiap berita televisi.

Rasa keadilan tentu masih jauh untuk dirasakan oleh umat Islam Palastina di atas. Mencari rasa adil dan kemudian merasakannya adalah sesuatu yang mahal bagi mereka. Mungkin, rasa keadilan baru mereka peroleh setelah kaum Yahudi dapat di usir dari tanah kelahiran mereka dan umat Islam Palastina kemudian dipimpin oleh orang-orang palastina sendiri yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

  1. Kaum Muslimin Moro di Mindanao, Pilipina selatan.

Umat Islam Mindanao  sejak tidak punya pemimpin yang tangguh, dan kemudian kepemimpinan tersebut pindah ke Manila dan di pegang oleh orang-orang Katolik, semakin tertindas dan terusir dari tanah kelahirannya. Sampai kemudian umat Islam berjuang untuk mengembalikan kewibawaan dan hak-hak yang pernah di rampas oleh kaum Katolik di bawah pimpinan Nur Miswari. Baru setelah itu kaum muslimin sedikit tenang, karena Manila memberikan pemimpin di Mindanao dengan diambil dari kaum muslimin yang lahir di sana.

  1. Kaum Muslimin Phattani di Thailand Selatan.

Tiga propinsi di kawasan Thailand selatan yang disebut Phattani adalah kawasan yang berbeda dengan Thailand pada umumnya. Dikawasan ini berdiam kaum muslimin yang beretnis Melayu dan berbahasa Melayu pula. Secara suku bangsa dan agama, mereka lebih dekat dengan kaum muslimin di Malaysia. Dan sebenarnya, menurut catatan sejarah, kawasan Phattani itu merupakan bagian integral dari kesultanan perlak yang direbut kerajaan Budha Siam pada abad XIX M, setelah terjadi perjanjian tidak saling serang antara Inggris dan raja Muangthai (siam) kala itu.

Secara sistematis, identitas kemelayuan kaum muslimin di Phattani dicoba di hilangkan dengan menghapus bahasa Melayu diganti dengan bahasa Thai. Nama Melayu diganti dengan nama-nama yang diambil dari bahasa Thai.

  1. Kaum muslimin di Kasmir yang dikuasai India

Sama saja dengan kondisi bangsa Palastina, kawasan yang ada di lembah pegunungan Himalaya ini terlibat dalam perang panjang antara kaum muslimin Kasmir melawan agresor Hindu India. Setiap saat selalu terjadi kedhaliman terhadap mereka. Rasa keadilan terlalu jauh dari mereka.

Dari empat fakta yang penulis ungkap di atas, hanyalah sekedar contoh  bahwa antara keadilan dengan keimanan merupakan dua hal yang sangat berhubungan. Orang yang beriman dengan sebenarnya maka dengan sendirinya dapat menerapkan perilaku adil ditengah kaumnya. Orang yang adil, dengan sendirinya pula telah mendekatkan diri mereka kepada ketakwaan, karena mereka sangat takut kepada Allah SWT akibat pancaran dari rasa keimanan mereka, jika mereka berlaku dhalim.

Berdasarkan keempat contoh di atas pula, di sini penulis dapat menarik kesimpulan bahwa rasa keadilan atau perilaku adil dapat di terapkan atau di peroleh jika sang pemimpin atau yang mengembannya adalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT dengan sebenarnya beriman, karena iman adalah jalan menuju keadilan.

  1. Kerugian dunia akibat hilangnya keadilan

Akibat terbesar apabila rasa keadilan telah hilang dari orang-orang yang memimpin adalah lenyapnya keseimbangan hidup. Dari hal ini, kemudian muncullah kedhaliman, kemunafikan, pelanggaran HAM, kebobrokan akhlak dan mental juang menjadi lemah, penindasan, kesewenang-wenangan, penjarahan dan menjamurnya korupsi dan jual beli jabatan, hilangnya wibawa, timbulnya diktatorisme dalam kekuasaan, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Apaabila keadilan tidak muncul lagi dalam waktu yang lama, maka dunia ini dengan sendirinya akan mengalami kerugian yang teramat besar.

  1. Munculnya kedhaliman.

Hilangnya keadilan dari muka bumi ini akan menimbulkan kedhaliman. Pemasangan pribadi yang tidak sejalan dengan pendapat penguasa yang dhalim akan menjadi pemandangan yang biasa. Sebagai contoh: Terjadinya perang, Genosida, atau pembersihan etnis, karena praktik kedhaliman ini.

  1. Merajalelanya kemunafikan.

Bila keadilan sirna, kemunafikan adalah gantinya. Baik didepan orang lain, atau bila ia adalah pemimpin, baik berbasa-basi terhadap bawahannya, berbasah bibir bergincu ria, kedermawanan ditampakkan di depan rakyat banyak, seakan akan ia benar-benar pengayom rakyat jelata. Tapi kemudian dibalik meja, uang rakyat ditilap triliunan rupiah. Korupsi yang meraja di negeri ini adalah suburnya kemunafikan itu sendiri. Keberpuraan telah menyebabkan koruptor hingga menjadi gurita yang tangan dan kakinya sulit diputus.

  1. Pelanggaran Haka Azazi Manusia.

Penerapan keadilan pada hakikatnya pemenuhan hak dan kewajiban sesuai dengan proporsi masing-masing perlindungan pada yang lemah, miskin dan kaum papa lainnya adalah tujuan keadilan di dunia ini. Bila semua itu telah dilanggar, maka terjadilah pelanggaran atas individu-individu yang lemah di atas.

  1. Kebobrokan akhlak dan mental juang menjadi lemah.

Keagungan akhlak dan daya juang yang hebat adalah mentalitas yang diajarkan Rasulullah SAW. Keberhasilan tersebut karena dia bertindak secara adil pada para sahabat dan keluargannya. Contoh yang demikian sekarang menjadi barang yang langka, sehinnga

kemudian rasa keadilan juga ikut menjadi langka.

  1. Dan lain-lain.

BAB V

PENUTUP

  1. A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari bab II, III dan IV, serta didukung oleh penelitian penulis secara langsung, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

  1. Pengertian adil dalam al-Qur’an mengacu kepada kedua kata yaitu “Adl” dan “Qist” yang sama-sama mengandung arti keseimbangan antara hak dan kewajiban atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang di miliki oleh setiap orang yang bersifat inklusif.
  2. Relasi adil dan keadilan dengan manusia dalam al-Qur’an al-Karim tereflesikan dari suatu pernyataan, yaitu bahwa hal tersebut (adil dan keadilan), merupakan ajaran yang sangat urgen dan substansial, yang terkandung di dalamnya, di mana ia merupakan nilai dari fitrah insani, yang harus dijunjung tinggi dan di aplikasikan oleh setiap manusia, yang menginginkan hidup penuh kedamaian, aman, makmur, tentram, dan sejahtera di muka bumi ini.
  3. Kedudukan adil dalam al-Qur’an berada di tempat yang sejajar dengan ketakwaan.
  1. B. Saran
  2. Jika kita mengaku sebagai pemimpin, baik secara sempit atau secara luas, tidak ada alasan untuk tidak berbuat adil, baik pada diri sendiri ataupun pada orang lain.
  3. Jika kita mengaku sebagai orang beriman dan dan bertakwa kepada Allah SWT. Tidak ada alasan pula untuk tidak berperilaku adil, karena keimanan dan ketakwaan identik dengan keadilan.
  4. Kampus kita semoga terus dipenuhi oleh orang-orang yang mengedepankan keadilan dalam berfikir dan bertindak.

DARTAR PUSTAKA

Al-Qur,an dan terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta 2003.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Departemen Pendidikan Nasional RI, Jakarta: Balai Pustaka, 1999.

Al-Asfahani, Al-Muhammmad, Al-Raghib, Al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, Mesir: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1961.

Ahmad, Zainal Abidin, Piagam Nabi Muhammad SAW Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama di Dunia, Jakarta: Bulan Bintang,1973.

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al- Alihim, Jilid I, Singapura: al-Haramain, tt.

Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, Surabaya: Pustaka Progresif, 2006.

Ibn khaldun, Abd Rahman, Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdusssalam, Ittijaahaat al-Tafsir Fi al-‘Asri al-Rahin, Beirut: Dar al-Bayariq, 1982.

Al-Maraghi, ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Jilid IV dan V, Beirut: Dar al-Fikr,1974.

Al-Farmawiy, Abdul Hayyi, al-Bidayah Fi al-Tafsir al-Maudhui’iy, Kairo: al-Hadharah al-Arabiyah, 1977.

Qutb, Sayyid, Fi Zhilal al-Qur’an, Jilid V, XXX, Beirut: Dar ihya’ al-Turast al-Arabi, 1967.

Ridha, Muhmmad Rasyid, Tafsir al-Manar, Jilid II,V, Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960.

Al-Thabari, Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan ‘an Ta’wil Ayat al-Qur’an, Jilid III, Beirut: Dar al-Fikr, 1987.

Al-Baidhawi, Nashiruddin Abu Khair Abdullah bin Umar, Anwar al-Tanzil Wa Asrar al- Ta’wil, Jilid I, Mesir: Musthafa al-Halabi, 1958.

Al-Rais, Muhammad Dhiya’ad-Din, an-Nazhariyatu as-Siyasatul Islamiyah, Kairo: Darul ulum, tt. Edisi Indonesia: Teori Politik Islam, Jakarta: GIP, 1421 H-2001 M.

­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­________, Al-Islam Wa al-Khalifah Fi al-‘Ashr al-Hadist (Naqad al-Kitab “al-Islam Wa al-Ushul al-Hukmi”, Ali abdul Raziq), Kairo: Maktabah Dar al-Turats, 1392 H-1972 M.­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­ Edisi Indonesia: Islam dan Khilafah Kritik Terhadap Buku Khilafah dan Pemerintahan Dalam Islam,’Ali ‘Abdul Raziq, Bandung: Pustaka ITB, 1982.

Gottschalk, Louis, Understanding History, A Primary of Historical Method, New York: Alfred and Knoph, 1956.

Arnold, Thomas W., The Caliphate, London: Routledge and Kegan Paul ltd,  1965.

Assad, Muhammad, The Message of the Qur’an, Giblantar: Dar al-Andalas,  1980.

Pulungan, J.Suyuthi, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan (LSIK), 1996.

Shiddieqy, M.Hasbi, Sejarah dan pengantar ilmu al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang, 1994.

Qaradhawi, Yusuf, Teologi Kemiskinan, diterjemahkan dari Musykilat al-Faqr Wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam, oleh A.Maimun Syamsuddin dan A.Wahid Hasan, Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002.

Madjid, Nurcholish, Masyarakat Religius, Jakarta: Paramadina,1994.

________, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Jakarta: Paramadina, 1995.

________, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995.

________, Islam Agama Peradaban Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Paramadina, 1995.

________, Tradisi Islam, Jakarta: Paramadina, 1997.

________, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000.

Syahrur, Muhammad,Dirasat Islamiyah Mu’ashirah fi ad-Daulah Wa al-Mujtama’. Ter. Saifuddin Zuhri Qudsy dan Badrus Syamsul Fata, Tirani Islam; Geneologi Masyarakat dan Negara. Yogyakarta: LKis, 2003.


[1] Dalam “Dirasat Al-Islamiyah AlMu’asshirah Fi ad-daulah wal Mujtama’’” (Damaskus : Al-Ahalli Li an-Nasyr wa at-Tauzi’, 1994). Edisi Indonesia “Tirani Islam Geneologi Masyarakat dan Negara”, Cet.1 (Yogyakarta: Lkis, 2003), hal.103.

[2] Ensiklopedi Al-qur’an jilid 1. (Jakarta : PT. Rineka cipta), hal. 30.

[3] Al-Qur’an, 16: 90.

[4] Ibid, 4: 58.

[5] Al-Qur’an, 49: 9.

6 Ensiklopedi Al-qur’an jilid 1. (Jakarta : PT. Rineka cipta), hal. 29.

7 Yatim Riyanto, Metodologi Penelitian Pendidikan (Surabaya: SIC, 2001) , Cet. I hal. 9.

8 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian (jakarta: Rineka Cipta, 1998),  Cet. XI, hal. 28 – 29.

9 Arikunto, Prosedur Penelitian, Cet. XI, hal. 52.

10 Widodo, Kamus Ilmiah Populer, (Yogyakarta: Absolut, 2002), Cet. II, hal. 328.

11 Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),  hal. 25.

12 Ibid.

13 Ibid, hal. 26.

14 Ibid.

15 Busri, Dalam proposal Skripsi: Pluralisme dalam Al-qur’an; Studi Terhadap Metologi Penafsiran Nurcholish Madjid, 2007,  hal. 9.

[6] Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, (Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1996), hal. 225

[7] K.H. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya, Pustaka Progresif, 2002), hal. 905

[8] Sayid Qutb, Tafsir Fi Dhilalil Qur’an, (Beirut: Dar al-Ihya’ at-Turast al-Arabi, 1967), hal. 118.

[9] Bertrand Russell, History of  Wertern Philosophy, (London: George Allen, 1946). Edisi Indonesia: Sejarah Filsafat Barat dari awal Pertumbuhannya Sampai Saat ini, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001), hal. 558.

[10] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Pustaka  Mizan, 1993) , Cet. III, hal. 113.

[11] Abdul Hayyi al-Farmawiy, al-Bidayah Fi at-Tafsir al-Maudhu’ie, al-Hadharah al-Arabiyah, Kairo, Cet. II, 1977,  hal. 62.

[12] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Pustaka Mizan, 1993),  hal. 117.

[13] Ibid, hal. 118.

[14] Perhatikan dalam sila ke dua: Kemanusiaan yang adil dan beradap. Kemudian kata tersebut kembali terulang dalam sila ke lima: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

[15] Meminjam kata-kata sang raja dangdut H. Rhoma Irama yang terkenal pada dekade 80-an di kutip dengan beberapa perubahan.

[16] Abdu bin Hamid, Juz II, hal. 364

[17] Al’Qur’an, 16: 90.

[18] Al-Qur’an, 4: 58.

[19] K.H. Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) hal. 905 dan 1118

[20] J.Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, (Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1996), hal. 225

[21] Ahmad Musthofa al-Maraghi, Tafsir al- Maraghi, jilid V (Beirut,Dar al-Fikr,1974), hal. 69.

[22] Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufrodat Fi Gharib al-Qur’an, (Kairo:Musthofa al-Babi al-Halabi,1961), hal. 325.

[23] Al-Baidhawi,Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Tawil, jilid I(Kairo: Musthofa 1958), hal. 191.

[24] M.Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar,jilid V (Kairo: Maktabat al-Qahirat, 1960), hal. 174.

[25] Sayid Qutb, Fi dhilalil Qur’an, jilid V (Beirut: Dar Ihya’ at-Turast al- Arabi, 1967), hal.118.

[26] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 356.

[27] J.Suyuthi Pulungan, Ibid, hal. 226.

[28] al-Asfahani, al-Mufrodat Fi Gharib……….., hal. 304.

[29] Qutb, Fi Dhilalil……., hal.118.

[30] Madjid, Islam doktrin………….., hal. 355.

[31] J.Suyuthi Pulungan, Ibid, hal. 225.

[32] Al-Qur’an, 5: 8.

[33] Al-Qur’an, 16: 90.

[34] Ibid, 6: 152.

[35] Al-Qur’an, 42: 15.

[36] Ibid, 4: 58.

[37] Ibid, 4: 3.

[38] Al’Qur’an, 2: 282-283.

[39] Al-Qur’an, 4: 129.

[40] Ibid, 4: 135.

[41] Al-Qur’an, 5: 42.

[42] Ibid, 11: 85.

[43] Ibid, 55: 9.

[44] Al-Qur’an , 7: 29.

[45] Ibid, 60: 8.

[46] Bertrand Russel, Ibid, Edisi Indonesia: Sejarah Filsafat Barat…., hal.146

[47] Ibid, hal. 154.

[48] Ibid, hal. 217.

[49] Ibid, hal. 235.

[50] Ibid, hal. 236.

[51] Sebagaimana juga tertera dalam Al-qur’an surat An-Nisa’(4) : 34 الرجال قوامون على النساء

[52] Bertrand Russel, Ibid, Edisi Indonesia: Sejarah Filsfat Barat….., hal. 236.

[53] Ibid, 566.

[54] Nurcholish madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: paramadina, 2000), hal. 137.

[55] Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, 1964), hal. 225.

[56] Ini terbukti dan dapat penulis buktikan, karya tulis yang di hasilkannya meliputi berbagai disiplin ilmu keislaman, seperti judul karyanya: Islam Doktrin dan Peradaban (1992), Islam Agama Peradaban, membangun makna  dan  Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995), Pintu-pintu menuju Tuhan (1995), Islam Agama Kemanusiaan (1995), Tradisi Islam (1997) dan Masyarakat Religius (1997), dan masih banyak lagi artikel-artikel yang tersebar di berbagai Surat kabar, Majalah, Jurnal, yang di terbitkan dalam dan luar negeri. Dan tersebar di berbagai buku yang merupakan karya bersama berbagai tokoh dalam dan luar negeri.

[57] Madjid,  Islam Doktrin……, hal. 115.

[58] Madjid, Islam Doktrin….., hal. 116.

[59] Pulungan, Prinsip-prinsip……., hal. 228. Lihat pula ; Ensiklopedi Al-qur’an, (Jakarta, PT. Rineka Cipta), hal. 30.

[60] Ibid, hal. 228.

[61] Al-Qur’an, 5: 42.

[62] Pulungan, Prinsip-prinsip……., hal. 229.

[63] Al-Qur’an, 6: 152.

[64] Ibid, 11: 85.

[65] Ibid, 55: 9.

[66] Pulungan, Prinsip-prinsip……, hal. 229.

[67] Al-Qur’an, 2: 282.

[68] Ibid, 4: 3.

[69] Pulungan, Prinsip-prinsip……, hal. 230.

[70] Al-Qur’an, 49: 9. Lihat pula ; Ensiklopedi Al-qur’an, (Jakarta, PT. Rineka Cipta), hal. 31.

[71] Al-Qur’an, 60: 8.

[72] Ibid, 5: 8.

[73] Al-Qur’an, 4: 135. Lihat pula ; Ensiklopedi Al-qur’an, ( Jakarta, PT. Rineka Cipta), hal. 32-33.

[74] K.A. Tanzil, Antropologi untuk kelas 3 IPS, (Jakarta: Erlangga, Kurikulum 1994), hal. 158.

[75] Sayid Qutb, Tafsir fi dhilalil Qur’an, Jilid v, hal. 118.

[76] Al-Qur’an, 89: 27-30.

[77] Al-Qur’an, 16: 90.

[78] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban,(Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 115.

[79] Al-Qur’an, 4: 135.

[80] Ibid, 5: 8.

[81] Madjid, Islam Doktrin……., hal. 223.

[82] Muhammad Assad, The message of the Qur’an, (London: EJ. Brill, 1980), hal. 409. Catatan ke- 109.

[83] Ibid, hal. 30. Catatan ke- 118.

[84] Madjid, Islam Doktrin……, hal. 116.

[85] Al-Qur’an, 49: 13.

[86] Madjid, Islam Doktrin……., hal. 117.

[87] Ibid, hal. 117.

[88] KBBI, (Jakarta: Balai Rakyat, 1999), Cet. Revisi II, hal. 471

[89] Moh. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang,1977), Cet. III, hal. 74.

[90] Nurcholish Madjid, Masyarakat Religius, (Jakarta: paramadina, 1997) , hal.. 114.

[91] AlQur’an, 26: 214.

[92] Ibid, 66: 6.

[93] Mahmud Shaltut, Dalam Islam The Straight Path, Oleh Kenneth W.Morgan ( New York: The Ronald Company, 1958). Edisi Indonesia: Islam Jalan Lurus, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka, 1980), hal. 1403.

[94] Al-Qur’an, 4: 135.

[95] Ibid, 6: 152.

[96] KBBI, Tim Pusat Bahasa Dep dik nas, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999), Cet. Revisi, hal. 756

[97] Muhammad Dhiya’ al-Din al-Ra’is, al-Nazhariyat al-Siyasiat al-Islamiyah, ( Cairo: Maktabah al-Anjlu al-Misriyah, 1957), hal. 25. Edisi Indonesia: Teori Politik Islam, (Jakarta: GIB, 2001).

[98] Ibid, hal. 6; D.B.Macdonald, Development of Muslim Theology , (New York: Harvart press,1903), hal. 87.

[99] Thomas W.Arnold, The Caliphate ( London: Routledge and Kegan Paul LTD,1965), Cet.I hal. 30.

[100] Al-qur’an, 4: 58.

[101] M.Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid V, (Cairo: Maktabat al-Qohiroh, 1960), hal. 171-172.

[102] Al-Qur’an, 109: 1-6.

[103] Ibid, 2: 256.

[104] Ibid, 10: 99.

[105] Ibid, 18: 29.

[106] Ibid, 12:103.

[107] J.Suyuthhi Pulungan, -prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, (Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1996), hal. 169.

[108] Meriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jalarta: Paramadina, 1989), hal.132.

[109] Muhammad Husein Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, (Jakarta: Lentera Antar Nusa), hal. 205.

[110] Pulungan, Prinsip-Prinsip….., hal. 225.

[111] Madjid, Islam Doktrin……., hal. 115.

[112] Lihat: Bab III, Sub pokok bahasan: Keadilan Sebagai Anugerah Dari Allah SWT. hal. 46.

[113] Al-Qur’an, 5: 8.

[114] Al-Qur’an, 15: 9.

[115] Miftahul Jannah, Konsep ilmu dalam al-Qur’an, (STIKA: SKRIPSI, 2007), hal. 52.

[116] Lihat bab II pada tulisan ini, hal. 19 dan seterusnya.

[117] M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1993), hal. 305.

[118] Al-Qur’an, 16: 90.

[119] Ibid, 59: 7.

[120] Al-Qur’an, 5: 8.

[121] Ibid, 5: 8.

[122] J.Suyuthi Pulungan, Prinsip-prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah, (Jakarta, PT. Raja Grapindo Persada, 1996), hal. 224.

[123] M. Rasyid Ridha, Tafsir Al-manar, jilid V, (Kairo: Maktabat al-Qahirat, 1960), hal.171-172.

[124] Muhammad Assad,The message of the Qur’an, (London: EJ. Brill, 1980), hal.10.

[125] Pulungan, Prinsip-Prinsip…………, hal. 230.

[126] Ibid, hal. 233.

[127] Al-Qur’an, 49:10.

[128] Ibid, 49: 10

[129] Ibid, 60: 8.

[130] Ibid, 5: 8.

Tinggalkan komentar